Minggu, 29 Juni 2014

MELALUI SIAPA REJEKI DATANG

Matahari baru muncul dari peraduannya ketika Pak Hasan keluar dari rumahnya. Dua orang anaknya ikut bersamanya. Sebelum ke kantor Pak Hasan biasa mengantarkan dulu anak-anaknya ke sekolah. Husna, istrinya yang sedang hamil, mengantarkannya sampai di pintu gerbang. Sambil mencium tangan suaminya ia berpesan,
          
          "Hati-hati di jalan Mas."
          "Insya Allah, baik-baik di rumah ya. Assalaamu'alaikum." kata suaminya.
          "Wa'alaikumussalaam." jawab Husna.

Husna segera menutup pintu pagar segera setelah suaminya berlalu. Ia kembali masuk rumah, tugas rutin sudah menanti. Ngurus si kecil yang masih balita, menyiapkan makan siang, mengatur rumah dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada si bibik yang membantunya, tapi tetap saja ia tidak bisa berlepas tangan. Semenjak menikah dan mengandung anak pertama Husna memang sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai karyawati di sebuah perusahaan. Ia dan suaminya sudah bersepakat memprioritaskan yang utama dan berbagi tanggung jawab.

Dari dalam rumah Husna mendengar suara motor Pak Syarif, tetangga depan rumahnya, meledak-ledak knalpotnya. Sementara anaknya terdengar sudah mulai merajuk,
         
          "Bapak ayo dong, nanti Alya telat masuk sekolah."
          "Sebentar nak, motornya lagi ngadat." jawab Pak Syarif.

Tak lama kemudian terdengar bel rumah Husna berbunyi, tingtong....tingtong.

          "Assalaamu'alaikum!" terdengar seseorang mengucapkan salam.
          "Wa'alaikumussalaam!" jawab Husna. Iapun segera membukakan pintu. Ternyata Pak Syarif yang datang.
          "Maaf Bu Husna, boleh saya meminjam motor? untuk nganter Alya ke sekolah. Kebetulan motor saya lagi ngadat."
          "Oh ya Pak, silahkan, motor saya juga lagi nganggur kok." Husna mengambil kunci motor dan menyerahkannya ke Pak Syarif.
          "Maaf Bu Husna, jadi ngrepoti ini. Sekalian mau nanya, dimana ya beli jarum sama benang? Alya disuruh bawa untuk pelajaran ketrampilan. Ibunya nggak sempat nyarikan."
          "Oh, disana Pak, di toko Warna Warni sebelah utara pasar. Semua bahan-bahan ketrampilan tangan ada disana, lengkap." jawab Husna.
          "Terima kasih banyak Bu, saya permisi dulu, assalaamu'alaikum." kata Pak Syarif sambil menyalakan motor, dan segera berlalu.
          "Wa'alaikumussalaam, sama-sama Pak."

Bu Syarifah, istri Pak Syarif, adalah wanita karir yang sukses. Pekerjaannya di salah satu perusahaan asing menuntut kedisiplinan dan loyalitas yang tinggi. Apalagi kantornya cukup jauh dari rumah. Berangkat pagi buta dan malam baru pulang. Sementara Pak Syarif, yang berprofesi sebagai guru di sebuah yayasan, tidak terlalu sibuk, cukup punya waktu luang. Jadi Pak Syariflahlah yang lebih banyak menemani dan mengurus anak-anaknya. Kadang-kadang jika tidak sedang sibuk, atau ketika libur kerja, Bu Syarifah menyempatkan diri mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan mobilnya.

Husna segera menutup kembali pintu pagarnya. Belum lagi masuk rumah , langkahnya terhenti karena ada yang menyapanya.
          "Assalamu'alaikum, permisi Tante, mau nganter pesanan kuenya."

Seorang gadis belia telah berdiri di luar pagarnya.
          "Wa'alaikumussalaam. Eh... Aisyah, pagi bener sudah dianter kuenya. Ayo masuk sini!" sahut Husna.
          "Iya Tante, terimakasih. Kuenya sudah saya bikin dari habis sholat subuh. Maaf Tante gak bisa lama-lama, buru-buru mau ke toko, sudah ditunggu pelanggan." jawab Aisyah sambil menyerahkan sekotak kue kepada Husna.
          "Makasih ya...."
          "Sama-sama Tante. Saya permisi dulu. Assalaamu'alaikum..."
          "Wa'alaikumussalam..." jawab Husna mengakhiri pembicaraan.

Aisyah, anak tetangga sebelah, umurnya belum genap 17 tahun. Ceria, energik dan kreatif. Sejak ayahnya sakit beberapa tahun yang lalu, dan tidak kuat lagi bekerja, Aisyah dan 2 orang adiknya sangat giat berusaha. Mereka rajin dan bersemangat. Dimulai dari jualan kue kecil-kecilan, keliling kampung, hingga sekarang mampu menyewa toko di dekat pasar. Dengan usaha anak-anak itu, kebutuhan hidup mereka bisa tercukupi.

Tiga keluarga, hidup bertetangga, dengan model kehidupan yang berbeda. Dalam satu keluarga, setiap anggotanya punya kemampuan dan juga kesempatan yang berbeda-beda dalam meraih sesuatu. Termasuk dalam hal mendapatkan penghasilan. Allah memberikan rejeki dari arah mana dan lewat siapa, tidak sama untuk setiap keluarga. Seperti keluarga Hasan-Husna, Allah mendatangkan rejeki lewat pekerjaan suami. Sementara keluarga Syarif-Syarifah, Allah lebih banyak mendatangkan rejeki lewat istri. Lain lagi dengan keluarga Aisyah yang mana lewat anak-anaklah Allah mendatangkan rejeki.

Masalahkah itu? Harusnya tidak. Asalkan tiap-tiap individu dalam keluarga itu saling memahami, saling menghormati dan tahu kedudukannya masing-masing.

Hasan sebagai kepala keluarga sudah selayaknya berkewajiban mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. An-Nisa’ ayat 34:

Kaum laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), oleh karena Allah telah melebihkan golongan mereka (laki-laki) atas golongan yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (istri). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Sebagai suami tanggung jawab materiilnya adalah berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Sedangkan tanggung jawab morilnya adalah dia harus pandai memilah dan memilih, agar nafkah yang diberikan kepada keluarganya benar-benar halal.

Di kantornya Hasan dianggap sombong dan sok suci, bahkan ada beberapa yang sangat tidak menyukainya. Lho, kok bisa? Ini diantara sebabnya. Ketika teman-temannya mengajaknya keluar kantor di jam kerja, dia menjawab, "Maaf, saya tidak berani meninggalkan kantor, walaupun sudah tidak ada pekerjaan. walaupun pak kepala tidak tahu." Kenapa begitu? Karena dia berprinsip bahwa dirinya digaji untuk kerja dari jam 8 sampai jam 5, lima hari dalam seminggu. Kalau dia keluar kantor bukan untuk urusan kerja, berarti korupsi waktu, nanti di akhir bulan, ada yang tidak halal di gajinya.

Demikian pula ketika ada seseorang yang memberinya bingkisan, Hasan bertanya, "Untuk apa bingkisan ini Pak?"
Orang itu menjawab, "Ini untuk Bapak, saya berterima kasih, bapak telah membantu saya, telah memberi pelayanan yang baik dan cepat di kantor ini."

Hasan menjelaskan, "Pak, saya memang digaji untuk melayani siapa saja yang datang kesini. Melayani dengan baik itu memang tugas saya, itu artinya saya belum membantu bapak, saya baru menjalankan tugas saja. Terimakasih apresiasinya dan silahkan dibawa kembali bingkisannya." Subhanallah, mudah-mudahan semua pegawai seperti itu.

Sedangkan sebagai istri, Husna bertanggung jawab urusan rumahtangga. Hasan memintanya untuk fokus dengan tanggungjawab itu. Husna rela meninggalkan pekerjaannya di kantor dan beralih meniti karir sebagai ibu rumah tangga. Husna sadar betul dengan kedudukannya yang sekarang. Mengingat perintah Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 33:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Jaman sekarang menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang 'sepi peminat'. Tidak percaya? Tanya saja sama anak-anak yang masih sekolah, "Apa cita-citamu nak?" Jawabannya akan sangat beragam mulai dari jadi guru, dokter, pramugari, pilot sampai pengusaha. Tapi adakah yang menjawab, "Cita-citaku menjadi ibu rumah tangga yang sukses." Sulit kita temukan.

Di pihak lain, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ketika ditanya, "Ibu bekerja dimana?" merasa malu ketika harus menjawab, "Saya tidak ngantor, saya di rumah saja, jadi ibu rumah tangga." Apalagi yang nanya akan melanjutkan dengan perkataan, "Kenapa ibu tidak bekerja? Tidak enak lho tidak punya penghasilan sendiri itu, mau apa-apa harus minta suami, sedikit-sedikit harus ijin suami. Kepengen ini tidak bisa, kepengen itu tidak kesampaian, repot!"

Padahal kalau kita cermati profesi sebagai ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan ringan, ini pekerjaan hampir tidak ada istirahatnya, juga tidak ada jatah cutinya. Setiap harinya mulai bertugas paling awal dan selesai paling akhir. Tidak tanggung-tanggung beberapa posisi dan jabatan diborong. Mulai dari cleaning service, chef, baby sitter, guru privat, purchasing manager, sekretaris pribadi, dan satu lagi, ketika malam tiba harus bisa menjelma menjadi bidadari cantik untuk menyambut sang pangeran, heem........
Di kantor manapun tidak ada jabatan segitu banyak di pegang satu orang, tidak akan ada yang mau. Apalagi profesi ini tidak ada salarynya. Lengkaplah sudah…Tapi jangan khawatir dapatnya jauh lebih baik dari sekedar salary, yaitu pahala yang berlimpah, subhanallaah. 
         
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ 

Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya,"Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai." (HR Ahmad 1/191 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimullah dalam Shahilul Jami' no. 660, 661)         

Keutamaan-keutamaan lainnya bisa dibaca di hadist panjang nasehat Rosulullah SAW kepada putrinya, Fatimah Az-Zahro ra.           
          
Sementara untuk pasangan Syarif-Syarifah yang mana istrinya punya kemampuan dan kesempatan yang lebih dibandingkan suaminya dalam berkarir. Di era sekarang ini hal itu tidak mustahil. Karena pendidikan dan peluang yang sangat terbuka bagi wanita, sehingga untuk beberapa posisi karir seorang wanita bisa lebih cepat melejit dibandingkan kaum laki-laki.

Jika hal itu yang terjadi dalam sebuah rumahtangga, maka bagaimana cara memandang dan memahaminya, menjadi sangat penting. Sebagai seorang istri amatlah terpuji jika dia menerima dan ikhlas dengan apapun dan seberapapun nafkah yang diberikan suaminya. Namun jika 'terpaksa' karena satu dan lain hal, maka tidak mengapa jika seorang istri bekerja di luar rumah.. Ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan keterpaksaan itu misalnya:
  1. Kebutuhan ekonomi yang mendesak.
  2. Ada orangtua atau saudara yang harus dinafkahi.
  3. Ada planning yang membutuhkan dana, misalnya biaya pendidikan anak, menunaikan ibadah haji, menyantuni anak yatim dan dhu'afa, membangun pesantren, atau yang lainnya.
  4. Profesi yang digeluti sangat dibutuhkan oleh orang banyak.
  5. Mempunyai ilmu dan ketrampilan yang sangat bermanfaat.
  6. Menghindarkan diri dari meminta-minta bantuan pada orang lain (menjaga kehormatan diri dan keluarga).
Jika keterpaksaan itu harus diambil maka sangat diperlukan adanya saling pengertian dari masing-masing pihak. Istri wajib mengantongi ijin dari suami dan harus mendapatkan ridlonya untuk menekuni karirnya. Yang terpenting adalah istri harus mampu mendudukkan dirinya pada tempat yang semestinya. Misalnya seorang istri walaupun di kantornya punya kedudukan tinggi, tapi di dalam rumah tetaplah seorang istri, yang harus menghargai, melayani dan taat pada suaminya. Bagaimanapun juga seorang istri bisa seperti itu karena dukungan dari suaminya, tak jarang pula karena suaminya bersedia mengambil alih beberapa tugas atau kewajiban istrinya.

Diberi kesempatan dan ijin untuk menjadi wanita karir jangan sampai menyebabkan istri durhaka pada suami. Alangkah baiknya jika kesempatan itu dipakai untuk sebanyak-banyaknya mengambil manfaat. Dengan mempunyai penghasilan sendiri seorang istri bisa berbuat lebih banyak dibandingkan yang tidak berpenghasilan. Lebih besar kesempatan untuk bersedekah, lebih banyak peluang untuk membantu sesama, dan terbuka lebar jalan untuk beramal jariah dengan ilmunya. Jika bagi seorang suami menafkahi keluarga adalah wajib, maka bagi istri memberi nafkah keluarga adalah sedekah.
    
Selain itu perlu juga dipilih pekerjaan yang tidak melanggar ketentuan syar'i. Yaitu pekerjaan yang halal dan menghasilkan yang halal pula, juga dalam bekerja tetap bisa menjalankan kewajiban sebagai muslimah dengan baik. Misalnya ibadah fadlu ‘ainnya tidak terganggu, kewajiban utama sebagai istri tidak terbengkalai, dan akhlaqnya tetap terjaga dengan etika pergaulan dan cara berpakaian yang syar’i.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
               
Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Lain Syarif-Syarifah lain pula halnya dengan Aisyah. Tatkala kepala keluarga tak lagi mampu mencari nafkah, Allah tidak berhenti untuk memberikan rejeki-Nya. Melalui anak-anaknya Allah menurunkannya. Kondisi ini justru memberi kesempatan bagi anak-anaknya untuk berbakti pada orangtua lebih baik lagi.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’ Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.” (QS Al-Isra’ [17]: 23-25)

Jika anak-anaknya ikhlas, Insya Allah keberkahan akan menaungi mereka, dan surga telah menanti mereka, Insya Allah.           

Rasulullah telah menghimbau dengan sabdanya: "Barangsiapa ingin panjang umur dan beroleh rizki melimpah ruah, maka hendaklah dia berbakti kepada orangtua dan menyambung tali persaudaraan." (HR Imam Ahmad dari Anas bin Malik).

Rasulullah telah menegaskan, bahwa barangsiapa berbakti kepada orangtua, maka dia akan memperoleh kebahagiaan panjang umur yang penuh keberkatan. (HR. Imam Abu Ya'la dan Thabrani bersumber dari Mu'adz bin Jabal)

Suatu ketika datang seseorang lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya ingin ikut berjihad, tapi saya tidak mampu!” Rasulullah bertanya, “Apakah orangtuamu masih hidup?” Orang itu menjawab,“Ibu saya masih hidup.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjelaskan: “Temuilah Allah dengan berbakti kepada kedua orangtuamu (birrul walidain). Jika engkau melakukannya, samalah dengan engkau berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Thabrani).


Setiap alur kehidupan mempunyai kelebihan masing-masing, sekaligus juga mempunyai kekurangannya sendiri-sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola kelebihan tersebut sehingga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya, dan meminimalkan kekurangan yang ada agar tidak mendatangkan madhorot. Setiap insan diberi jatah waktu yang sama, yaitu 24 jam sehari, tidak lebih tidak kurang. Di rentang waktu itu banyak hal yang bisa kita kerjakan. Sulit bagi kita untuk bisa mengambil semua pekerjaan itu sekaligus, maka harus dipilih mana yang manfaatnya lebih besar daripada madhorotnya. Untuk tiap individu atau keluarga bisa berbeda-beda jalan yang ditempuh, tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Tiap pilihan pasti ada sisi baiknya dan ada sisi buruknya, ada kelebihannya ada kekurangannya.  
          
Jika karena kesibukan di luar rumah seorang istri tidak sempat membuatkan dan menyajikan makanan dan minuman untuk suaminya, padahal pahala untuk itu lebih baik daripada berhaji dan puasa setahun penuh, maka lakukanlah sesuatu yang pahalanya setara atau lebih dari itu.

Jika banyak yang tidak mau repot hamil dan melahirkan banyak anak, padahal pahala wanita yang hamil sama dengan orang yang selalu puasa di siang hari dan sholat sepanjang malam, dan ketika melahirkan hapuslah segala dosa sebelumnya, kecuali dosa syirik. Belum lagi pahalanya merawat anak, maka ambillah sesuatu yang lebih utama dari itu.  Bukan bermaksud hitung-hitungan tapi hanya memanfaatkan waktu dengan maksimal, bukankah umur kita di dunia ini sangat terbatas? Kita hanya berusaha untuk melakukan amalan yang paling utama dan menghindari kesia-siaan, agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.           

مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ 

مَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيَعِفَّهَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَ مَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيْلِ 

الطَّاغُوْتِ وَ فِي رِوَايَةٍ فِي سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ

Barang-siapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan)  untuk kedua orang-tuanya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja untuk keluarganya, maka ia berada dalam sabîlillâh, dan barang-siapa yang bekerja untuk dirinya, untuk menjaga kehormatannya maka ia berada dalam sabîlillâh. Dan barang-siapa yang bekerja (dengan niat atau tujuan) menumpuk-numpuk harta, maka ia berada di jalan yang sesat atau di jalan syaithân.
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzâr, Abû Nu'aim dan Ash-Bahânî. Lihat Al-Ahâditsush-Shahîhah oleh Syaikh Muhammad Nâshirud-Dîn Al-Albânî jilid V hal. 272 no.: 2232)

Insya Allah tidak ada yang berat jika semua kita lakukan dengan penuh harap akan pertolongan Allah, dan Allah juga telah memberi kita keringanan dengan firman-Nya:

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At-Taghobun: 16)

Sabtu, 28 Juni 2014

TATAPLAH WAJAHNYA SAAT DIA TIDUR

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Amin sampai di depan rumahnya. Hari ini ia pulang telat karena ada pekerjaan yang harus ia tuntaskan malam ini juga. Rumahnya tampak sudah sepi dan terkunci rapat. Lampu di ruang tamu juga sudah dimatikan. Pertanda penghuninya sudah istirahat malam. Tidak ingin mengganggu siapapun, Amin turun dari kendaraan dan segera membuka pintu pagar. Ia selalu membawa kunci pintu pagar dan juga kunci pintu rumah ketika bepergian. Bunyi pagar berderit ketika di dorong. Perlahan ia masukkan kendaraan, dan kembali mengunci pintu pagarnya. Tak lama kemudian ia membuka pintu rumah
.
"Assalaamu'alaikum." ucapnya lirih saat masuk rumah. Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur.

"Biar malaikat yang menjawab salamku," begitu pikirnya.

Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu barulah  ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sejauh ini tidak ada satu orangpun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya.

Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya pernah berkata,

"Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamupun juga tidak sama persis dengan maunya. Jangan pula berharap punya istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri itu adalah dua orang yang berbeda, bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat  ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah dan perasaan tidak enak lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur."

"Kenapa Kek kok waktu dia tidur?" tanya Amin kala itu.

"Nanti kamu akan tahu sendiri." jawab kakeknya singkat.

Waktu itu Amin tidak paham apa maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini ia baru mulai memahaminya. Malam ini ia tatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Di batinnya dia bergumam :

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
         
Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku.

Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk mentaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku
       
Wahai istriku, di kala susah kau setia mendampingiku, di kala sulit kau tegar di sampingku, di kala sedih kau pelipur laraku, di kala lesu kau penyemangat jiwaku, di kala gundah kau penyejuk hatiku, di kala bimbang kau penguat tekadku, jika aku lupa kau yang mengingatkanku, jika aku salah kau yang menasehatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.

Lalu atas dasar apa aku harus kecewa padamu, dengan alasan apa aku perlu marah padamu? Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah, karena kau insan, kau bukan malaikat.

Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridloan Allah SWT. Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah memberikanmu sebagai jodohku.

Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring disisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun sudah terlelap

Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat kaget.
"Astaghfirullaah,  sudah jam dua?"

Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
        
"Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak denger apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?" gumamnya dalam hati.

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya batinnya yang bicara.
    
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

Wahai suamiku, di kala aku sendiri kau datang menghampiriku, di kala aku lemah kau ulurkan tanganmu menuntunku, di kala duka kau sediakan dadamu untuk merengkuhku, dengan segala kemampuanmu kau selalu ingin melindungiku.

Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

Lalu atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da'i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal sholeh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.

Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk menaati Allah SWT. Aku akan patuh kepadamu untuk memjemput ridlo-Nya.

Teng…teng…teng… jam dinding di ruang tengah kembali berdentang. Kali ini berdentang tiga kali.

"Sudah jam tiga." gumam Aminah.

Dihapusnya airmata di pipi. Perlahan, dielus tangan suaminya sambil berbisik,

"Mas, sudah jam tiga, bangun yuk, kita sholat."

Di penghujung malam itu, dua insan Amin dan Aminah, dengan melawan letih dan kantuk berusaha untuk memenuhi panggilan Allah:
                                                  
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا                                                                     
                                            
Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) pada malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (QS. Al-Muzzammil: 1-2)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
                         
Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Robb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. (QS. AI-Isroo': 79)


تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
                  
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (bangun untuk sholat tahajud) seraya mereka berdoa kepada Robb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rejeki yang Kami berikan kepada mereka. 
Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah: 16-17)

Jumat, 27 Juni 2014

SIAPA BERANI MENGALAH?

Pagi itu Bu Siti, nenek berusia tujuhpuluh tahunan pingsan di depan rumahnya. Entah apa penyebabnya, tidak ada yang tahu. Di rumah itu beliau tinggal sendirian. Hanya seminggu sekali, Bi Inem, tetangga belakang rumahnya datang untuk membantu bersih-bersih rumah. Pagi itu Bu Siti sedang sendirian di rumahnya.

Untunglah ada Pak Udin, tetangganya yang sedang lewat, melihat Bu Siti terjatuh. Dia segera menolongnya dan kemudian membawanya ke Rumah Sakit. Ketika petugas RS menanyakan mana keluarga Bu Siti, Pak Udin hanya clingukan dan akhirnya menjawab,
      
          "Saya suster, saya tetangganya."

Setelah petugas RS menuntaskan administrasi, barulah Bu Siti ditangani. Dokter menyarankan untuk rawat inap, karena ada diagnose awal yang harus diobservasi lebih lanjut. Akhirnya Bu Sitipun ditempatkan di sebuah ruang perawatan. Ketika kondisinya sudah mulai stabil, Pak Udin bertanya pada Bu Siti.

           "Maaf Bu, apakah Bu Siti punya anak, saudara, atau keluarga yang lain?"

Dengan pandangan sayu dan tubuh lemas, Bu Siti menjawab 
          "Punya Pak, anak saya ada di kota."
          "Ibu punya alamat atau nomer telponnya?" tanya Pak Udin lagi.

Segera Bu Siti merogoh-rogoh kantung bajunya, mencari sesuatu. Tak berapa lama kemudian mengeluarkan selembar foto seorang laki-laki gagah dengan penampilan yang rapi. Foto itu diserahkan kepada Pak Udin sambil berkata,
          "Ini anak saya..."

Pak Udin menerimanya, melihat sebentar dan membaliknya. Di belakang foto itu tertera alamat dan nomer telpon.
          "Boleh saya hubungi anak Ibu?" tanya Pak Udin
          "Ya…" jawab Bu Siti lirih

Beberapa kali Pak Udin mencoba menghubungi nomer yang tertera di balik foto itu, tapi hanya mailbox.
          "Belum bisa dihubungi Bu." katanya. Bu Siti hanya mengangguk lemah.

Siangnya Pak Udin kembali mencoba menelpon, belum juga bisa dihubungi.  Demikian juga sore harinya. Setelah malam barulah telepon diangkat. Dari seberang terdengar suara menjawab,
          "Ya halo?"
          "Maaf pak, saya Udin, tetangga ibu anda di kampung. Saat ini ibu anda sedang di rumahsakit. Bisakah anda kesini sekarang?"
          "Ibu sakit apa?” tanyanya lagi.
          “Dokter bilang lemah jantung dan apalagi gitu, saya belum begitu paham.”
          “Aduh…bagaimana ya?! Besok saya ada meeting penting, sementara istri saya juga sedang hamil, dia nggak mau saya tinggal, diajak juga nggak bisa, Gimana ya?" jawab suara di seberang penuh tanya.


SEMENTARA ITU…
Di belahan bumi yang lain, Pak Ahmad dan Bu Ahmad sedang bimbang, bingung, bahkan mereka sedikit bersitegang. Saat itu mereka sedang mendapatkan rejeki yang lumayan. Lho…dapat rejeki kok malah bingung? Ya…mereka bingung bagaimana cara mengatur uang itu. Pasalnya sudah lama mereka mengidam-idamkan untuk pergi naik haji, Alhamdulillah dapat rejeki, cukup untuk berdua. Masalahnya adalah ibunya Pak Ahmad juga sangat menginginkan hal yang sama. Berulang-ulang sejak bertahun-tahun yang lalu beliau sering berkata,
           “Ahmad, kalau kamu punya rejeki ajak Ibu ke Mekah ya? Ibu ingin sekali berhaji sebelum Ibu meninggal.”
Bagaimana Pak Ahmad nggak bingung, sementara dengan tegas Bu Ahmad mengatakan,
          "Kalau Bapak mau pergi haji saya harus ikut."


JIKA KITA BERADA PADA POSISI SEPERTI ANAK BU SITI ATAU SEPERTI PAK AHMAD, MANA YANG HARUS KITA PILIH?

Jika kita merunut ke langkah awal menapaki biduk rumahtangga, bahwasanya pernikahan bukanlah hanya mempersatukan dua insan dalam satu ikatan, tetapi juga mempersatukan dan melibatkan dua keluarga. Kemudian akan berkembang menjadi berbagai interaksi yang kompleks. Ada istri/suami dan anak-anak, ada orangtua dan juga mertua, atau mungkin anggota keluarga yang lain. Maka dalam perjalanan berumahtangga dari waktu ke waktu, tak menutup kemungkinan, atau seringkali, atau bahkan selalu kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Sulit dalam memilih kewajiban mana yang harus didahulukan, kepada orangtuakah? atau kepada istri/suami?.

Mungkin kita sudah hafal luar kepala tentang wajibnya, manfaatnya, termasuk cara-caranya birrul walidain (berbakti pada orangtua). Bahkan nash-nashnyapun sudah tidak asing lagi di telinga kita. Tapi dalam kehidupan nyata, tidak jarang kita berada pada posisi yang sulit untuk mengaplikasikannya. Di satu sisi ada orangtua yang butuh perhatian, di sisi lain ada suami/istri atau anak-anak yang menuntut tanggung jawab. Posisi sulit itu pula yang kemudian sering melahirkan keputusan yang kurang bijak jika tidak dikelola dengan baik.

Sangatlah wajar jika orangtua sering dilanda kekhawatiran, tatkala anaknya menikah. Walaupun kekhawatiran itu tidak sampai menghilangkan kebahagiaan atas pernikahan anaknya. Yang paling mereka khawatirkan adalah 'kehilangan'. Bukan kehilangan dalam arti fisik, tapi kehilangan dalam perhatian  kasih saying ataupun kehilangan waktu kebersamaan.

Jika anda seorang laki-laki maka kewajiban dan ketaatan kepada orangtua tidak pernah berubah sedikitpun. Baik sebelum ataupun sesudah menikah. Lain halnya dengan wanita, jika sudah menikah, maka yang bertanggung jawab penuh, dan orang pertama harus ditaati adalah suaminya. Karena ijab qobul dalam pernikahan adalah 'pengalihan' tanggung jawab dari orangtua ke suami.
        
Sebagai suami/istri sangatlah bijak jika tidak menghalangi pasangan kita untuk berbakti pada orang tuanya. Karena orangtuanyalah yang merawat, membesarkan, mendidik dan membiayai segala kebutuhannya hingga dewasa atau hingga mampu mandiri. Bukankah sebenarnya kita tinggal enaknya, tanpa bersusah payah, ibaratnya tanpa menanam, tanpa merawat, tinggal memetik buahnya saja. Atau paling tidak tinggal tunggu panen. Enak kan…Sudah sepantasnya kita berterimakasih yang sebesar-besarnya kepada mertua. Karena jasa merekalah kita mendapat pasangan hidup seperti sekarang. Karena usahanyalah kita menerima karunia itu. Untuk itu berikanlah ruang, berikanlah kebebasan, dan berikanlah keleluasaan pada pasangan kita untuk mendapatkan surganya dengan berbuat baik pada orangtuanya. Agar dia tidak merugi sebagaimana yang dikisahkan dalam sebuah hadist riwayat Muslim ini:

Dari Suhaili dari ayahnya dan dari Abu Hurairah RA. Rosulullah SAW bersabda, "Merugilah ia (sampai 3 kali)" Para sahabat bertanya, "Siapa ya Rosulullah?" 
Rasulullah SAW bersabda, "Merugilah seseorang yang hidup bersama kedua orangtuanya atau salah satunya di saat mereka tua renta, namun ia tidak masuk surga" 

Jangan biarkan pasangan kita ada pada posisi sulit 'harus memilih', tapi biarkan dia 'mengambil semua pilihan'. Kita dukung dia, kita bantu dia agar bisa menjalankan semuanya itu dengan baik. Menunaikan kewajiban, amanah dan tanggungjawabnya. Sehingga tidak harus ada yang diambil dengan meninggalkan yang lainnya, tidak harus ada yang senang di satu pihak dengan menyebabkan mengalirnya airmata di pihak yang lain. Jikapun pada keadaan terpaksa, maka kitalah yang mengalah untuk orangtua.
Seorang suami tidak perlu 'sangat protective'  terhadap istrinya. Agar istrinya bisa tetap menumpahkan kasihsayang dan baktinya kepada orangtuanya. Asalkan dia tetap bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri dengan baik, dan tanpa menelantarkan anak-anaknya, biarkan dia memperhatikan, membantu, ataupun merawat ibu bapaknya. Bukankah seorang wanita yang patuh terhadap orangtuanya, tentu tidak akan sulit baginya untuk taat pada suami. Bukankah seorang wanita yang bakti pada orangtuanya, tentu tidak akan canggung untuk berlaku hal yang sama pada suaminya. Bukankah seorang wanita yang sabar menghadapi orangtua, tentu akan telaten merawat anak-anaknya. Jika seorang wanita seperti itu siapa yang beruntung? Pastilah suaminya. Tentulah anak-anaknya.
.
Seorang istri juga tidak perlu 'terlalu dominant' mempengaruhi pasangannya. Agar suaminya bisa leluasa berbakti pada orangtuanya. Tidak perlu kucing-kucingan untuk menjenguk mereka, tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk menafkahinya, dan tidak perlu mencari-cari alasan untuk membuat orangtuanya bahagia. Asalkan tidak menelantarkan anak istrinya, asalkan sudah menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka biarkan dia mengasihi orangtuanya, biarkan dia berbakti padanya. Bukankah seorang laki-laki yang sayang pada orangtuanya, tentu dia punya hati yang lembut, yang tidak akan mungkin tega membuat tangis istri dan anaknya. Bukankah seorang laki-laki yang berbakti pada orangtuanya, tentu akan menjadi suami yang penuh tanggungjawab pada keluarganya. Jika seorang laki-laki  seperti itu, siapa yang berbahagia? Tentulah istri. Tentulah anak-anaknya.

Walaupun kadang ada yang sebaliknya, seorang laki-laki yang sangat sayang pada istri dan anak-anaknya, sampai tega mengabaikan orangtuanya. Na'udzubillahi min dzaalik. Kita jaga agar jangan sampai suami kita jadi seperti itu.

Sebagai istri ada saat tertentu kita harus 'berani mengalah'  Haaah? Berani mengalah? Kenapa harus berani… tapi untuk mengalah? Bukannya harus berani melawan? Oh ya......ini teori aneh barangkali. Jika untuk berani melawan maka hal itu kita butuhkan ketika ada musuh atau ketika ada sesuatu yang membahayakan diri kita. Sehingga kita perlu melawan agar kita menang atau agar posisi kita menjadi aman. Untuk berani melawan kita perlu mengumpulkan kekuatan, juga perlu bermacam strategi untuk mengalahkan musuh atau bahkan untuk menghancurkannya. Setelah itu apa yang kita dapatkan? Kalau menang akan berbahagia di atas penderitaaan orang lain, dan kalau kalah akan menderita, sakit hati ataupun amarah.

Tapi dalam sebuah pernikahan kita tidak mencari pemenang, samasekali tidak. Kita juga tidak sedang menghadapi musuh. Bahkan bahaya yang mengancam kitapun tidak. Kita memang sedang berjuang  namun bukan berjuang melawan seseorang, tapi berjuang untuk memenangkan kemashlahatan. Kita juga sedang mengatur strategi, yaitu strategi untuk membuat kebahagiaan. Mewujudkan rumahtangga sakinah (tenteram), mawaddah (penuh cinta dan kasih saying) wa rohmah (mendapat karunia Allah SWT)

Adakah musuh kita? Tentulah ada. Musuh utama kita adalah hawa nafsu setan dan ego. Untuk itulah kita perlu keberanian untuk mengalah. Tatkala kita sudah mengambil sikap untuk berani mengalah, maka yang harus kita lakukan adalah menyingkirkan penyakit hati (angkuh dan sombong), mengendalikan emosi, merendahkan egoisme (mau menang sendiri), melunakkan tutur kata, memupuk kesabaran disertai keikhlasan untuk berbuat. Sulitkah? Beratkah? Ya iyalah.... pasti. Karena itulah perlu 'keberanian'.
Jika sudah mampu untuk berani mengalah, maka nantinya yang jadi pemenang adalah kebaikan, ketentraman dan kebahagiaan..

Mertua bukanlah rival (lawan) kita, bukan pula kompetitor (saingan) kita, tapi mereka 'satu team pendukung'  bagi kesuksesan kita dan pasangan kita. Ke belakangnya, adalah pasangan kita bisa seperti sekarang berkat keringat, airmata dan doa mereka. Dan ke depannya, adalah tidak ada keberkahan tanpa ridlo mereka.

Terkadang memang tidak mudah untuk merawat orangtua. Perbedaan jaman, gaya hidup, kegemaran dan juga nilai-nilai kehidupan sebagai pemicunya. Untuk diajak tinggal di rumah kita saja belum tentu mereka bersedia. Tentunya dengan berbagai alasan seperti lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, atau merasa masih mampu mandiri, atau pola hidup yang berbeda dengan anak, menantu serta cucunya. Sementara bagi si anak tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab ada di tempat yang jauh. Dalam kasus seperti ini butuh pengertian dan kesabaran dari semua pihak. Kalau dipikir bukankah mereka dulu juga sangat sabar dan telaten mengasuh kita. Jika kita tidak mau makan, akan dibujuk, dirayu dan segala macam cara ditempuh agar kita mau makan. Demikian pula dengan telatennya mereka mengejakan huruf-perhuruf, kata-perkata, semenjak kita belum bisa mengucapkan sepatah katapun hingga pandai bicara. Dengan tekunnya mengajarkan banyak hal, dari kita tidak bisa apa-apa hingga mampu banyak berkarya. Subhanallah. Sekarang giliran kita untuk berlaku hal yang sama, mencontoh kesabaran, ketelatenan dan ketekunan mereka.

Terakhir yang sangat penting yang tidak boleh ditinggalkan untuk orangtua adalah DOA. Ini yang benar-benar akan membahagiakan mereka di dunia ini dan nanti di akhirat, sebagaimana sabda Rosulullah SAW dalam sebuah hadist riwayat Baihaqi:

Bahwasanya akan ada seorang hamba pada hari kiamat nanti yang diangkat derajatnya, kemudian ia berkata, "Wahai Tuhanku darimana aku mendapatkan (derajat yang tinggi) ini?" 
Maka dikatakan kepadanya, "Ini adalah dari istighfar (doa permintaan ampun) anakmu untukmu." 

Dulu, sekarang dan selamanya kita menjadi anak. Sudah atau akan, kita menjadi orangtua. Insya Allah jika kita baik sebagai anak, akan diperlakukan baik pula oleh anak.