Minggu, 28 Juli 2013

HADIAH ISTIMEWA ITU ADALAH CA MAMMAE STADIUM IV

SUBHANALLAH, WALHAMDULILLAH  

Rasa syukur yang tidak terhingga kupanjatkan ke hadlirat Allah Ta'ala Rabbul 'Alamin. Syukur yang begitu mendalam yang tak mampu kulukiskan dengan pena dan tak mampu kurangkaikan dengan kata-kata. Sekarang aku sudah bisa melakukan banyak hal, walaupun juga banyak hal yang tidak lagi bisa aku lakukan. Bagi mereka yang tidak pernah sakit berat mungkin itu bukan keadaan yang menyenangkan. Tapi bagiku, mampu melewati masa kritis kanker stadium 4 adalah karunia tak terhingga dari Allah.
 لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Alhamdulillah aku masih sempat untuk menuliskan kisah ini sebagai renungan bagi diriku sendiri, menjadikannya pelajaran yang sangat berharga, dan mudah-mudahan orang lain juga bisa mengambil hikmahnya. Andaikata ada yang mengalami hal yang sama, lebih berat atau lebih ringan dari yang aku alami, bisa tetap bersemangat untuk terus berikhtiar, menjulangkan asa, memupuk kesabaran dan mengokohkan tawakkal. 

Akupun berharap kiranya para pembaca yang budiman bersedia untuk menyedekahkan doanya bagi kesembuhanku dan menginfakkan permohonan ampun kepada Allah Ta'ala untukku. Aku berlindung kepada Allah Ta'ala dari timbulnya penyakit hati, riya’, sum’ah dan ujub. Semoga bermanfaat.
         


Kisah ini bermula di pertengahan tahun 2009. Waktu itu, aku dan suami akan menunaikan ibadah haji. Sebagai persiapan fisik aku mengunjungi seorang dokter untuk check kesehatan. Sebenarnya tidak ada keluhan apa-apa pada diriku, hanya ingin memastikan tingkat kesehatanku saja. Kala itu aku hanya merasakan adanya sedikit jaringan yang mengeras di payudara kiriku, yang mana tidak demikian di sebelah kanan. Kondisi yang kuanggap biasa karena “hanya” seperti halnya ketika akan datangnya siklus bulanan. Dokter yang memeriksaku memberi diagnose awal yaitu pembengkakan kelenjar susu, yang biasa terjadi pada wanita pasca menyusui. Kebetulan aku juga baru selesai menyusui anak keempatku. Karena itu akupun tidak terlalu merisaukannya. Aku pikir tidak akan berbahaya dan akan segera membaik  setelah diberi obat oleh dokter.

Namun ternyata yang terjadi di luar dugaanku, hal yang aku anggap biasa-biasa saja, ternyata merupakan awal dari suatu masalah besar. Lama kelamaan area yang mengeras itu semakin meluas, menjadi berdiameter sekitar  6 cm, walaupun tidak begitu nampak dan tidak ada rasa sakit samasekali di daerah itu. Mungkin karena letaknya yang jauh dari permukaan kulit atau bagaimana, entahlah aku tidak terlalu paham. Secara visual juga tidak ada tanda-tanda yang spesifik. Tidak ada perubahan warna kulit maupun teksturnya. Tanda-tanda awal yang biasa dijadikan indikasi adanya kanker payudara juga tidak ada pada diriku. Sampai di sini aku belum ngeh juga.

Awal 2011, mulai ada perubahan pada tubuhku. Perubahan itu bukan pada area payudara atau sekitarnya, tapi jauh dari situ. Aku yang biasa mengerjakan semua pekerjaan rumah tanggaku sendirian, mulai merasakan ada yang tidak beres di pinggangku. Kaku, pegal, sakit, dan rasanya seperti tidak ada kekuatan. Anak bungsuku yang masih sering minta gendong, walaupun sudah duduk di bangku taman kanak-kanak, tidak bisa lagi aku angkat. Bahkan mengangkat barang yang jauh lebih ringanpun, seperti mengangkat masakan dari atas kompor, aku tidak kuat juga. Karena mengira hanya kecapekan atau salah urat, maka aku mulai sering terapi pijat dan juga terapi warming. 

Sudah cukup banyak tukang pijat yang aku datangi, dan berbagai macam teknik pijatan aku lakoni. Mulai pijat tradisional, refleksi, accupressure, dan entah apa lagi. Namun dengan bermacam-macam terapi itu keluhanku tidak berkurang sedikitpun, bahkan rasa sakitnya semakin lama semakin kuat dan mulai menjalar ke kaki kiri. Cara jalankupun mulai tidak sempurna, kaki terasa berat dan sakit untuk melangkah. Rasanya seperti kram di otot bagian dalam, atau seperti ada batang besi keras menempel di otot, sakit sekali. Kadang-kadang juga terasa seperti kesemutan. Anehnya kalau di pegang kakiku tidak tegang dan juga tidak keras,  biasa saja. Bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. Tetapi yang aku rasakan adalah sakit sekali, yang semakin lama semakin keras. Sampai disini aku masih berusaha tegar tanpa mengeluh. Aktivitas sehari-hari juga masih aku lakukan seperti biasa. Namun feelingku mengatakan sepertinya ini bukan sakit yang biasa. Kurasakan dari rasa sakitnya yang seperti mencengkeram sangat kuat, dan tidak ada hentinya terus-menerus tanpa jeda. Astaghfirullaahal’adhim, doa-doa untuk kesembuhan tak henti aku panjatkan. Dalam munajat-munajatku kulantunkan suara hatiku, kegundahanku, juga ketakutanku:

“Yaa Allah

Jika penyakit ini Kau berikan kepadaku karena kesalahan dan dosaku, maka ma’afkanlah aku, ampunilah aku

Jika penyakit ini adalah ujian dari-Mu, maka beri aku pertolongan agar aku bisa lulus dari ujian-Mu dan Kau naikkan aku, Kau tinggikan kedudukanku di hadapan-Mu

Jika penyakit ini adalah cobaan dari-Mu, maka beri aku kekuatan agar Engkau bisa menyaksikan bahwa aku adalah hamba-Mu yang pantas untuk Kau banggakan di hadapan makhluq-Mu yang lain

Dan jika penyakit ini sebagai tanda dari akhir hidupku di dunia, maka bersihkanlah aku, sucikanlah aku, sehingga aku akan kembali menghadap-Mu dalam keadaan bersih suci sebagaimana untuk pertamakalinya Engkau hadirkan aku di dunia ini.

Ampunilah aku Yaa Ghofuururrohiim, dan terimalah amal ibadahku”
      
Suatu sore ketika kami duduk-duduk berdua dengan suamiku. Sambil ngobrol dia menepuk-nepuk kakiku. Tapi Masya Allah tepukan yang lembut itu terasa sangat menyakitkan.  Akupun berkata pelan.
      “Mas, jangan digitukan, sakit.”
Rupanya suamiku mengira aku bercanda. Tetap dia menepuk-nepuk kakiku sambil melanjutkan obrolan. Karena menahan sakit, tak terasa airmataku menetes. Melihat itu barulah suamiku terperanjat kaget.
     “Benarkah ini sangat menyakitkan? Bukankah ini sangat pelan?” tanyanya cemas.
     “Iya Mas, tapi saat ini kakiku bener-bener lagi sakit.” jawabku sambil mengusap airmata.
     “Kenapa baru bilang? Kalau begitu kita ke dokter sekarang.”
Sejak saat itu aku mulai mengunjungi dokter lagi untuk mengetahui apa sebenarnya penyakitku. Mulai dari dokter umum. dokter umum plus terapi otot, dokter ortopedi, dokter syaraf dan juga dokter rehab medik (untuk fisio terapi). 
       
Dari dokter umum tidak banyak informasi yang aku dapatkan. Dari dokter umum dengan terapi otot dilakukan penekanan, penarikan dan pengurutan pada otot-otot yang diperkirakan tidak berada pada tempatnya. Rasanya, Masya Allah, sakit sekali. Sehingga tiap kali mau berangkat terapi aku sudah lemes duluan membayangkan sakitnya. Tapi apa boleh buat, kukuatkan diriku dengan harapan segera sembuh. Terapi dilakukan seminggu sekali, ditambah dengan seumbruk obat-obatan juga. Sekitar 3 bulan aku menjalani terapi di dokter itu. Tapi rupanya Allah SWT belum berkehendak aku sembuh.  
          
Kemudian aku beralih ke dokter syaraf dan dokter ortopedi. Mereka memberi latihan senam dan obat-obatan penahan rasa sakit. Beberapa macam obat penahan rasa sakit pernah diberikan kepadaku. Obat penahan rasa sakit ternyata punya efek samping yang lumayan juga. Ada  yang membuat lambung perih, jantung berdebar, dan ada juga yang membuatku pusing, mumet, dunia seperti berputar, hingga sempoyongan.
Astaghfirullaahal'adhiim.....Tapi mau bagaimana lagi, tanpa obat penahan rasa sakit aku kewalahan, susah payah menahan rasa sakit.       

Beberapa bulan berlalu, belum juga ada hasilnya. Kemudian aku mendatangi dokter rehab medik. Beliau menyarankan agar aku menjalani fisio terapi 3 kali dalam seminggu. Akupun harus rela bolak-balik ke rumah sakit selama lebih dari 4 bulan. Seperti kebanyakan rumah sakit umum di Indonesia, antriannya mengular. Suamiku biasanya mengantarkanku ke RS atau ke klinik fisioterapi, kemudian dia pergi kerja dan akan dijemput setelah selesai. Biar tidak bengong selama ngantri aku sering membawa buku-buku bacaan. Atau paling tidak seperti nasehat ulama yang pernah aku baca. Duduklah dan beristighfarlah, jangan biarkan waktu terbuang percuma. Semua aku jalani sambil terus menebalkan keimanan, memupuk kesabaran, dan menggantungkan harapan pada rahmat Allah SWT.

Hari demi hari berlalu, bulanpun telah berganti, belum juga ada tanda-tanda datangnya kesembuhan atau paling tidak berkurangnya rasa sakit.
Usaha yang aku jalani belum juga membuahkan hasil. Rasa sakit di bagian pinggang ke bawah semakin bertambah. Aku mulai tidak bisa duduk dengan posisi yang baik. Berjalan agak jauh juga sudah tidak mampu aku lakukan.

Karena di daerah tempat tinggalku fasilitas medisnya belum lengkap maka aku putuskan untuk berobat ke Surabaya, sehari setelah 'Idhul Fitri 1432 H, 2011M. 

Di Surabaya aku mengunjungi seorang dokter spesialis syaraf, karena masih mengira ada masalah di syaraf tulang belakangku. Untuk melengkapi data aku diminta untuk melakukan pemeriksaan MRI. Dari hasil MRI dokter radiologi mendiagnosa adanya penyebaran tumor di tulang belakangku. Tumor itulah yang menekan syaraf-syaraf yang ada di tulang belakangku terutama di ruas yang sejajar pinggang, sehingga menyebabkan rasa sakit di daerah itu dan menjalar sampai ke kaki. Yang jadi pertanyaan adalah, darimana asalnya tumor yang menyebar ke tulang belakang itu? Untuk pemeriksaan lebih lanjut aku diharuskan rawat inap hari itu juga. Serangkaian tes dan pemeriksaanpun dilakukan. Mulai dari periksa darah, foto rontgen, USG, mamografi dan banyak lagi.            

Hasil dari serangkaian tes dan pemeriksaan itu, barulah dokter menyimpulkan bahwa tumor induknya ternyata ada di payudara. Aku benar-benar tidak menyangka, karena di daerah itu justru aku tidak merasakan apa-apa, juga tidak ada perubahan yang mencolok. Biasa-biasa saja seperti tidak sakit.

Di usia 42 itu aku mendapat "Hadiah Istimewa". Benar-benar kejutan yang mencengangkan. Kanker Payudara Stadium 4. Penyakit yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahkan tidak pernah terlintas di benakku samasekali. Aku tercenung, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku kecuali istighfar, bahkan airmatakupun tidak menetes. Kaget, panik, takut, cemas, bingung dan segala macam perasaan lain bercampur baur. Ya Allah bagaimana hari-hari mendatangku? Penyakit yang berat, rasa sakit yang hebat, dan dokter yang tidak berani memberi harapan kecuali kata, “Kita berusaha.”

Untunglah tidak lama aku berada pada kegalauan seperti itu. Segera kusemangati diriku sendiri. Aku tidak boleh menyerah begitu saja, aku harus tegar, aku harus berusaha. Kucoba jernihkan lagi fikiranku yang kacau, kurangkai kembali hatiku yang terberai dan kukumpulkan lagi semangatku yang luruh. Dengan satu tekad:

Ya Allah, Kau pilih aku untuk menjalani taqdir-Mu yang seperti ini, Engkau yang menciptakan aku, Engkau Yang Mahatahu seberapa kekuatanku, Dan Engkau telah berjanji tidak akan memberikan beban pada hamba-Mu diluar kemampuannya. Aku yakin Engkaulah Dzat yang tidak pernah mengingkari janji, Engkau rabb-ku dan aku adalah hamba-Mu, itu perjanjianku dengan-Mu, Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin, maka tuntunlah aku agar aku mampu menjalani taqdir-Mu ini.         

Di tengah kegalauanku, sebagai manusia biasa muncul pertanyaan dalam diriku, yang kemudian kukatakan pada suami, "Mas, kenapa aku bisa terkena penyakit ini, kenapa bukan mereka yang suka mengumbar auratnya yang diberi penyakit seperti ini? kenapa harus aku?". Aku sudah berhijab beberapa bulan setelah masuk perguruan tinggi di tahun 1987. Kala itu yang berhijab di kampusku masih sangat sedikit. Alhamdulillah, aku satu diantaranya. Aku juga ingat kala itu Bapak sangat marah dan tidak mengijinkan aku berhijab, hingga beliau tidak mau berbicara padaku sampai beberapa bulan. Karena rasa hormatku, dan tidak ingin durhaka padanya, maka aku hanya diam saja dengan tetap istiqomah. Alhamdulillah, lama-kelamaan Bapak luluh juga, malah mendukungku. Terimakasih Bapak, sungguh aku sangat bangga dan berterimakasih padamu, sungguh aku sangat mencintaimu.

Aku memang tidak pernah bersekolah di madrasah atau pesantren. Sejak SMA aku hanya memperdalam Islam dari kajian ke kajian, dari training ke training, dari halaqoh ke halaqoh, dan dari buku-buku karya para ulama, itupun yang terjemahan karena aku hanya sedikit pernah belajar bahasa Arab, belum mampu memahami kitab aslinya. Baru ketika libur sekolah atau kuliah aku menghabiskan waktu di pesantren-pesantren bersama teman-teman.

Sepanjang usia remajaku, sebelum menikah, lebih banyak aku pakai untuk belajar, belajar dan belajar. Karena itu memang janjiku pada bapak untuk tetap ranking 1 sampai lulus SMP, menamatkan SMA dalam waktu 2 tahun, dan menyelesaikan kuliah tepat waktu. Setelah menikah kubaktikan hidupku untuk selalu berusaha menjadi istri dan ibu yang baik.

Tapi aku hanyalah manusia yang jauh dari sempurna, insan yang tak luput dari salah dan dosa. Mungkin aku kurang khusyu’ atau kurang tekun dalam beribadah, mungkin kurang ikhlash dalam beramal, mungkin kurang banyak dalam bersyukur dan mungkin banyak lagi, Allaahu a'lam. Tapi sungguh Ya Allah tidak pernah sekalipun terbersit di benakku untuk menentang-Mu maka ampunilah kekhilafanku.

Suamiku membesarkan hatiku, dengan mengatakan, "Jika penyakit ini diberikan kepada mereka yang suka mengumbar aurat atau sering bermaksiat, maka itu adalah bala' atau hukuman. Bersyukurlah kamu karena kamu tidak seperti mereka.  Ini ujian untukmu, dan cobaan bagi kita. Kita akan mendapatkan karunia besar, kita akan naik kelas."

Instrospeksi juga aku lakukan pada gaya hidupku. Padahal aku ini orang desa yang masih setia dengan ke-ndeso-annya. Makanan kesukaanku ya sayur, tahu tempe dan sambel tomat. Fastfood, junkfood atau minuman manis apalagi bersoda hampir tidak pernah aku konsumsi. Walaupun kadang anak-anak mengkonsumsinya, tapi aku tidak suka. 

Namun ada satu kelengahanku. Aku yang sarjana teknik, sangat jarang bersinggungan dengan masalah medis. Untuk anak-anakku, aku rajin menyimak artikel kesehatan tentang tumbuh kembang anak, pendidikan anak dan segala hal tentang anak. Tapi aku jarang sekali menyimak artikel tentang kesehatan wanita. Rupanya aku telah mengabaikan hak tubuhku sendiri. Alhasil, tentang kanker payudara itu aku tidak tahu samasekali. Yang kutahu hanya kanker itu penyakit ganas dan mematikan, selebihnya tidak pernah kusimak.

Begitu divonis kanker payudara stadium akhir, aku dan suamiku sempat kebingungan tidak tahu harus bertindak apa. Informasi dari dokter masih sepenggal-sepanggal yang aku pahami. Sementara itu begitu banyak orang memberi informasi dan masukan ini-itu, dan begini-begitu, yang bukannya menenangkan, justru malah menambah kebingunganku.

Di saat yang bersamaan, ujian datang beruntun, anak keduaku, yang duduk di bangku SMA, mengalami kecelakaan motor, tepat saat kutinggal pergi berobat ke Surabaya. Ditambah lagi anak ketigaku yang tinggal di pesantren, terjatuh, dan patah tulang lengannya. Belum lagi anak keempatku yang mengalami gangguan di mata kirinya. Aduuh bingungnya aku. Padahal mereka di seberang pulau tanpa sanak tanpa saudara.

Subhanallaah...Yaa Allah Engkau sungguh mencintai kami, sehingga Engkau inginkan kami mendekati-Mu, bukan hanya selangkah tapi ribuan langkah, bukan hanya dengan berjalan tapi dengan berlari, bukan hanya dengan perlahan tapi dengan bergegas.

Di tengah kebingunganku, ibu dan pamanku menyarankan untuk berobat non medis. Mereka menyarankan itu agar aku bisa sembuh tanpa operasi.  Pisau bedah masih sering menjadi momok yang menakutkan, termasuk bagi keluargaku. Waktu itu dokter menjadwalkan untuk 2 operasi sekaligus, yaitu pengangkatan payudara dan operasi di tulang belakang.

Astaghfirullaahal’adhim...bingungnya aku waktu itu. Apa yang harus aku perbuat? Pilihan yang sangat sulit. Semalaman di kamar rumah sakit, aku dan suamiku tidak bisa tidur. Aku yang kesakitan, bingung dan sedih, tidak bisa berpikir jernih, tidak mampu menganalisa, apalagi membuat keputusan. Yang bisa aku lakukan hanyalah memohon pertolongan Allah dengan berdoa, berdzikir dan tilawah. Hanya itu yang aku lakukan sepanjang malam. Suamiku yang biasanya sangat kuat dan tegar dalam menghadapi segala masalah, runtuh juga ketegarannya, tak kuasa lagi menahan tangisnya. Tersedu-sedu dalam munajatnya. Baru kali ini aku melihat suamiku menangis seperti itu.

Keesokan paginya kami memutuskan untuk keluar dari RS, mengikuti saran ibu untuk melakukan terapi di sebuah klinik pengobatan berbasis spiritual. Inti dari terapinya adalah kita mendekatkan diri pada Allah Ta'ala, berserah diri, berdoa, memohon pertolongan-Nya dan bertawakal. Metode yang dipakai adalah sholat malam yang sangat panjang. Jam 12 malam kami sudah dibangunkan untuk tahajut berjama’ah sampai menjelang subuh. Diiringi dengan mengintensifkan doa-doa dan sholat-sholat sunnah yang lain. Ada juga senam untuk memperkuat tubuh. Dari semua metode itu diharapkan tubuh memproduksi zat-zat yang bermanfaat untuk melawan penyakit dan menghilangkan zat-zat yang tidak berguna yang menyebabkan penyakit. Juga untuk melepaskan segala beban fikiran, kekhawatiran dsb. Dengan kata lain tubuh dirangsang untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Aku rawat inap di klinik tersebut selama 19 hari, kemudian dilanjutkan dengan rawat jalan selama beberapa bulan. Selama beberapa bulan itu aku tidak bisa pulang ke rumahku. Aku harus berpisah dengan anak-anakku yang juga sedang sakit nun jauh disana. Selama ini aku tidak pernah berpisah lama dengan suami dan anak-anakku. Sedihnya ketika mereka sangat membutuhkan, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa. Untungnya tempat pengobatan itu satu kota dengan rumah ibuku. Sanak saudara juga banyak disana, mereka berganti-ganti menjengukku. Alhamdulillah, bisa jadi pelipur lara. 

Yang menanggung beban terberat adalah suamiku, disamping harus bekerja mencari nafkah, merawat 3 orang anakku yang sedang sakit di Mataram (kota tempat tinggalku), juga harus bolak-balik ke Jawa untuk mengurusiku. Sementara di Mataram kami tidak punya sanak-saudara samasekali, sehingga anak-anak tidak bisa ditinggal terlalu lama.

Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, Allah memberiku suami yang luar biasa, menjalani semua musibah itu dengan tulus, tanpa mengeluh dan tetap bersemangat. Tak henti dia selalu memperhatikanku, menyayangiku dan memberi dukungan yang sangat besar untuk kesembuhanku. “Insya Allah, kamu pasti akan sembuh. Tidak usah risaukan dokter yang mengatakan kanker stadium akhir tidak bisa disembuhkan, tidak usah pikirkan data medis yang menyebutkan bahwa pasien hanya mampu bertahan tidak lebih dari setahun. Allah nanti yang akan menyembuhkanmu.” Kalimat itu yang dikatakannya berulang-ulang dengan penuh keyakinan. Walaupun keletihan yang amat sangat tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Setelah beberapa bulan di Jawa akupun boleh pulang, walaupun belum ada tanda-tanda kesembuhan. Aku dan anak-anakku sudah sangat rindu, bahkan anak keduaku sering mengatakan, “Uma (panggilan anakku kepadaku) pulang ya, semangat hidupnya Qonita sudah hampir habis.” Aduh, segitunya. Maklum dia sedang menghadapi ujian akhir sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi, dia sangat membutuhkan dukunganku. Demikian pula anak-anakku yang lain.

Selama di Mataram, selain meneruskan terapi spiritual, suamiku juga mengobatkan aku dengan pengobatan herbal. Bermacam herbal pernah kucoba. Mulai herbal Indonesia, China, juga Timur Tengah. Dalam sehari aku minum sampai puluhan obat atau jamu.

Hari demi hari aku jalani semua terapi dan pengobatan itu dengan sabar dan telaten, sembari tidak berhenti selalu bermunajat kepada Allah agar diberi hikmah, kesabaran, keikhlasan, kesembuhan, kekuatan dan kebaikan untuk kami semua. 
           
Satu tahun sudah aku menjalani segala macam terapi dan pengobatan-pengobatan itu, tapi rasa sakitnya tidak kunjung berkurang, rasa sakit yang semakin lama semakin tak tertahankan, rasa sakit yang tidak pernah berhenti selama 24 jam penuh. Aku jadi sangat tergantung pada obat penahan rasa sakit. Tanpa meminumnya aku tidak bisa melakukan apapun. Aktivitas fisikku juga semakin terbatas. Berjalan, berdiri, duduk, bahkan terbaringpun sakit.

Bulan Ramadhan 1433 H, 2012 Masehi, bulan yang sangat dinanti-nantikan seluruh umat Islam. Akupun juga ingin menjalankan kewajibanku untuk berpuasa. Hari pertama, Ya Allah.... jika lapar dan haus adalah hal yang sudah biasa bagi orang puasa, tapi aku benar-benar tidak kuat menahan rasa sakit di tubuhku. Setelah tengah hari ketika pengaruh obat penahan rasa sakitnya mulai hilang, aku merasakan sakit yang luarbiasa, aku sudah tidak bisa lagi mendefinisikan sakitnya seperti apa. Aku tidak mampu bergerak. Astaghfirullaahal'adhiim. Selama hidup belum pernah aku merasakan sakit seperti ini. Berkali lipat lebih sakit dibandingkan waktu melahirkan anak pertama. Tak tahan dengan rasa sakitnya, akhirnya akupun menyerah, tidak melanjutkan puasa, agar bisa minum obat penahan rasa sakit.  Walaupun tidak sampai hilang rasa sakitnya, paling tidak aku bisa menggerakkan tubuhku. Alhasil sebulan penuh aku tidak mampu berpuasa. 

Suatu malam ketika sholat, waktu ruku', tiba-tiba tubuhku terguling. Tak mampu lagi aku berdiri Kakiku tidak kuat lagi menyangga tubuh, walaupun obat penahan rasa sakit tidak pernah telat kuminum. Allaahu Akbar, Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billaah. Sejak itu aku sholat dengan duduk, atau bahkan dengan berbaring. Posisi berbaring juga tidak bisa telentang, miring ke kiripun tidak bisa. Aku hanya bisa tidur miring ke kanan dengan posisi meringkuk, Astaghfirullaahal'adhiim....Aku juga tidak mampu lagi berjalan. Aku mulai pakai kursi roda untuk bisa berpindah tempat. Itupun tidak bisa lama karena terasa sakit pula di tulang duduk.

“Yaa Allah, jika sakit di dunia saja seperti ini rasanya, manalah mungkin aku berani menentang-Mu, padahal di dunia masih ada dokter yang memberi pengobatan, masih ada obat yang mengurangi rasa sakit, masih ada orang lain yang menolong. Ampunilah aku Yaa Allah, lindungilah aku dari kepayahan di hari yang tiada pelindung kecuali perlindungan-Mu”

Dua hari setelah Idul Fitri, aku putuskan untuk kembali ke Surabaya. Aku pikir mungkin pengobatan yang aku jalani selama ini belum maksimal. Mungkin Allah masih mengharuskanku untuk berusaha lagi, menyempurnakan ikhtiar. Aku kembali masuk RS dan menjalani serangkaian pemeriksaan lagi. Mulai dari MRI, foto, USG dsb. Dari situ disimpulkan bahwa tumor di tubuhku bukannya berkurang tapi semakin menjalar. Tidak hanya di payudara dan tulang belakang, tapi juga menjalar ke tangan kanan, sehingga tidak bisa diangkat, menjalar ke tulang duduk, sehingga aku tidak bisa duduk lebih dari 1 menit, menjalar ke bahu, bahkan juga ke kepala. Aku yang sebelumnya tidak punya penyakit hipertensi, saat itu tekanan darahku tinggi. Aku yang sebelumnya juga tidak menderita diabetes, saat itu gula darahku tinggi juga. Allahu Akbar…

“Yaa Allah Engkaulah yang menghidupkan penyakit ini di dalam tubuhku dan hanya Engkaulah yang kuasa untuk mematikannya, karena dia adalah makhluq-Mu, maka dia akan tunduk patuh kepada-Mu. Jika Kau kehendaki untuk hidup, dia akan hidup, dan jika Kau kehendaki untuk mati, diapun akan mati.”

Mulailah aku menjalani perawatan medis. Dimulai dengan radioterapi di tulang belakang, karena di bagian itu yang paling sakit dan paling mengganggu aktivitas. Radioterapi kujalani selama 15 kali. Ternyata pengobatan dengan sinar gamma itu tidak ada rasanya, tidak panas, juga tidak perih. Hanya saja 1 jam setelah itu aku mulai mual-mual dan muntah-muntah. Ini disebabkan karena lambungku terpapar sinar pula. Kulit di bagian itu juga menghitam gosong. Bagian tubuh yang disinar tidak boleh terkena air atau cairan apapun. Mandi jadi sangat sulit aku lakukan sendiri.

Kembali aku sangat bersyukur punya suami yang sangat baik. Dalam keadaan lemah dan sulit, aku tidak mampu mengurus diriku sendiri, suamiku selalu ada untukku. Dengan telaten dia menyekaku, memandikanku, bahkan juga memasak dan menyediakan semua kebutuhanku ketika di rumah. Jazakallaahu khoir. Alhamdulillaah. 

Selesai radioterapi, Alhamdulillah rasa sakit di pinggangku mulai berkurang. Walaupun yang di tempat lain masih tetap, karena radioterapi adalah pengobatan sektoral. Disebabkan kankernya sudah menyebar, maka dokter tidak menjadwalkan operasi, tapi mengobatinya dengan kemoterapi. Kemo ini dijadwalkan tiap 3 minggu sekali, entah sampai berapakali, dokter tidak bisa menentukannya.

Kemo pertama tgl 10 Oktober 2012. Selama ini yang aku dengar tentang kemoterapi sangatlah menyeramkan. Tentang ruangan yang gelap dan efek samping yang hebat, belum lagi orang bilang kalau dikemo malah mempercepat ajal,..dst...dst. Entahlah...
                                                 
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيم

Bismillaahirohmaanirrohiiim, Yadldloorrunnaafi'...Dengan menyebut asma-Mu Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allah Engkau yang Maha Pemberi mudharat (dan hanya Engkau yang kuasa untuk menghalanginya) dan Engkau yang Maha Pemberi Manfaat (berilah manfaat kesembuhan melalui pengobatan ini).

Aku mulai menjalani kemoterapi. Gambaran tentang kemo tidak sepenuhnya benar. Ternyata ketika obat dimasukkan, sekitar 4-5 jam, tidak ada rasanya, seperti diinfus biasa, dan tidak di ruangan gelap, hanya obatnya saja yang dilindungi dari sinar, dibungkus plastik hitam. Beberapa jam kemudian aku baru merasakan efek sampingnya, seperti badan panas, gemetar, mual muntah, pusing, lemas, jantung berdebar-debar, dan kerongkongan seperti tercekat. Kemudian sampai beberapa hari juga tidak bisa BAB. Aku juga jadi sulit tidur. 

Seminggu kemudian aku merasa sangat pusing, seluruh kepalaku terasa sakit, mulai kening sampai tengkuk. Digerakkan sakit, dipegang sakit, dipakai tidur kena bantal juga sakit. Astaghfirullah, ampunilah aku Yaa Allah...istighfar, istighfar dan terus istighfar. 

Keesokan harinya, ketika aku menyisir rambut, Masya' Allah, aku sangat kaget, begitu banyaknya rambutku berjatuhan. Ternyata di tempat tidur, di tempat sholat, di kamar mandi, dimana-mana rambutku berceceran. Setiap hari seperti itu, rontok, rontok, dan rontok terus. Lima hari kemudian rambutku sudah habis, gundul. Subhanallah,...


Saat bercermin, aku kaget, tertegun, melihat seraut wajah aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya, aku hampir tidak mengenalinya. Ya, padahal itu wajahku sendiri, yang sekarang tanpa mahkota hitam yang selama ini ada di kepalaku. Tapi syukurlah alis dan bulu mataku tidak ikut rontok. Akupun berusaha tersenyum, Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal, berusaha bersyukur dalam keadaan apapun. 

          إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ، اَللَّهُمَّ أُجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا


Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un, Allahumma’jurnii fii mushiibati wa akhliflii khairomminhaa. Sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya jua akan kembali. Ya Allah berilah pahala dalam musibahku ini dan gantikanlah untukku yang lebih baik dari semua ini).


Dua minggu setelah kemo, efek sampingnya mulai mereda. Tapi aku harus bersiap menjalani kemo selanjutnya. Kemo kedua dilakukan 3 minggu kemudian, tgl 31 Oktober 2012. Setelah kemo kedua ini ada yang bertambah berat bagiku. Badanku terasa sangat lemah, lemas sekali, seperti tanpa tenaga. Bahkan aku sering berada pada keadaan antara sadar dan tidak. Ketika sedang sholat dengan berbaring aku sering tidak tahu aku terhenti di rukun yang mana, atau di rokaat keberapa. Sehingga untuk satu kali sholat harus kuulangi sampai beberapa kali. Astaghfirullaah. Kuusahakan untuk tetap semangat, tabah, sabar dan ikhlas. Masih ada amanah besar yang harus kutunaikan, yakni merawat dan membesarkan anak-anakku. Kuingat saat aku akan berangkat berobat dan selama aku di Jawa, anak bungsuku selalu memberiku surat yang diketiknya sendiri, yang selalu membuatku tidak mampu menahan airmata saat membacanya:
“Uma, adik sayaaaaang sekali sama uma, cepet sembuh ya. Adik kangeeeen sekali.  Uma cepet pulang ya. Kalau uma pergi, hilang kebahagiaannya adik”. Oh, anakku…
           
Tiga minggu kemudian aku harus kemo lagi. Kali ini dokter tidak berani memberikan dosis penuh karena rupanya leverku bermasalah, SGOT dan SGPTnya tinggi. Sebagai penyaring darah rupanya lever kewalahan menerima gempuran obat kemo. Sel darah putihku juga anjlok di bawah normal, jadi harus suntik lekogen sebelum dan sesudah kemo. Karena kemo tidak boleh berhenti walaupun ada gangguan lever, solusinya dokter memecah dosisnya, sehingga aku harus kemo seminggu sekali, dengan dosis pecahan, selama 6 kali berturut-turut. 

Ini sangat berat, melelahkan dan merepotkan. Lagi-lagi aku harus tinggal di Surabaya selama beberapa bulan, meninggalkan anak-anakku. Suamiku harus bolak-balik lagi Mataram-Surabaya tiap minggunya. Tiga hari di Surabaya, empat hari di Mataram. Kasihan sekali aku melihatnya. Letih dan lelah sangat tampak di wajahnya walaupun dia selalu berusaha untuk tenang dan selalu bersemangat. Ya Allah berikanlah ketabahan, kesabaran dan kekuatan padanya. 

Siklus itu diulangi lagi sampai 2 kali. Rambutku sudah mulai tumbuh sekitar 3 cm, Alhamdulillah tidak gundul lagi. Yang lucu itu anak pertamaku, laki-laki, sudah kuliah di Malang. Aku memang tidak cerita secara detil kepadanya tentang rambutku yang rontok karena kemo. Waktu dia menjengukku, sambil terheran-heran dan senyum-senyum dia berkata,
"Ma, tumben potong rambut seperti itu, kereeen Ma...!" Haaah?? keren dia bilang, waduh, dia tidak tahu asal muasal potongan rambut 'keren' ini.

Senengnya aku punya rambut lagi ternyata tidak berlangsung lama, kemo berikutnya, April 2013, dokter memberikan dosis penuh lagi. Dan seperti kemo yang pertama, rambutku kembali rontok, dan gundul lagi. Alhamdulillaahi ‘alaa kulli haal 

Kemo kali ini juga terasa sangat memberatkanku. Badanku kembali sangat lemah tanpa tenaga, jantungku berdetak keras tidak beraturan, terutama di malam hari. Di saat seperti itu aku sudah sangat pasrah dan juga ikhlas andai Allah memanggilku saat itu. Hanya doa dan dzikir yang bisa aku lakukan. Di penglihatanku seperti ada cacing menari-nari dan tubuhku terutama kepala rasanya sakit dan panas sekali. Gula darahku naik hampir 600. Setiap hari badan dan kepalaku kukompres dengan es batu. Anak bungsuku sering menemaniku ketika aku mendinginkan badan, sambil dia ikutan meletakkan es batu di tangan dan kepalanya. Iapun tertawa riang membayangkan sedang berada di musim salju. Ohh, anakku kau begitu polos, belum paham apa yang terjadi. Senyum dan airmataku berbaur saat melihatnya.

Kondisi badanku sangat tidak stabil. Di waktu-waktu tertentu badanku justru menggigil kedinginan, walaupun saat itu siang hari dan matahari bersinar terang. Setebal apapun selimut tidak mampu mengusir dinginnya. Hawa dingin itu menyeruak dari dalam tubuhku, menusuk ke tulang-tulangku, berdesir di sela-sela ototku. Astaghfirullaahal'adhiim.......

Namun syukur Alhamdulillaah, setelah kemo 15 kali, semua usaha dan pengorbanan itu mulai menunjukkan hasil, rasa sakit di tubuhku mulai menghilang, jaringan mengeras di payudara juga sudah mengecil, tinggal sekitar 1 cm. Subhanallaah, Yaa Muhyii Yaa Mumiit, Mahasuci Engkau Ya Allah Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Aku mulai bisa duduk dan berjalan kembali, walaupun masih terbatas. Sekarang kekuatan tangan dan kakiku menurun. Tanganku tidak cukup kuat untuk mengangkat benda yang lebih dari 1 kg, kakiku tidak cukup kuat untuk berjalan jauh. Tapi tak mengapa, aku tetap bersyukur. Alhamdulillahi 'alaa kulli haal.. 

Mengingat efek samping kemo intravena sudah sangat memberatkanku, untuk selanjutnya aku diberi kemo oral. Sebelum mengkonsumsinya dokter menjelaskan bahwa obat ini juga banyak sekali efek sampingnya. Kebanyakan pasien akan mengalami sindrom telapak tangan dan kaki yaitu merah, gatal, melepuh, dan kulit akan berubah menjadi keunguan, seperti ubi jalar ungu. Aku sempat takut juga mengkonsumsinya, tapi kembali bahwa hanya Allah SWT Adh-dhoorru wa An-naafi’. Tawakaltu’alallaah aku mulai menjalani kemo oral. yaitu 2 minggu mengkonsumsi obat dan 1 minggu jeda. Begitu seterusnya tanpa henti. Saat ini sudah berjalan selama sebelas bulan (Mei 2014). 

Alhamdulillaah, dengan kehendak Allah Ta'ala, semua efek samping yang menakutkan tidak terjadi padaku, telapak kaki tanganku tidak melepuh, kulitkupun tetap seperti semula, tidak menjadi ungu. Hanya suhu tubuh sedikit naik, rasa haus yang terus-menerus dan kulit kering. Alhamdulillaah semua itu bisa diatasi dengan sering minum air putih dan memanfaatkan khasiat minyak zaitun. Tekanan darahku juga sudah normal kembali. Alhamdulillaah tiga bulan ini gula darahku juga sudah normal kembali, padahal sebelumnya aku harus minum obat diabetes 1 atau 2 kali sehari ditambah suntik insulin setiap pagi. Alhamdulillaah. Alhamdulillaah tsumma Alhamdulillaah begitu besarnya karunia-Mu untukku Ya Allah.

Memang dokter belum menyatakan bahwa aku sembuh, aku masih harus terus kemo sampai batas waktu yang  tidak bisa ditentukan. Itu kata dokter. Tapi kenyataannya nanti Allah-lah yang menentukan. Aku pasrahkan segalanya kepada Allah, biarlah Dia yang mengatur segalanya. Aku yakin Allah pasti akan memberikan yang terbaik untukku.

Telah melewati masa kritis dan bisa sampai pada kondisi seperti ini, adalah nikmat yang amat besar. Allah masih memberikan kesempatan untukku, kesempatan langka yang jarang didapat penderita kanker stadium akhir. Alhamdulillah aku masih diberi waktu untuk hidup, untuk menunaikan amanah yang belum tuntas, untuk memperbaiki diri, untuk berbuat yang lebih baik lagi dan untuk menambah bekal perjalanan panjang nanti di alam berikutnya.

Yaa Allah       

Kau menyayangi kami lebih dari kami menyayangi diri kami sendiri.
Kadang begitu nyata, begitu nampak jelas kasih sayang-Mu, sehingga kami bisa merasakannya seketika.

Kadang Kau berikan kasih sayang-Mu dengan hikmah, yang baru bisa kami rasakan dengan pemahaman.

Terkadang pula Kau hadirkan kasih sayang-Mu dengan wujud yang tak mampu kami pahami dengan hati, tak mampu kami cerna dengan akal, tapi hanya bisa kami terima dengan keyakinan. Keyakinan bahwa Kau Ar-rahman Ar-rahiim, keyakinan bahwa Kau tidak akan pernah aniaya kepada hamba-Mu. Dan keyakinan akan janji-janji-Mu.
           

          
























   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar