Sabtu, 16 Januari 2016

TIDAK ADA PENYAKIT MENULAR, TIDAK ADA PENYAKIT KAMBUH.

1. PENULARAN.

لاَ عَدْوَ وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak ada penularan, tidak ada thiyarah, tidak ada hammah dan tidak ada shafar”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5437) dan Muslim (no. 2220- 2221) dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim (no. 2222) dari Ismail bin Ja'far dari Al Ala' bin Abdirrahman dari Abu Hurairah.

‘Adwa (penularan) diartikan sebagai berpindahnya penyakit dari seseorang ke orang lain atau dari seekor hewan ke hewan lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain. Adalah termasuk keyakinan yang mungkar, sebagaimana yang ada pada jaman jahiliyah, apabila mempercayai adanya penyakit yang menular dengan sendirinya tanpa adanya takdir dan idzin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam di atas menjadi pemutus dari keyakinan tersebut dan sebagai penegas bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini hanya bisa terjadi jika Allah Ta’ala menghendaki dan mengidzinkannya.

لاَ يُعْدِي شَيْءٌ شَيْئًا

“Sesuatu tidak bisa menulari sesuatu yang lain” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).

Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa segala ketentuan dan taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala berlaku di atas Sunnatullah yakni memiliki suatu sebab yang mengharuskan terjadinya. Ketentuan ini merupakan kesempurnaan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencipta. Dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mentakdirkan suatu kebaikan ataupun kejelekan kecuali Dia juga telah menciptakan sebab-sebab yang bisa mengantarkan kepada keduanya.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan surga, Dia juga menetapkan sebab-sebab yang bisa mengantarkan seseorang kepadanya. Demikian pula neraka, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sebab-sebab yang bisa menggelincirkan manusia masuk ke dalamnya.

Dalam urusan keseharian juga berlaku hal tersebut. Segala sesuatu berupa kebaikan dan keburukan telah Allah tetapkan sebabnya masing-masing. Sebagai contoh, kenyang sebabnya adalah makan, pandai sebabnya adalah belajar, bodoh sebabnya adalah malas, celaka sebabnya adalah ceroboh, dan seterusnya.

Namun yang perlu dipahami adalah bahwa suatu kejadian mempunyai dua komponen. Komponen pertama adalah adanya sebab, dan komponen kedua adalah adanya pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatur dan menetapkan hasil dari kedua komponen tersebut.

Oleh karena itu, jika suatu sebab itu ada, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala  mengidzinkan terjadinya pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut, maka sebab tersebut akan menghasilkan sesuatu. Namun bisa jadi sebab itu ada, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengidzinkan terjadinya pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut, sehingga sebab tersebut tidak menghasilkan apa-apa.

Sebagai contoh, berkerja adalah suatu sebab dan mendapatkan uang adalah pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Mungkin saja seseorang bekerja (yang artinya Allah mengidzinkan terjadinya sebab) akan tetapi apakah pasti mendapatkan uang (yang merupakan pengaruh dari sebab)? Belum tentu...Ketentuan itu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah menghendaki sebab itu berpengaruh maka ia akan mendapatkan uang, tetapi jika Allah tidak menghendaki sebab itu berpengaruh maka ia tidak akan mendapatkan uang. Itulah kenapa dalam kenyataan sehari-hari orang bisa saja sama pekerjaannya, akan tetapi tidak sama hasil yang didapatkannya. Hal itu disebabkan karena ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas pengaruh dari sebab (usaha) itu yang berbeda untuk setiap orang.

Demikian pula dalam hal penularan penyakit. Berbaurnya orang yang sehat dengan orang yang sakit adalah sebab, sedangkan tertularnya penyakit adalah pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Apakah bila orang yang sehat berbaur dengan orang yang sakit pasti akan tertular penyakit? Belum tentu. Tergantung dari ketetapan dan idzin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah mengidzinkan maka sebab akan berpengaruh sehingga ia tertular penyakit dan jika Allah tidak mengidzinkan maka sebab tidak akan berpengaruh sehingga ia tidak tertular penyakit.

Coba kita lihat di rumah sakit, dimana banyak sekali pasien yang notabene orang yang sakit, sementara disana juga banyak pula tenaga medis dan paramedis yang tentunya orang yang sehat (karena kalau sakit mereka tidak bisa bekerja). Subhanallah...ternyata sangat jarang dari mereka yang tertular penyakitnya pasien.

Kesimpulannya adalah bahwa bentuk penularan yang dinafikan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas adalah penularan suatu penyakit dengan sendirinya tanpa idzin dan ketentuan dari Allah ‘Azza wa Jalla, akan tetapi tidak menafikan adanya penularan suatu penyakit dengan idzin dan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Coba kita simak sabda beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَ

“Larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu berlari dari singa” (HR. Al-Bukhari).

Pada zaman itu penyakit kusta adalah penyakit yang sangat menakutkan, sehingga Nabi memerintahkan untuk menghindari orang yang berpenyakit kusta. Hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan sebab terhindarnya dari penyakit tsb.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan tentang seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengenai onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat, tiba-tiba semua onta yang sehat menjadi terkena kudis, maka beliau bersabda:“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama?”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksud dari hadits tersebut adalah penyakit yang menimpa onta yang pertama (yang sakit) itu tanpa adanya penularan, akan tetapi sakit karena kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan dalam hadits yang lain beliau melarang siapapun yang berada di dalam wilayah yang terkena wabah penyakit untuk keluar dari wilayah tersebut dan melarang orang yang berada di luar untuk masuk ke dalam wilayah itu.

Adapun bagi orang yang tawakkalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat kuat, maka tidak ada larangan baginya untuk mendekat dan berbaur dengan orang yang berpenyakit menular. Apalagi jika ada maslahat yang mengharuskannya, misalnya untuk perawatan dan pengobatan. Hal yang terjadi pada tenaga medis, paramedis dan para petugas klinik ataupun rumah sakit. Ternyata mereka harus mempertaruhkan kesehatannya untuk membuat orang sakit menjadi sehat. Salut.

Menurut ilmu kedokteran tidak semua penyakit bisa menular ada juga penyakit yang tidak menular. Penyakit menular jika disebabkan oleh kuman, bakteri, virus dsb. Penyakit tidak menular jika disebabkan disfungsi organ tubuh. 

2. PENCEGAHAN.

Seperti halnya penularan maka pencegahan terjadinya penyakit juga mengikuti Sunnatullah yang memiliki sebab terjadinya. Seseorang yang tidak berharap mendapatkan penyakit maka sekuat tenaga akan melakukan upaya untuk mencegahnya. Misalnya dengan makan dan minum secara sehat, olahraga, memakai masker ketika berada di tempat umum dsb. Semua upaya tersebut adalah sebab. Apakah sebab tersebut akan berpengaruh atau tidak? Maka disanalah Kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menentukannya. Jika sebabnya berpengaruh, maka seseorang itu akan terhindar dari penyakit, dan jika sebabnya tidak berpengaruh, maka seseorang itupun bisa terkena penyakit.

Suatu kali ada seseorang yang sangat konsen menjaga kesehatannya. Semua makanan dan minuman diseleksi dengan ketat, rajin berolahraga setiap hari dan mempunyai jadwal refreshing yang rutin untuk membuat pikirannya rileks. Alhasil badannya tetap bugar di usia lanjut. Namun ada orang lain yang juga melakukan hal yang sama, tetapi di usia yang belum lanjut penyakit sudah datang menghampirinya. Kenapa bisa begitu? Karena upaya (sebab) yang ia jalani hanya berpengaruh sedikit atau tidak berpengaruh samasekali. Tidak ada yang bisa menolaknya karena itu hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sepenuhnya untuk menentukan apapun, dan kebaikan pada dirinya ada pada hal lain yang telah ditentukan-Nya, Insya Allah. 

3. KEKAMBUHAN.

Seseorang yang pernah sakit kemudian sembuh, sering merasa was-was jangan-jangan penyakit lama akan kembali lagi, muncul lagi atau kambuh lagi. Sama halnya dengan penularan dan pencegahan penyakit, maka kekambuhan juga bukan sesuatu berlaku muthlaq. Tetapi ada sebab dan ada pengaruh dari sebab.

Amatlah elok manakala telah lepas dari suatu penyakit maka putuskan segala syak wasangka dan hilangkan semua kecemasan. Anggaplah penyakit tersebut sampai pada batas akhirnya. Mulailah dengan lembaran baru, menyongsong harapan baru. Lakukan sebab pencegahan timbulnya penyakit dan bertawakkallah agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ketentuan yang terbaik untuk kita.

TIDAK ADA PENYAKIT MENULAR, TIDAK ADA KEKAMBUHAN KECUALI ATAS KEHENDAK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA...

Sabtu, 02 Januari 2016

BPJS DICACI BPJS DINANTI

Jika bicara tentang asuransi kesehatan yang satu ini banyak ulasan yang berbeda, tergantung dari sudut pandang mana menilainya. Sudut pandang pengelola, peserta, mitra sampai tokoh agama tidaklah selalu sepaham. Saya tidak akan mengulas semua hal itu. Saya hanya menuliskan pengalaman teman-teman sesama penderita kanker yang berobat memakai jalur BPJS Kesehatan dan berdasar pengamatan langsung di lapangan. Sementara saya sendiri tidak punya banyak pengalaman menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Selama menjalani pengobatan dari tahun 2011 hingga 2014 saya menggunakan jalur umum, dan baru mendaftar sebagai anggota BPJS di awal tahun 2015 saat semua terapi sudah tuntas tinggal kontrol rutin saja.

Selama ini kami tidak punya asuransi apapun, kecuali asuransi tenaga kerja yang merupakan ketetapan pemerintah yang tidak bisa dihindari untuk suatu pekerjaan. Awalnya mendaftar BPJS hanya karena diwajibkan untuk keperluan administrasi perusahaan. Setelah menjadi peserta saya banyak melihat dan mendapat cerita dari teman-teman yang mendapat tindakan atau terapi menggunakan fasilitas BPJS.

BPJS kesehatan adalah asuransi yang sangat murah dibandingkan dengan asuransi lain. Dengan premi hanya sekitar Rp. 60.000 sudah bisa mendapatkan layanan kesehatan yang sangat banyak. Unsur untung-untungan ini yang oleh MUI dikatakan mengandung unsur maisir yaitu mendapatkan keuntungan besar tanpa usaha keras atau mendapatkan sesuatu yang sangat banyak dengan modal yang sangat kecil. Sehingga dalam prakteknya ada kemiripan dengan judi, undian atau lotre. Di lain pihak peraturan BPJS yang mengikat peserta harus selalu membayar premi secara rutin, jika sekali saja tidak membayar maka tidak akan mendapat layanan, walaupun sebelumnya sudah rutin membayar. Ini yang oleh MUI dikatakan mengandung unsur gharar atau penipuan, dimana yang bersangkutan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan, yang diperkirakan ada unsur ketidakrelaan. Sementara unsur ribanya adalah jika dalam pengelolaannya dana yang disetor peserta diputar di bisnis ribawi. Sehingga yang diberikan kepada peserta yang membutuhkan adalah dana yang bercampur dengan riba. Untuk menjadikan BPJS sesuai syariah memang perlu diperbaiki model akadnya dan sistem pengelolaannya.

Sementara menunggu perbaikan tatakelola BPJS yang tentunya menjadi kewenangan mereka-mereka pengemban amanah di negeri ini. Kita sebagai rakyat biasa, hanya bisa berharap tim bersama yang terdiri dari BPJS Kesehatan, MUI, Pemerintah, DJSN, dan OJK bisa merumuskan peraturan yang sesuai dengan syariah Islam. Sehingga tidak ada lagi keraguan bagi kita yang telah diwajibkan oleh pemerintah untuk menjadi peserta.

Kaidah dhorurohnya adalah berpulang pada cara pandang pribadi. Ini bukan fatwa ulama, tetapi hanyalah terobosan pemikiran pribadi, yang bisa juga salah (semoga Allah Ta’ala mengampuniku). Sebagai peserta kita niatkan bahwa premi yang disetor sebagai infaq atau hibah untuk membantu saudara-saudara setanah air yang sedang ditimpa musibah sakit, untuk memenuhi kewajiban menjalin hablumminannaas. Seandainya kita yang tertimpa musibah sakit maka fasilitas BPJS berupa klaim asuransi kita terima sebagai santunan dari saudara-saudara sesama peserta BPJS. Jika timbul pertanyaan apakah kita termasuk orang yang pantas menerima santunan itu? Jawabnya tentu kembali pada cara pandang pribadi tadi. Jika masih mampu membayar silahkan berobat lewat jalur umum, jika dirasa berat atau tidak mampu atau jika hendak mengambil hak sebagai peserta, maka silahkan pakai fasilitas BPJS yang kita pandang sebagai salah satu jalan Allah memberikan rejeki untuk berobat.

BPJS Kesehatan adalah lembaga nonprofit yang berorientasi pada kegiatan sosial santunan pengobatan bukan berorientasi keuntungan semata. Walaupun sering pula terdengar keluhan dari tenaga medis dan paramedis yang menangani pasien BPJS karena rendahnya penghargaan kepada mereka, tapi kehadirannya sangat dinanti dan diharap masyarakat kebanyakan.

Keluar dari polemik di atas, BPJS termasuk asuransi yang sangat bagus dilihat dari luasnya aspek yang ditanggung. Jika asuransi yang lain kebanyakan hanya menanggung biaya rawat inap, tidak demikian dengan BPJS yang juga menanggung biaya rawat jalan. Untuk masyarakat yang tidak mampu, premi ditanggung oleh pemerintah, sementara untuk pekerja penerima upah premi berdasar prosentase gaji, dan untuk pekerja bukan penerima upah preminya hanya sekitar Rp. 25 000 sampai Rp. 60.000.

Dari pengalaman teman-teman penderita kanker cakupan tanggungan BPJS sangat luas. Mulai dari pemeriksaan awal, observasi, operasi, kemoterapi, radioterapi hingga kontrol rutin beserta obat rutin hingga beberapa tahun. Jika dijumlah nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

Terus terang kadang saya heran jika ada yang mengeluh dengan antrian yang lama, administrasi yang banyak/ribet atau pelayanan yang lambat. Malah ada yang mau protes hingga demo ke BPJS. Kenyataannya pasien BPJS itu mendominasi rumahsakit-rumahsakit milik pemerintah dan beberapa rumahsakit yang bekerjasama dengan BPJS sehingga wajar jika setiap hari pasiennya membludak. Wajar pula jika harus antri panjang. Kadang pasien juga perlu diberi wawasan yang logis, agar proporsional dalam menuntut haknya.

Mau tahu keuntungan/manfaat BPJS? Mari kita bandingkan pasien BPJS dengan pasien umum. Misalnya untuk tindakan mastectomy. Pasien BPJS kadang perlu bolak-balik ke RS untuk urusan administrasi, menunggu dokter, mencari ruangan rawat inap hingga antri kamar operasi.  Anggap saja perlu waktu seminggu hingga sebulan. Tapi lihatlah setelah itu mendapat layanan seharga puluhan juta rupiah. Jika pasien umum maka dirinya atau keluarganya harus bekerja keras banting tulang selama seminggu hingga sebulan untuk menghasilkan uang sejumlah itu agar bisa mendapat layanan. Itu artinya bahwa antrinya atau mondar-mandirnya pasien BPJS dibayar puluhan bahkan ratusan juta. Hanya duduk mengantri lho, cuma mondar-mandir atau bolak-balik ke RS saja, bukanlah suatu pekerjaan berat, bahkan tidak termasuk kerja keras banting tulang. Jadi tidak elok jika mengeluh. Sangatlah bijaksana jika tanpa menyalahkan ini-itu, marah sana-sini atau protes begini-begitu. Bersabar, lapang dada dan banyak bersyukur itu yang seharusnya.

Menurut saya pribadi layanan BPJS Kesehatan sudah baik, jika ada yang kurang sempurna karena memang masih dalam proses perbaikan. Seandaianya ada keluhan bisa dikomunikasikan kepada pihak terkait untuk mendapatkan solusi. Alangkah indahnya jika para pasien yang telah mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan banyak bersyukur dengan adanya asuransi tersebut, kemudian berterimakasih kepada peserta lain yang merelakan dananya dipakai dan bawa mereka dalam doa. Demikian juga kepada pengelolanya, beri masukan dan saran yang membangun diiringi doa agar mereka bisa mengemban amanah dana trilyunan rupiah itu dengan baik.

Selama hampir setahun menjadi peserta BPJS Kesehatan, saya samasekali belum pernah mendapatkan perlakuan yang buruk. Baik dari pihak BPJS Kesehatan maupun dari mitra layanannya di tingkat Faskes 1,  RS rujukan di tingkat kota bahkan sampai ke RS rujukan di luar propinsi. Apresiasi untuk BPJS Kesehatan, Klinik Catur Warga Mataram, RSUD Kota Mataram, RSUD Propinsi NTB dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Juga untuk tenaga medis dan paramedis yang tetap melayani pasien BPJS dengan baik.

Sebagai salah satu harapan dari banyak pasien di Indonesia, BPJS Kesehatan memang selalu dinanti uluran bantuannya, walaupun masih banyak pula yang mencacinya. Semoga ke depannya pelayanannya semakin baik dan baik lagi.