Selasa, 24 Februari 2015

JANGAN TERLALU BAIK JADI ORANG (SEBUAH TANYA)

Matahari pagi baru menyembul dari balik awan. Rintik hujan belum usai menebar rahmat di muka bumi. Musim kemarau sudah beranjak pergi digantikan dengan rekannya yang telah menunggu selama enam bulan yakni si musim penghujan. Subhanallaah, pagi itu begitu sejuk. Panorama alam nan elok terpampang di depan mata. Hanna tengah bersiap menuju tempat kerjanya. Suasana pagi yang indah membuatnya sangat bersemangat mengawali hari itu. Bergegas ia melaju menuju kantornya.

Sampai di kantor sudah banyak rekan kerjanya yang datang. Sama seperti dirinya, mereka nampak sangat bersemangat pagi itu. Alam memberi injeksi spirit yang luar biasa. Karena jam kerja baru akan dimulai setengah jam mendatang, Hanna ikutan nimbrung ngobrol dengan rekan-rekannya. Para wanita kalau bertemu sesamanya tak pernah kekurangan bahan pembicaraan. Mulai dari mode, perawatan kecantikan, resep masakan, hobby, bahkan sampai masalah politikpun tak terlewatkan. Hem… ghibahkah itu? Entahlah, kadang tabirnya terlalu tipis antara memperluas wawasan, mengambil hikmah atau ghibah.

Setelah ngobrol kesana-kemari, seorang teman Hanna, Dewi namanya, menyela obrolan dengan mimik serius,
            “Apakah kalian sudah tahu tentang Fatmi?”
            “Tentang apanya Dew?” beberapa teman balik bertanya.
            “Kasihan dia…”
            “Lho, ada apa dengannya? Beberapa hari yang lalu saya lihat dia baik-baik saja kok.” Sahut Hanna.
            “Itulah Fatmi, dia selalu berusaha untuk tegar dan tabah, tak pernah memperlihatkan kegundahannya. Saya salut sama dia. Sudah dua tahunan ini suaminya sakit, kalau tidak salah gagal ginjal penyakitnya. Karena tak lagi bisa bekerja sesuai target, perusahaan merumahkan suami Fatmi lebih setahun yang lalu. Dengan berbekal uang pesangon, suaminya joint patner buka usaha dengan temannya. Tapi sayang, ternyata temannya itu tidak bertanggungjawab. Usahanya tidak jelas kabarnya, modalpun amblas, dan temannya menghilang entah kemana. Setelah itu praktis Fatmi yang menjadi tulang punggung rumahtangganya. Mungkin karena kecapaian atau apa dua kali dia keguguran, padahal mereka sangat mengharapkan dikaruniai momongan. Tak dinyana seminggu yang lalu dokter menvonis ada tumor di indung telurnya... dan… harus dioperasi…” 
Dewi terdiam sejenak, terbawa perasaan, airmata telah mengambang di pelupuk matanya. Maklum Dewi teman yang paling dekat dengan Fatmi. Selain karena rumahnya tak jauh, mereka telah berteman sejak kecil, sekolah sampai kuliah mereka selalu satu tempat.
            “Saya prihatin banget dengan keadaannya. Padahal dia anak yang baik, teman yang menyenangkan, taat sama orangtuanya, dan rajin ibadahnya. Jujur saja saya kalah jauh darinya. Tapi entah kenapa ujian hidupnya begitu berat. Di saat dia butuh dukungan moril seperti itu, ibunya tempat ia bersandar dipanggil Allah beberapa hari yang lalu…” Kali ini Dewi tak mampu lagi menahan buliran airmata yang membanjiri pipinya. Suaranya tercekat. Teman-teman yang lain ikut trenyuh pula. Namun tiba-tiba Tiara nyeletuk,
            “Makanya jadi orang itu biasa-biasa saja, jangan terlalu baik, jangan terlalu ‘alim. Semakin tekun jadi orang baik semakin banyak ujiannya, semakin besar cobaannya iya kan? Contohnya ya Fatmi itu, banyak juga sih yang lainnya. Tapi coba lihat orang yang biasa-biasa saja, ibadah ya sebisanya saja, baik sama orang ya sekedarnya saja sebab kalau terlalu baik malah ditipu atau diperalat. Orang yang begini ini hidupnya enak, tenaaang, lempeeeng aja…”
Belum sempat ada yang menimpali ocehan Tiara, lonceng telah berdentang delapan kali, tanda harus mulai kerja. Merekapun bubar tanpa dikomando. Sebelum beranjak dari tempat duduknya Hanna masih sempat berkata,
            “Teman-teman, pulang kantor nanti kita ke rumah Fatmi ya?”
            “Oke…” jawab beberapa temannya sambil mengacungkan jempolnya tanda setuju.

Sampai di meja kerjanya Hanna masih belum bisa melupakan perbincangan bersama teman-temannya tadi. Terutama dengan perkataan Tiara. Benarkah semakin baik orang semakin banyak ujiannya, yang biasa-biasa saja lebih enak, terus bagaimana dengan orang yang tidak baik? Apakah semakin enak? Lalu bagaimana pula dengan orang yang kafir atau musyrik? Untuk melawan rasa penasarannya Hanna segera menyalakan gadgetnya, menulis email kepada kakak laki-lakinya yang tengah menuntut ilmu di Kota Nabi. Siapa tahu kakaknya bisa memberinya pencerahan untuk mengurai kebingungannya.

Setelah itu Hanna tenggelam dalam kesibukan pekerjaan kantornya. Saat jam istirahat makan siang, usai sholat dhuhur, barulah gadgetnya dibuka kembali. Rupanya sang kakak sudah menjawab emailnya. Satu per satu kata-kata dari kakaknya ia cermati:

Salam untuk adikku yang cantik, semoga kita selalu dalam lindungan Allah Ta’ala.

Adikku sayang, mengenai pertanyaanmu tadi, kakak akan jelaskan secara singkat. Untuk lebih jelasnya, kakak akan kirimkan buku padamu, bacalah, nanti kau akan bisa memahaminya lebih baik lagi.

Adikku, apapun yang kita lakukan di dunia ini tentu ada konsekuensinya, baik itu menyangkut hubungan kita dengan Allah (hablumminallaah) maupun hubungan kita dengan sesama manusia (hablumminannaas). Segala pilihan menuntut tanggungjawab.

Ilustrasinya misalkan kita harus menghadiri acara di kota A, pada waktu tertentu yang tidak bisa dimajukan atau dimundurkan, dan tidak ada acara seperti itu lagi selamanya. Jika terlewatkan tidak berguna lagi alasan kecuali hanya penyesalan. Maka apa yang akan kita lakukan? Tentu kita harus benar-benar mempersiapkannya. Mulai dari mengadakan kendaraannya, menyiapkan bekalnya, merancang apa yang akan kita lakukan disana, hingga mengatur jadwal agar tidak terlambat, dan sebagainya. Nah, bagaimana jika kita tidak mau mempersiapkannya? Mungkinkah kita bisa sampai di kota A tepat waktu, dengan selamat, sehat dan bahagia?

Demikian pula dalam kehidupan kita adikku. Tujuan akhir kehidupan ini adalah kampung akhirat. Untuk sampai disana kita perlu berbagai persiapan. Perlu mengerahkan segala daya dan upaya, melalui perjuangan dan pengorbanan.

Kembali pada pertanyaanmu. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi:

Yang pertama.
Dalam QS Al Ankabut ayat 2 dan 3 Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.

Dari ayat tersebut dapatlah kita pahami bahwa ujian adalah konsekuensi logis dari keimanan kita. Dengan kata lain ujian pasti akan menghampiri orang-orang yang mengatakan dirinya beriman. Untuk apa? Agar nampak bedanya antara orang-orang yang jujur dan orang-orang yang dusta. Agar terlihat mana orang-orang yang tulus dan mana orang-orang yang munafiq. Agar nyata mana yang pantas menghuni surga dan mana yang harus tinggal di neraka, sehingga jelas  mana yang akan dimuliakan dan mana yang akan terhinakan.

Adikku sayang, ingatkah apa yang kau lakukan ketika kau ingin masuk perguruan tinggi ternama di jurusan favorit? Kau belajar keras, kau ikut bimbingan belajar disana-sini, kau jalani pengayaan materi setiap hari, kau galakkan ibadah dengan banyak doa, tilawah, sholat malam, puasa sunnah, juga tak ketinggalan banyak sedekah. Tak cukup itu, kau juga mengerahkan bala-bantuan berupa dukungan doa dari orangtua, saudara, anak-anak yatim dan karib kerabat. Iya kan? Kau rela bersusah-payah melakukan semua itu, padahal kau ‘hanya’ ingin masuk perguruan tinggi. Lalu bagaimana jika mau masuk surga? yang kenikmatannya luarbiasa tak ada tandingannya, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, bahkan belum pernah terlintas dalam pikiran manusia apalagi kita akan kekal di dalamnya? Apa yang akan kau lakukan adikku? Tentu perjuangannya akan lebih berat dan kau/kita harus lebih keras lagi berusaha dan berdoa. Begitukan sayangku?!

Seseorang akan berusaha giat manakala ia punya keinginan yang kuat. Dengan begitu dirinya sendiri yang ‘memaksa’ untuk bersusah payah demi cita-cita yang tinggi. Namun sifat kebanyakan manusia adalah bahwa ia baru akan giat berusaha tatkala berada pada posisi tertekan, tersudut ataupun terpaksa. Allah Ta’ala Sang Pencipta sangat paham sifat manusia tersebut. Hal itu kadang yang menyebabkan-Nya menggiring manusia menuju keadaan ‘terpaksa’ agar seseorang itu semakin mendekat pada-Nya, agar terus berharap pertolongan-Nya, dan agar berusaha lebih kuat lagi. Itulah cara Allah Ta’ala mendidik hamba-Nya. Dengan begitu terbuka banyak jalan bagi Allah Ta’ala untuk menurunkan rahmat-Nya, terbentang luas samudera ampunan dan pahala-Nya, sehingga hamba-Nya itu pantas untuk diangkat derajatnya. Perhatikan Firman Allah Ta’ala dan Hadits Rasulullaah ini:

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'un' (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh sholawat dan rahmat dari Robb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah: 155-157).

“Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allah senantiasa mencobanya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukan itu.” (HSR. Abu Ya'la No.6069)

Yang kedua.
Tahukah kau adikku? semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang diberikan oleh Allah Ta’ala-pun akan semakin besar. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya oleh Sa'ad bin Abî Waqqash Radliyallaahu anhu :

“Ya Rasulullah, Siapakah yang paling berat ujiannya?" Beliau menjawab, "Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” [HR. At-Tirmidzi no. 2398, An-Nasai no. 7482, Ibnu Majah no. 4523 (Ash-Shahihah no. 143)].

Dalam hadits yang lain Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya” [HR. At-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031 (Ash-Shahîhah no. 146)]

Para Nabi adalah Kekasih Allah, orang-orang pilihan yang keimanannya tidak diragukan lagi. Tapi justru merekalah yang paling berat ujiannya. Maka jika ada orang yang mengatakan bahwa lebih enak jadi orang biasa-biasa saja agar tidak mendapat ujian yang berat, pernyataan itu tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja berarti ia 'mengambil posisi di tingkat bawah dalam kadar keimanan' ia merendahkan dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah: Dengan posisi rendah seperti itu apakah bisa menghindarkannya dari siksa kubur? Apakah bisa menyelamatkannya di akhirat kelak? Apakah amalan dan pahalanya cukup untuk menggapai rahmat Allah Ta’ala sehingga dia bisa masuk surga? Sementara di akhirat hanya ada dua tempat yaitu surga dan neraka. Tidak ada pilihan yang lain. Jika tidak bisa masuk surga pastilah akan terjatuh ke neraka, Na’udzubillaahi min dzaalik, semoga kita dijauhkan dari neraka. Jika langit telah digulung, tak ada waktu lagi untuk perbaiki diri, tak ada lagi usaha yang bisa dilakukan, tak ada lagi keluarga dan teman yang bisa dimintai tolong. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Lihatlah orang-orang yang Allah Ta’ala jamin masuk surga, amalan ibadah mereka sangat kuat walaupun kadang ujian hidup mereka juga sangat berat.

“Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi dengan berbagai macam syahwat (hal-hal yang disukai nafsu).” (HSR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822, 2823).

Kehidupan di dunia ini hanyalah sekejab mata dibandingkan dengan kehidupan di akhirat kelak. Seandainya Allah Ta’ala memberikan ujian, itu adalah tangga untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Maka sudah selayaknya kita hadapi dengan ikhlash dan sabar. Yakinlah itu tidak akan lama. Paling lama hanya sepanjang jatah usia kita. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Tidak ada kebahagiaan yang abadi tidak pula ada kesedihan yang langgeng, segala sesuatu akan datang dan pergi silih berganti.

Itulah adikku kenapa kita harus memegang teguh syahadat kita, kita titi jalan kebenaran dan kebajikan sepenuh hati, kita bubungkan asa setinggi mungkin, karena Allah Ta’ala pasti akan menolong hamba-Nya. Allah Ta’ala tidak akan pernah aniaya pada makhluq-Nya, kecuali mereka yang aniaya pada diri mereka sendiri.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177).

Na’udzubillaahi min dzaalik jangan sampai kita termasuk orang yang diberi istidraj (kalau dalam bahasa kita dilulu) atau diulur-ulur, sebagaimana hadits ini:

Dari ‘Uqbah bin Amir, dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam: “Apabila engkau melihat Allah mengaruniakan dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya istidraj dari-Nya”, kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam membaca firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-An’am ayat 44: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.

Yang ketiga.
Mengenai orang-orang yang kafir/ingkar, maka apapun amalan yang mereka lakukan tidak ada artinya samasekali, tidak memberi manfa’at sedikitpun bagi diri mereka, karena Allah Ta’ala tidak akan menerimanya. Amalan mereka bagaikan debu yang beterbangan. Namun demikian karena Allah Ta’ala mempunyai sifat Ar-Rahman, Maha Pengasih pada semua makhluq, maka Allah Ta’ala tetap memberi mereka rizqi, bahkan kadang berlimpah. Hanya saja kesenangan mereka paling lama hanya sampai roh ada di dalam jasad, setelah itu siksa yang amat pedih telah menanti.

Firman Allah Ta’ala:
“Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfa’at sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18).

“Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa dan mereka berkata: "Hijraan mahjuuraa”. Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqon: 22-23).

“Jika orang kafir melakukan kebaikan, ia diberi makanan di dunia. Sedangkan bagi orang beriman, Allah menyimpan kebaikannya di akhirat nanti dan tetap memberinya rezeki di dunia karena ketaatannya” (HR. Muslim).

Baiklah adikku, semoga kau paham dengan penjelasan singkat ini, semoga Allah Ta’ala selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya pada kita, serta menguatkan kita dalam memegang dinullah. Segala penderitaan dalam iman di dunia ini tidak ada artinya samasekali dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah Ta’ala janjikan dalam surga-Nya. Dan Allah Ta’ala tidak pernah ingkar janji. Percayalah bahwa Allah tidak akan aniaya kepada hamba-Nya, Dia akan senantiasa menolong hamba-Nya. Allaahul musta’an.

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya (QS. Fushshilat: 46). 












1 komentar:

  1. Terimakasih, sangat bermanfaat.
    Dinantikan postingan-postingan selanjutnya :)

    BalasHapus