Sabtu, 14 Juni 2014

GELORA HATI SEORANG AYAH

Selesai sholat Isya’ Pak Abdi duduk kembali di depan meja kerjanya. Ada sedikit pekerjaan kantor yang belum rampung dikerjakannya siang tadi. Sementara istrinya pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Rumah mereka sepi kerana sejak dua tahun yang lalu Pak Abdi hanya tinggal berdua dengan istrinya. Ketiga anaknya sedang menuntut ilmu di kota lain.

Baru sekitar sepuluh menit jari-jemarinya menari di atas keyboard tatkala telepon rumahnya berdering. Pak Abdi beranjak dari kursinya untuk meraih gagang telpon.
“Assalaamu’alaikum…” ucapnya memulai pembicaraan.
“Wa’alaikumussalam, Ayah, ini Annisa, bagaimana kabar Ayah?” terdengar suara perempuan di seberang menjawab. Rupanya anak pertamanya yang menelepon. Beberapa saat kemudian terdengar pembicaraan ayah dan anak dengan akrabnya. Saling menanyakan dan menceritakan kabar dan keadaan masing-masing. 

Setelah itu,
“Ayah, Annisa mau bicara sama Ayah tentang sesuatu, bolehkah?” Tanya Annisa perlahan.
“Lho, sejak kapan Ayah melarangmu bicara?” Jawab Pak Abdi, “Bicaralah nak, Ayah akan mendengarkannya.”
“Begini Ayah, ada seorang pemuda yang Insya Allah dia baik, akan melamarku. Bagaimana pendapat Ayah?”

Deg, Pak Abdi tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sampai beberapa lama tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Annisa, anak sulungnya yang dia tahu tidak pernah pacaran sampai lulus sarjana dan sekarang sedang menempuh pasca sarjana, tiba-tiba mengabarkan akan dilamar seseorang.
“Ayah, ada apa Ayah? Apakah Ayah marah?” Tanya Annisa khawatir.

Setelah diam sejenak dan bisa menguasai hatinya, Pak Abdi baru menjawab,
“Ayah tidak marah, Ayah hanya kaget saja, tidak menyangka kau akan mengatakan hal itu”
“Syukurlah kalau begitu. Aku baru mengenalnya 2 bulan ini Ayah. Seseorang telah mengenalkanku. Baru satu kali aku bertemu dengannya beserta keluarganya. Dia mengatakan ingin melamarku dan Insya Allah dia laki-laki sholeh yang kuharapkan selama ini.” lanjut Annisa.
“Baiklah nak beri Ayah waktu untuk berfikir, besok Ayah akan telepon kamu.”
“Iya Ayah, semoga Allah memberi petunjuk untuk kita, dan melindungi kita selalu. Aku sayang Ayah. Terimakasih Ayah, Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam…” jawab Pak Abdi lirih sambil meletakkan kembali gagang telepon di tempatnya.

Setelah itu Pak Abdi tampak duduk diam termenung. Menyelinap rasa sedih dihatinya, merasuk rasa gundah di kalbunya, tapi di saat yang sama menyeruak rasa bahagia. Waktu dirasakan berlalu begitu cepat, benarkah sudah saatnya? Tak disangka anak gadisnya meminta ijin untuk menikah, memulai tahap baru dalam hidupnya. Pikiran pak Abdi menerawang jauh ke masa silam.

Anakku, rasanya baru kemarin ayah merasa berbunga-bunga mengetahui ibumu mulai mengandungmu. Betapa bahagianya kami, betapa bersyukurnya kami. Kau menjadi dambaan kami, pengharapan yang sangat besar. Segenap asa dan rasa kucurahkan padamu semenjak kau di dalam rahim ibumu. Belum lupa kecemasan dan kegelisahanku menanti detik-detik kelahiranmu. Belum pudar kebahagianku saat mendengar tangisan pertamamu. Belum terhapus kenanganku saat mengganti popokmu, menyeduh susu botolmu, melumatkan pisang menyuapimu, dan menimangmu dengan penuh kasih. Betapa aku selalu rindu untuk bertemu denganmu dan membelaimu setiap saat.  Kadang ibumu sampai iri denganmu. Masih segar di ingatanku akan celoteh dan tingkah polah lucumu di masa kanak-kanak. Keceriaanmu menghapuskan rasa letih dan lelahku sepulang kerja. Walaupun kadang kau terlalu cerewet, masih terngiang di telingaku segala argumen debatmu saat kau sudah mulai punya pendapat.

Walaupun aku tak setelaten ibumu dalam merawatmu, tapi setiap saat kuperhatikan perkembanganmu. Aku akan sangat cemas jika kau gelisah atau sakit. Walaupun aku tak bisa melantunkan nina bobok untuk menidurkanmu, tapi aku tak akan bisa terlelap jika kau belum pulas. Walaupun aku tak selembut ibumu dalam menasehatimu, tapi aku tak akan lega sampai kau mengerti dan memahaminya. Walaupun aku tak sesering ibumu untuk menanyakan keadaanmu, tapi setiap saat aku mengkhawatirkanmu. Kuminta ibumu tuk sesering mungkin menanyakan khabarmu. Walaupun aku tak sepandai ibumu dalam mengungkapkan cinta kasih, tapi aku tak akan tenang sampai kau tersenyum bahagia. Walaupun kadang aku begitu keras padamu, tapi semua itu aku lakukan agar kau tetap tegar di jalan kebenaran. Dengan segala keterbatasanku, aku tetap berusaha memberi yang terbaik untukmu. Dengan segala kekuranganku aku tetap berusaha menjadi ayah yang terbaik untukmu.

Di benakku kau masih gadis kecil, ternyata kau sudah dewasa. Kukira kau masih akan lama berada dalam pengasuhanku, ternyata sebentar lagi aku harus menyerahkan tanggungjawab atas dirimu pada suamimu. Anakku, tugas dan amanah besar yang Allah letakkan di pundakku akan segera beralih. Aku tidak akan mengelak dari perintah Allah SWT dan Rasulullaah SAW:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(QS. An-Nur: 32)

Jika datang kepadamu (wahai para orang tua anak gadis) seorang pemuda yang kau sukai akhlaq dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan menyebarnya kerusakan di muka bumi.” (HR: Ibnu Majah)

Anakku, tetaplah kau jadi penyejuk hati kami sebagaimana yang selalu aku mohonkan pada Allah:

“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon: 74)

Anakku meski ada rasa sedih, meski ada rasa berat, tapi aku  bahagia. Aku telah mengantarmu sampai di pintu pernikahan. Bukan kau saja yang akan memasuki pintu itu tapi juga keluargamu dan keluarga suamimu. Aku tidak akan menghalangimu untuk menikah, karena pernikahan itu separuh dari agama. Anakku, jadilah kau penghalang bagiku dan ibumu dari api neraka sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan lalu ia bersabar atas mereka, dan memberi makan mereka, memberi minum, serta memberi pakaian kepada mereka dari kecukupannya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat" (HR Ibnu Majah no 3669 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 294)

“Tidaklah seorang muslim memiliki tiga orang putri kemudian menafkahinya sampai mereka menikah atau meninggal, kecuali mereka akan menjadi penghalang dari Api Neraka.” Kemudian ada seorang perempuan bertanya, “Atau dua juga?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam menjawab, “Dua juga.” (HR. at-Tabrani, berkata Syaikh al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, no 1972, “Hasan Lighairihi”)

Anakku jadilah kau pengikat antara aku dan ibumu dengan junjungan kita Muhammad SAW, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuan hingga dewasa, dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia (seperti ini).” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim. no. 6864)

“Aku dan dia di surga seperti dua jari ini" (dan beliau mengisyaratkan dengan dua jari jemari beliau) (HR At-Thirmidzi no : 1914 dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Anakku, apapun yang aku perbuat untukmu adalah karena aku menunaikan amanah Allah SWT atas dirimu. Semoga Allah SWT menerima amalan kami orangtuamu.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.At-Tahrim: 6).

Anakku tidak ada yang kupinta darimu selain tetaplah kau jadi mar’atush-sholihah, hamba sholihah kepada Rabb-mu, anak sholihah bagi kami orangtuamu, istri sholihah bagi suamimu, ibu sholihah bagi anak-anakmu kelak, dan muslimah sholihah bagi lingkunganmu. Anakku teruslah kau jadi amal jariyah bagi ibu dan bapakmu.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Anakku luruskan niatmu untuk menikah dengannya hanya karena ibadah. Bersihkan hati dengan menentukan calon suami karena akhlaq dan agamanya. Terimalah suamimu apa adanya dengan sepenuh cinta dan ketaatan. Sambutlah dia dengan kehangatanmu. Manjakan dia dengan perhatianmu dan kelembutanmu. Bantulah ia dengan kesabaran dan doamu. Hiburlah dia dengan keceriaan dan senyumanmu. Semangatilah dia dengan kelincahan dan kecerdasanmu. Tutuplah kekurangannya dengan kemuliaan akhlaqmu.

Tanpa terasa airmata menetes dari kedua pelupuk mata Pak Abdi, mengalir di pipi  membasahi jenggot dan kumisnya yang mulai memutih.
“Pak, makan malamnya sudah siap.” Suara lembut istrinya mengagetkan Pak Abdi..
“Iya Bu, terimakasih.” Jawabnya sambil mengusap airmata.


4 komentar:

  1. syukron..subhanalloh. ..makasih..trharu..

    BalasHapus
  2. sungguh Orang Tua yg sangat mulia....makasih
    minta izin share kata"nya buat anakku ya. syukron.

    BalasHapus
  3. Anakku luruskan niatmu untuk menikah dengannya hanya karena ibadah. Bersihkan hati dengan menentukan calon suami karena akhlaq dan agamanya. Terimalah suamimu apa adanya dengan sepenuh cinta dan ketaatan. Sambutlah dia dengan kehangatanmu. Manjakan dia dengan perhatianmu dan kelembutanmu. Bantulah ia dengan kesabaran dan doamu. Hiburlah dia dengan keceriaan dan senyumanmu. Semangatilah dia dengan kelincahan dan kecerdasanmu. Tutuplah kekurangannya dengan kemuliaan akhlaqmu...... makasih kalimat ini yang akan saya pakai dan sampaikan ke putri2ku bila saatnya tiba..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uma menulis semua tulisan di blog ini, dan aku merasa bahwa Uma sedang menyuarakan isi hati Abah, meskipun Uma sudah tiada saat pernikahanku, insyaAllah aku akan selalu mengingat pesan2 Uma akan kewajibanku setelah menikah, dan aku akan lebih sering lagi mengunjungi Abah. Semoga Allah menghapuskan dosa-dosa Uma dan memberi tempat terbaik bagi Uma di Jannah-Nya kelak. Aamiin..

      Hapus