Minggu, 29 Juni 2014

MELALUI SIAPA REJEKI DATANG

Matahari baru muncul dari peraduannya ketika Pak Hasan keluar dari rumahnya. Dua orang anaknya ikut bersamanya. Sebelum ke kantor Pak Hasan biasa mengantarkan dulu anak-anaknya ke sekolah. Husna, istrinya yang sedang hamil, mengantarkannya sampai di pintu gerbang. Sambil mencium tangan suaminya ia berpesan,
          
          "Hati-hati di jalan Mas."
          "Insya Allah, baik-baik di rumah ya. Assalaamu'alaikum." kata suaminya.
          "Wa'alaikumussalaam." jawab Husna.

Husna segera menutup pintu pagar segera setelah suaminya berlalu. Ia kembali masuk rumah, tugas rutin sudah menanti. Ngurus si kecil yang masih balita, menyiapkan makan siang, mengatur rumah dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada si bibik yang membantunya, tapi tetap saja ia tidak bisa berlepas tangan. Semenjak menikah dan mengandung anak pertama Husna memang sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai karyawati di sebuah perusahaan. Ia dan suaminya sudah bersepakat memprioritaskan yang utama dan berbagi tanggung jawab.

Dari dalam rumah Husna mendengar suara motor Pak Syarif, tetangga depan rumahnya, meledak-ledak knalpotnya. Sementara anaknya terdengar sudah mulai merajuk,
         
          "Bapak ayo dong, nanti Alya telat masuk sekolah."
          "Sebentar nak, motornya lagi ngadat." jawab Pak Syarif.

Tak lama kemudian terdengar bel rumah Husna berbunyi, tingtong....tingtong.

          "Assalaamu'alaikum!" terdengar seseorang mengucapkan salam.
          "Wa'alaikumussalaam!" jawab Husna. Iapun segera membukakan pintu. Ternyata Pak Syarif yang datang.
          "Maaf Bu Husna, boleh saya meminjam motor? untuk nganter Alya ke sekolah. Kebetulan motor saya lagi ngadat."
          "Oh ya Pak, silahkan, motor saya juga lagi nganggur kok." Husna mengambil kunci motor dan menyerahkannya ke Pak Syarif.
          "Maaf Bu Husna, jadi ngrepoti ini. Sekalian mau nanya, dimana ya beli jarum sama benang? Alya disuruh bawa untuk pelajaran ketrampilan. Ibunya nggak sempat nyarikan."
          "Oh, disana Pak, di toko Warna Warni sebelah utara pasar. Semua bahan-bahan ketrampilan tangan ada disana, lengkap." jawab Husna.
          "Terima kasih banyak Bu, saya permisi dulu, assalaamu'alaikum." kata Pak Syarif sambil menyalakan motor, dan segera berlalu.
          "Wa'alaikumussalaam, sama-sama Pak."

Bu Syarifah, istri Pak Syarif, adalah wanita karir yang sukses. Pekerjaannya di salah satu perusahaan asing menuntut kedisiplinan dan loyalitas yang tinggi. Apalagi kantornya cukup jauh dari rumah. Berangkat pagi buta dan malam baru pulang. Sementara Pak Syarif, yang berprofesi sebagai guru di sebuah yayasan, tidak terlalu sibuk, cukup punya waktu luang. Jadi Pak Syariflahlah yang lebih banyak menemani dan mengurus anak-anaknya. Kadang-kadang jika tidak sedang sibuk, atau ketika libur kerja, Bu Syarifah menyempatkan diri mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan mobilnya.

Husna segera menutup kembali pintu pagarnya. Belum lagi masuk rumah , langkahnya terhenti karena ada yang menyapanya.
          "Assalamu'alaikum, permisi Tante, mau nganter pesanan kuenya."

Seorang gadis belia telah berdiri di luar pagarnya.
          "Wa'alaikumussalaam. Eh... Aisyah, pagi bener sudah dianter kuenya. Ayo masuk sini!" sahut Husna.
          "Iya Tante, terimakasih. Kuenya sudah saya bikin dari habis sholat subuh. Maaf Tante gak bisa lama-lama, buru-buru mau ke toko, sudah ditunggu pelanggan." jawab Aisyah sambil menyerahkan sekotak kue kepada Husna.
          "Makasih ya...."
          "Sama-sama Tante. Saya permisi dulu. Assalaamu'alaikum..."
          "Wa'alaikumussalam..." jawab Husna mengakhiri pembicaraan.

Aisyah, anak tetangga sebelah, umurnya belum genap 17 tahun. Ceria, energik dan kreatif. Sejak ayahnya sakit beberapa tahun yang lalu, dan tidak kuat lagi bekerja, Aisyah dan 2 orang adiknya sangat giat berusaha. Mereka rajin dan bersemangat. Dimulai dari jualan kue kecil-kecilan, keliling kampung, hingga sekarang mampu menyewa toko di dekat pasar. Dengan usaha anak-anak itu, kebutuhan hidup mereka bisa tercukupi.

Tiga keluarga, hidup bertetangga, dengan model kehidupan yang berbeda. Dalam satu keluarga, setiap anggotanya punya kemampuan dan juga kesempatan yang berbeda-beda dalam meraih sesuatu. Termasuk dalam hal mendapatkan penghasilan. Allah memberikan rejeki dari arah mana dan lewat siapa, tidak sama untuk setiap keluarga. Seperti keluarga Hasan-Husna, Allah mendatangkan rejeki lewat pekerjaan suami. Sementara keluarga Syarif-Syarifah, Allah lebih banyak mendatangkan rejeki lewat istri. Lain lagi dengan keluarga Aisyah yang mana lewat anak-anaklah Allah mendatangkan rejeki.

Masalahkah itu? Harusnya tidak. Asalkan tiap-tiap individu dalam keluarga itu saling memahami, saling menghormati dan tahu kedudukannya masing-masing.

Hasan sebagai kepala keluarga sudah selayaknya berkewajiban mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. An-Nisa’ ayat 34:

Kaum laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), oleh karena Allah telah melebihkan golongan mereka (laki-laki) atas golongan yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (istri). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Sebagai suami tanggung jawab materiilnya adalah berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Sedangkan tanggung jawab morilnya adalah dia harus pandai memilah dan memilih, agar nafkah yang diberikan kepada keluarganya benar-benar halal.

Di kantornya Hasan dianggap sombong dan sok suci, bahkan ada beberapa yang sangat tidak menyukainya. Lho, kok bisa? Ini diantara sebabnya. Ketika teman-temannya mengajaknya keluar kantor di jam kerja, dia menjawab, "Maaf, saya tidak berani meninggalkan kantor, walaupun sudah tidak ada pekerjaan. walaupun pak kepala tidak tahu." Kenapa begitu? Karena dia berprinsip bahwa dirinya digaji untuk kerja dari jam 8 sampai jam 5, lima hari dalam seminggu. Kalau dia keluar kantor bukan untuk urusan kerja, berarti korupsi waktu, nanti di akhir bulan, ada yang tidak halal di gajinya.

Demikian pula ketika ada seseorang yang memberinya bingkisan, Hasan bertanya, "Untuk apa bingkisan ini Pak?"
Orang itu menjawab, "Ini untuk Bapak, saya berterima kasih, bapak telah membantu saya, telah memberi pelayanan yang baik dan cepat di kantor ini."

Hasan menjelaskan, "Pak, saya memang digaji untuk melayani siapa saja yang datang kesini. Melayani dengan baik itu memang tugas saya, itu artinya saya belum membantu bapak, saya baru menjalankan tugas saja. Terimakasih apresiasinya dan silahkan dibawa kembali bingkisannya." Subhanallah, mudah-mudahan semua pegawai seperti itu.

Sedangkan sebagai istri, Husna bertanggung jawab urusan rumahtangga. Hasan memintanya untuk fokus dengan tanggungjawab itu. Husna rela meninggalkan pekerjaannya di kantor dan beralih meniti karir sebagai ibu rumah tangga. Husna sadar betul dengan kedudukannya yang sekarang. Mengingat perintah Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 33:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Jaman sekarang menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang 'sepi peminat'. Tidak percaya? Tanya saja sama anak-anak yang masih sekolah, "Apa cita-citamu nak?" Jawabannya akan sangat beragam mulai dari jadi guru, dokter, pramugari, pilot sampai pengusaha. Tapi adakah yang menjawab, "Cita-citaku menjadi ibu rumah tangga yang sukses." Sulit kita temukan.

Di pihak lain, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ketika ditanya, "Ibu bekerja dimana?" merasa malu ketika harus menjawab, "Saya tidak ngantor, saya di rumah saja, jadi ibu rumah tangga." Apalagi yang nanya akan melanjutkan dengan perkataan, "Kenapa ibu tidak bekerja? Tidak enak lho tidak punya penghasilan sendiri itu, mau apa-apa harus minta suami, sedikit-sedikit harus ijin suami. Kepengen ini tidak bisa, kepengen itu tidak kesampaian, repot!"

Padahal kalau kita cermati profesi sebagai ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan ringan, ini pekerjaan hampir tidak ada istirahatnya, juga tidak ada jatah cutinya. Setiap harinya mulai bertugas paling awal dan selesai paling akhir. Tidak tanggung-tanggung beberapa posisi dan jabatan diborong. Mulai dari cleaning service, chef, baby sitter, guru privat, purchasing manager, sekretaris pribadi, dan satu lagi, ketika malam tiba harus bisa menjelma menjadi bidadari cantik untuk menyambut sang pangeran, heem........
Di kantor manapun tidak ada jabatan segitu banyak di pegang satu orang, tidak akan ada yang mau. Apalagi profesi ini tidak ada salarynya. Lengkaplah sudah…Tapi jangan khawatir dapatnya jauh lebih baik dari sekedar salary, yaitu pahala yang berlimpah, subhanallaah. 
         
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ 

Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya,"Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai." (HR Ahmad 1/191 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimullah dalam Shahilul Jami' no. 660, 661)         

Keutamaan-keutamaan lainnya bisa dibaca di hadist panjang nasehat Rosulullah SAW kepada putrinya, Fatimah Az-Zahro ra.           
          
Sementara untuk pasangan Syarif-Syarifah yang mana istrinya punya kemampuan dan kesempatan yang lebih dibandingkan suaminya dalam berkarir. Di era sekarang ini hal itu tidak mustahil. Karena pendidikan dan peluang yang sangat terbuka bagi wanita, sehingga untuk beberapa posisi karir seorang wanita bisa lebih cepat melejit dibandingkan kaum laki-laki.

Jika hal itu yang terjadi dalam sebuah rumahtangga, maka bagaimana cara memandang dan memahaminya, menjadi sangat penting. Sebagai seorang istri amatlah terpuji jika dia menerima dan ikhlas dengan apapun dan seberapapun nafkah yang diberikan suaminya. Namun jika 'terpaksa' karena satu dan lain hal, maka tidak mengapa jika seorang istri bekerja di luar rumah.. Ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan keterpaksaan itu misalnya:
  1. Kebutuhan ekonomi yang mendesak.
  2. Ada orangtua atau saudara yang harus dinafkahi.
  3. Ada planning yang membutuhkan dana, misalnya biaya pendidikan anak, menunaikan ibadah haji, menyantuni anak yatim dan dhu'afa, membangun pesantren, atau yang lainnya.
  4. Profesi yang digeluti sangat dibutuhkan oleh orang banyak.
  5. Mempunyai ilmu dan ketrampilan yang sangat bermanfaat.
  6. Menghindarkan diri dari meminta-minta bantuan pada orang lain (menjaga kehormatan diri dan keluarga).
Jika keterpaksaan itu harus diambil maka sangat diperlukan adanya saling pengertian dari masing-masing pihak. Istri wajib mengantongi ijin dari suami dan harus mendapatkan ridlonya untuk menekuni karirnya. Yang terpenting adalah istri harus mampu mendudukkan dirinya pada tempat yang semestinya. Misalnya seorang istri walaupun di kantornya punya kedudukan tinggi, tapi di dalam rumah tetaplah seorang istri, yang harus menghargai, melayani dan taat pada suaminya. Bagaimanapun juga seorang istri bisa seperti itu karena dukungan dari suaminya, tak jarang pula karena suaminya bersedia mengambil alih beberapa tugas atau kewajiban istrinya.

Diberi kesempatan dan ijin untuk menjadi wanita karir jangan sampai menyebabkan istri durhaka pada suami. Alangkah baiknya jika kesempatan itu dipakai untuk sebanyak-banyaknya mengambil manfaat. Dengan mempunyai penghasilan sendiri seorang istri bisa berbuat lebih banyak dibandingkan yang tidak berpenghasilan. Lebih besar kesempatan untuk bersedekah, lebih banyak peluang untuk membantu sesama, dan terbuka lebar jalan untuk beramal jariah dengan ilmunya. Jika bagi seorang suami menafkahi keluarga adalah wajib, maka bagi istri memberi nafkah keluarga adalah sedekah.
    
Selain itu perlu juga dipilih pekerjaan yang tidak melanggar ketentuan syar'i. Yaitu pekerjaan yang halal dan menghasilkan yang halal pula, juga dalam bekerja tetap bisa menjalankan kewajiban sebagai muslimah dengan baik. Misalnya ibadah fadlu ‘ainnya tidak terganggu, kewajiban utama sebagai istri tidak terbengkalai, dan akhlaqnya tetap terjaga dengan etika pergaulan dan cara berpakaian yang syar’i.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
               
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Lain Syarif-Syarifah lain pula halnya dengan Aisyah. Tatkala kepala keluarga tak lagi mampu mencari nafkah, Allah tidak berhenti untuk memberikan rejeki-Nya. Melalui anak-anaknya Allah menurunkannya. Kondisi ini justru memberi kesempatan bagi anak-anaknya untuk berbakti pada orangtua lebih baik lagi.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS Al-Isra’ [17]: 23-25)

Jika anak-anaknya ikhlas, Insya Allah keberkahan akan menaungi mereka, dan surga telah menanti mereka, Insya Allah.           

Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: "Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti kepada orangtua dan menyambung tali persaudaraan." (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).

Rasulullah telah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti kepada orangtua, maka dia akan memperoleh kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan. (HR. Imam Abu Ya'la dan Thabrani bersumber dari Mu'adz bin Jabal)

Suatu ketika datang seseorang lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya ingin ikut berjihad, tapi saya tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Thabrani).


Setiap alur kehidupan mempunyai kelebihan masing-masing, sekaligus juga mempunyai kekurangannya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola kelebihan tersebut sehingga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya, dan meminimalkan kekurangan yang ada agar tidak mendatangkan madhorot. Setiap insan diberi jatah waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari, tidak lebih tidak kurang. Di rentang waktu itu banyak hal yang bisa kita kerjakan. Sulit bagi kita untuk bisa mengambil semua pekerjaan itu sekaligus, maka harus dipilih mana yang manfaatnya lebih besar daripada madhorotnya. Untuk tiap individu atau keluarga bisa berbeda-beda jalan yang ditempuh, tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Tiap pilihan pasti ada sisi baiknya dan ada sisi buruknya, ada kelebihannya ada kekurangannya.  
          
Jika karena kesibukan di luar rumah seorang istri tidak sempat membuatkan dan menyajikan makanan dan minuman untuk suaminya, padahal pahala untuk itu lebih baik daripada berhaji dan puasa setahun penuh, maka lakukanlah sesuatu yang pahalanya setara atau lebih dari itu.

Jika banyak yang tidak mau repot hamil dan melahirkan banyak anak, padahal pahala wanita yang hamil sama dengan orang yang selalu puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam, dan ketika melahirkan hapuslah segala dosa sebelumnya, kecuali dosa syirik. Belum lagi pahalanya merawat anak, maka ambillah sesuatu yang lebih utama dari itu.  Bukan bermaksud hitung-hitungan tapi hanya memanfaatkan waktu dengan maksimal, bukankah umur kita di dunia ini sangat terbatas? Kita hanya berusaha untuk melakukan amalan yang paling utama dan menghindari kesia-siaan, agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.           

مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ 

مَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيَعِفَّهَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيْلِ 

الطَّاغُوْتِ وَ فِي رِوَايَةٍ فِي سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ

Barang-siapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan)  untuk kedua orang-tuanya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja untuk keluarganya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja untuk dirinya, untuk menjaga kehormatannya maka ia berada dalam sabîlillâh. Dan barang-siapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan) menumpuk-numpuk harta, maka ia berada di jalan yang sesat atau di jalan syaithân.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzâr, Abû Nu'aim dan Ash-Bahânî. Lihat Al-Ahâditsush-Shahîhah oleh Syaikh Muhammad Nâshirud-Dîn Al-Albânî jilid V hal. 272 no.: 2232)

Insya Allah tidak ada yang berat jika semua kita lakukan dengan penuh harap akan pertolongan Allah, dan Allah juga telah memberi kita keringanan dengan firman-Nya:

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghobun: 16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar