Senin, 24 April 2017

KOMUNITAS SURVIVOR, TEMAN SENASIB SEPERJUANGAN


Salah satu dampak kemajuan teknologi adalah mudahnya kita berkomunikasi dengan banyak orang, dalam satu waktu, di berbagai belahan bumi. Group-group chat amat mudah dibentuk dalam berbagai aplikasi. Untuk penyintas kanker, bermacam jenis group sudah terbentuk. Sebagai group yang  para anggotanya punya keseragaman yakni sama-sama penderita penyakit berat, maka banyak manfaat dengan keberadaan group tersebut. Yang utama adalah PUNYA BANYAK TEMAN SENASIB SEPERJUANGAN.

Mengapa punya banyak teman senasib menjadi sangat berarti? Beberapa point penting ini sebagai gambarannya:

1. Teman senasib mempunyai empati yang lebih dibandingkan yang lain. Mereka bisa sangat mengerti segala problema dan keluhan sesama, baik secara fisiologis maupun psikologis. Orang luar mungkin cukup sulit untuk memahami perihal penyintas. Yang sering malah salah sangka, dianggap manja, cengeng, minta perhatian lebih, dsb.

2. Punya tempat berbagi.
Kanker bukan penyakit yang mudah untuk diatasi. Terkadang perlu waktu yang cukup lama untuk terapi. Dalam rentang waktu selama itu, begitu banyak peristiwa terjadi. Terluka, sakit, nyeri, takut bahkan stress atau tekanan batin. Yang hanya melihat atau mendengar semua itu, mungkin saja bisa merasa bosan. Lalu bagaimana dengan yang mengalaminya? Yang pasti lebih dari sekedar bosan, jika tidak menyadari hikmah di balik semua itu atau jika tidak bisa sabar dan ikhlash. Nah di komunitas survivor, anggotanya bisa berbagi rasa sesama penyintas dimana mereka tidak pernah bosan menyimak segala keluh kesah temannya.

3. Belajar bersama.
Sebagai orang yang awam terhadap dunia medis, tiba-tiba menjadi penyintas kanker, kerapkali membuat diri dan keluarga kalang kabut. Bertanya pada dokter, membaca artikel dan saling tukar informasi sesama penderita menjadi sangat penting. Berbagai rasa mendapatkan penawar dan beragam tanya sedikit banyak menemukan jawab di sebuah komunitas. Info dari dokter yang kadang tidak selalu sama dalam menangani masing-masing individu, justru bisa menambah wawasan dan pemahaman.

4. Menangis dan tertawa bersama.
Tiap tetes airmata membawa makna berbeda untuk seorang penyintas. Memperlihatkannya pada orang lain bukanlah hal yang bijak. Selain mengadu kepada Sang Khaliq, sebagai tempat terbaik untuk berkeluh kesah, maka teman sesama survivor adalah pilihan selanjutnya. Mencurahkan isi hati dan kegundahan bersama-sama, mampu menjadi pelipur lara. Tak jarang airmata masih mengalir di pipi namun bibir telah menyunggingkan senyum. Derita bersama bisa menjadi bahan canda. Dan itu hanya bisa di komunitas.

5. Saling menguatkan dengan asupan semangat.
Menderita penyakit berat yang tidak bisa sembuh dalam hitungan hari atau minggu, tapi lanjut melintasi bulan dan tak jarang menembus angka tahun. Bahkan harus tetap waspada sepanjang usia. Lelah jiwa raga terkadang menghinggapi diri. Naik turun kondisi tubuh bagai roller coaster. Hantaman berbagai terapi yang bertubi-tubi menyisakan keletihan yang sangat. Kadar semangat tak jarang hampir mencapai titik nadir. Saat-saat sulit seperti itulah akan membuat keberadaan orang-orang yang peduli, empati, memahami dan menyempatkan diri hadir, walau hanya lewat dunia maya, bak oase di tengah padang gersang. Asupan energi dan spirit dari mereka mampu menggenjot kenaikan tekad. Semangat yang meredup kembali bersinar, harapan yang kian layu akan berkembang lagi.

6. Immunisasi hati.
Ada sebuah fenomena yang berbeda dalam komunitas penyintas. Karena hampir semua anggotanya adalah penderita, maka berita yang berseliweran tak jarang berupa berita duka. Entah karena ada seorang anggota yang sedang drop kondisinya ataupun berpulangnya salah satu dari penghuni komunitas. Awalnya berita seperti itu bak sengatan listrik yang menyedot kekuatan tubuh, menggetarkan jantung, melunturkan harapan dan memancing emosi sedih. Namun hal itu bisa pula diibaratkan suara klakson yang mengagetkan sekaligus mengingatkan bahwa suatu saat yang telah menghampiri teman tersebut bisa juga menghampiri kita. Tanda harus lebih giat lagi menjaga kesehatan sekaligus mempersiapkan bekal menuju alam berikutnya dengan membaguskan amal ibadah.

Seringnya mendengar kabar duka, bagai immunisasi hati. Jika immunisasi tubuh untuk mencegah dari serangan penyakit, maka immunisasi hati tipe ini untuk menghalau kegalauan hati dan menepis rasa takut yang berlebih pada kematian. Sudah sewajarnya manusia takut mati, namun immunisasi hati akan mengubah kegalauan dan ketakutan tersebut menjadi sebentuk keikhlasan. Ikhlash kapanpun taqdir akan datang, karena percaya Sang Khaliq telah mengatur alam semesta beserta isinya dengan sangat indah tanpa cela. Akan tetapi usaha dan ikhtiar harus tetap dilakukan secara maksimal, sebagai wujud dari keikhlasan tersebut. 

Tanpa mengurangi ketergantungan kita pada Allah Rabbul ‘Alamin, punya teman yang berempati adalah rejeki yang indah.


Allaahul-Wahhab

Gambar di atas diambil dari laman pkspringsewu.org 

SIKAP PARA IMAM TERHADAP PERBEDAAN MADZAB

Tulisan Ustadz Ahmad Zarkasih yang sangat mencerahkan.

Sejak dulu sudah ada yang namanya pengkotak-kotakan kelompok Islam, kalau di Iraq ada Fiqih Al-Ra’yu (Hanafi) dan di Hijaz ada Fiqih Al-Sunnah (Maliki). Bukan hanya itu, di waktu yang sama ada kelompok lain yaitu Fiqh Al-Laits bin Said (pengikut Imam Laits bin sa’d) di Mesir dan masih tersisa di Syam para pembela madzhab Imam Al-Auza’i.

Dan mereka semua berjalan beriringan tanpa ada satupun kelompok yang saling mencaci atau menganggap mereka paling benar dan paling dekat dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Semua baik-baik saja, paham dan mengerti posisi masing-masing.

Murid Imam Abu Hanifah duduk di Majlis Imam Malik.

Yang menarik adalah perbedaan pendapat diantara mereka justru malah membuat mereka saling menghargai dan tidak saling bertengkar. Mereka paham bahwa perbedaan yang muncul ketika itu, menjadi sebuah rahmat bagi umat. Mereka bisa saling jaga diri dan sikap untuk saling berlapang dada dalam setiap perbedaan. Dan tidak pernah mencari-cari siapa yang benar!

Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyah, sempat menawarkan Imam Malik untuk menjadikan kitabnya, Al-Muwatho’, sebagai qanun (undang-undang) negara ketika itu, namun Imam Malik menolak. Beliau tidak ingin memberatkan umat hanya dengan satu madzhab saja.

Murid-muridnya Imam Abu Hanifah dari Iraq, ketika mereka berhaji atau umrah, pasti menyempatkan diri untuk duduk di Masjid Nabawi mendengarkan pelajaran fiqih dari Imam Malik. Dan mendiskusikan apa yang mereka bawa dari fiqih Iraq kepada beliau (Imam Malik), dan semua menerima.

Imam Malik dan Imam Al-Laits.

Pernah dalam suatu ketika, Imam Laits mengutus salah satu muridnya ke Hijaz untuk mengantarkan surat kepada Imam Malik yang isinya bantahan Imam Laits terhadap “Amal Ahli Madinah” yang dijadikan dalil oleh Imam Malik di Hijaz. Tapi, di awal dan di akhir surat yang panjang itu, Imam Laits menyertakan doa untuk Imam Malik.

Sementara Imam Malik kalau mendapati di majlisnya ada salah seorang musafir dari Mesir, pasti sang Imam menitipkan salam untuk Imam Al-Laits bin Sa’d, dan tidak jarang juga memberikan hadiah walaupun hanya dengan sekantung kurma. Mereka saling mendoakan padahal Imam Al-Laits salah satu Imam yang paling santer menyelisih pendapat-pendapat Imam Malik.

Sebaliknya pun demikian, Imam Laits bin Sa’ad, kalau berangkat haji atau umrah, pasti beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Imam Malik dengan membawa buah tangan beserta segudang doa untuk kebaikan Imam Malik.

Bukan hanya itu, beliau juga yang menampung Imam Syafi’i di rumahnya. Seluruh kebutuhan Imam Syafi’i yang ingin menuntut ilmu fiqih Al-Ra’yu difasilitasi oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat tidur, makan dan juga kitab. Padahal mereka sering berselisih paham ketika berdiskusi, tapi masih bisa saling berbagi.

Menariknya lagi, di samping surat bantahan itu Imam Laits menyertakan satu kantong berisikan uang ribuan dinar untuk Imam Malik. Hebat bukan... berselisih tapi saling memberi hadiah. Yang akhirnya uang itu diberikan kepada Imam Al-Syafi’i (murid Imam Malik) sebagai mahar pernikahannya dan bekal beliau (Imam Syafi’i) berangkat ke Iraq.

Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Al-Syafi'i.

Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid dan pembela madzhab Hanafi, tahu dan paham bahwa Imam Al-Syafi’i banyak menyelisihi madzhabnya. Akan tetapi sesampainya Imam Syafi’i di Baghdad, beliaulah orang yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan Imam Syafi’i.

Dan kepergiannya ke Mesir untuk menuntut ilmu fiqih Al-Laitsi juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, kendaraan serta bekal perjalanan. Karena itu banyak ulama yang menyebut Imam Muhammad bin Hasan itu sebagai “bapak”-nya Imam Syafi’i di Baghdad.

Imam Syafi'i dan Imam Malik.

Yang dilakukan Imam Syafi’i ketika di Hijaz pun tidak berbeda. Beliau duduk di Masjid Nabawi mendengarkan Imam Malik, tapi beliau juga menyanggah dan menyelisih Imam Malik dalam beberapa masalah fiqih. Dan tidak ada kemarahan dari Imam Malik sedikitpun. Bahkan beliau mendoakannya agar menjadi ulama besar yang menerangi umat. Bahkan sampai jadi murid kesayangan Imam Malik.

Begitulah ulama mengajarkan kita bagaimana caranya bersikap. Walaupun saling berbeda, tidak ada dalam diri mereka keinginan untuk mengaku paling benar sendiri dan menyalahkan yang lain. Semua baik-baik saja, sebaik ilmu yang mereka miliki.

Bagaimana dinegeri kita sekarang?

-wallahu a'lam-