Sabtu, 28 Juni 2014

TATAPLAH WAJAHNYA SAAT DIA TIDUR

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Amin sampai di depan rumahnya. Hari ini ia pulang telat karena ada pekerjaan yang harus ia tuntaskan malam ini juga. Rumahnya tampak sudah sepi dan terkunci rapat. Lampu di ruang tamu juga sudah dimatikan. Pertanda penghuninya sudah istirahat malam. Tidak ingin mengganggu siapapun, Amin turun dari kendaraan dan segera membuka pintu pagar. Ia selalu membawa kunci pintu pagar dan juga kunci pintu rumah ketika bepergian. Bunyi pagar berderit ketika di dorong. Perlahan ia masukkan kendaraan, dan kembali mengunci pintu pagarnya. Tak lama kemudian ia membuka pintu rumah
.
"Assalaamu'alaikum." ucapnya lirih saat masuk rumah. Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur.

"Biar malaikat yang menjawab salamku," begitu pikirnya.

Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu barulah  ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sejauh ini tidak ada satu orangpun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya.

Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya pernah berkata,

"Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamupun juga tidak sama persis dengan maunya. Jangan pula berharap punya istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri itu adalah dua orang yang berbeda, bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat  ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah dan perasaan tidak enak lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur."

"Kenapa Kek kok waktu dia tidur?" tanya Amin kala itu.

"Nanti kamu akan tahu sendiri." jawab kakeknya singkat.

Waktu itu Amin tidak paham apa maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini ia baru mulai memahaminya. Malam ini ia tatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Di batinnya dia bergumam :

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
         
Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku.

Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk mentaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku
       
Wahai istriku, di kala susah kau setia mendampingiku, di kala sulit kau tegar di sampingku, di kala sedih kau pelipur laraku, di kala lesu kau penyemangat jiwaku, di kala gundah kau penyejuk hatiku, di kala bimbang kau penguat tekadku, jika aku lupa kau yang mengingatkanku, jika aku salah kau yang menasehatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.

Lalu atas dasar apa aku harus kecewa padamu, dengan alasan apa aku perlu marah padamu? Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah, karena kau insan, kau bukan malaikat.

Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridloan Allah SWT. Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah memberikanmu sebagai jodohku.

Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring disisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun sudah terlelap

Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat kaget.
"Astaghfirullaah,  sudah jam dua?"

Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
        
"Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak denger apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?" gumamnya dalam hati.

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya batinnya yang bicara.
    
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

Wahai suamiku, di kala aku sendiri kau datang menghampiriku, di kala aku lemah kau ulurkan tanganmu menuntunku, di kala duka kau sediakan dadamu untuk merengkuhku, dengan segala kemampuanmu kau selalu ingin melindungiku.

Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

Lalu atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da'i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal sholeh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.

Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk menaati Allah SWT. Aku akan patuh kepadamu untuk memjemput ridlo-Nya.

Teng…teng…teng… jam dinding di ruang tengah kembali berdentang. Kali ini berdentang tiga kali.

"Sudah jam tiga." gumam Aminah.

Dihapusnya airmata di pipi. Perlahan, dielus tangan suaminya sambil berbisik,

"Mas, sudah jam tiga, bangun yuk, kita sholat."

Di penghujung malam itu, dua insan Amin dan Aminah, dengan melawan letih dan kantuk berusaha untuk memenuhi panggilan Allah:
                                                  
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا                                                                     
                                            
Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) pada malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (QS. Al-Muzzammil: 1-2)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
                         
Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Robb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. (QS. AI-Isroo': 79)


تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
                  
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (bangun untuk sholat tahajud) seraya mereka berdoa kepada Robb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. 
Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah: 16-17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar