Sabtu, 30 Juli 2016

MENYAMBUT PANGGILAN ALLAH


Bulan Syawal sudah ada di penghujung. Di beberapa tempat sudah mulai nampak hiasan janur di gerbang rumah atau di ujung gang. Sebagai pertanda bahwa di rumah itu atau di dalam gang tersebut sedang ada ziarahan. Yaa… didaerah tempatku tinggal ada sebuah tradisi yang diberi nama Ziarahan. Tradisi itu dilakukan oleh orang-orang yang akan pergi berhaji. Calon jamaah haji biasanya akan menerima banyak tamu dari kalangan saudara, teman dan tetangga yang datang silih berganti untuk mendoakan kelancaran ibadah hajinya. Di lain pihak para tamu juga sering menitip doa kepada para calon jamaah haji. Doa agar segera ‘mendapat panggilan berhaji’ atau doa-doa yang lain. Kegiatan itu bisa berlangsung selama sebulan atau lebih sebelum keberangkatan.

Melihat mulai semaraknya janur ziarahan, memoriku melayang ke masa 7 tahun silam, tepatnya tahun 1430 H atau 2009 M. Waktu itu kami, saya dan suami, juga mendapat ‘undangan’ untuk bertandang ke Baitullah. Kami mendaftar 2 tahun sebelumnya, yakni tahun 2007, dan mendapat jatah berangkat tahun 2009. Karena kami pendatang, maka tradisi ziarahan tidak kami lakukan, cukup walimatus safar saja. Dan bukan itu yang membuatku ingin menulis, tapi memaknai panggilan haji itu yang tak bisa kulupakan.

Awal tahun 2007 kami menjual rumah lama kami. Alhamdulillaah, dua tahun sebelumnya Allah telah memberi rizqi untuk membeli rumah yang lebih lapang. Rencana awalnya, hasil penjualan rumah akan dibelikan rumah di Malang, dengan harapan jika anak-anak kuliah nanti bisa menempatinya, jadi tidak perlu indekost.

Ketika suami masih nimbang-nimbang dimana lokasi yang paling bagus, entah kenapa aku samasekali tidak antusias. Aku merasa sudah cukup punya rumah baru yang lapang serta nyaman untuk kami berenam. Bahkan jika nambah momongan sekalipun tidak akan terasa sumpek, walaupun saat itu belum 100% selesai dibangun. Lalu pertanyaannya, untuk apa beli rumah lagi? Sementara waktu itu anak sulungku masih kelas 2 SMP, belum tentu juga akan kuliah di Malang.

Sanubariku berkata lain, aku merasakan ada dorongan hati yang begitu kuat dan kerinduan yang mendalam untuk beribadah ke Tanah Suci, lebih dari sebelumnya. Keinginan besar yang menyeruak dari dasar hati. Apalagi saat itu situasi dan kondisinya mendukung. 

Masih mencari waktu yang tepat untuk mengutarakan keinginan. Hingga suatu hari saat kami bercengkerama berdua, setelah ngobrol banyak hal.

“Mas, tidakkah sebaiknya kita batalkan saja rencana beli rumah di Malang… Punya satu rumah ini saja sudah lebih dari cukup untuk kita sekeluarga...”

“Terus?” jawabnya masih dengan nada santai.

“Kita beli kapling di surga saja yuk…” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku, entah benar atau keliru ungkapan itu.

“Maksudnya gimana?” terlihat mulai serius menanggapi.

“Kita pakai uangnya untuk pergi haji…” jawabku mantap penuh harap. Aku tidak perlu menjelaskan maksud beli kapling di surga, karena yakin ia pasti mengerti.

“Serius? Siap?” tanyanya.

“Iyyaa, seriuuus… siaaap… Insya’ Allah…”

“Beneran? Tega ninggalin adik yang masih minum ASI? Sudah siap pisah sebentar sama anak-anak? Selama ini aku nunggu kesiapannya Umma. Aku pengennya Umma berangkat dengan hati mantap, semangat kuat dan tawakkal penuh, agar ringan kaki melangkah. Jangan sampai Umma berhaji tapi pikirannya di rumah, berat sama anak-anak…”

“Enggak Mas, ini beneran… aku wis mantep. Lagian kabarnya kan gak langsung berangkat tahun ini juga… Ngantri dulu… Jadi nanti pas kita berangkat adik sudah dua tahun lebih…” aku semakin bersemangat berargumen. Dan… sudah kuduga, hanya dengan hitungan detik suami langsung mengiyakan, karena sejatinya kerinduannya melebihiku.

“Alhamdulillaah Yaa Allah…” aku melonjak kegirangan, memeluknya penuh syukur dan bahagia.

Tidak mau menyia-nyiakan waktu, keesokan harinya kami langsung ke bank untuk mendaftar. Antusiasme masyarakat Lombok untuk berhaji sangat kuat, sehingga di tahun itupun sudah panjang waiting list-nya. Waktu itu untuk biaya pendaftaran awal sebesar 15 juta per-orang, maka sisa uangnya kami tabung untuk pelunasan dan kebutuhan lainnya.

Usai mengurus semua administrasinya kami beraktivitas seperti biasa sambil menunggu panggilan dari Depag. Dalam rentang waktu itu kesabaran kami banyak diuji. Orang Jawa bilang ‘godane wong arep munggah kaji’. Termasuk kesedihan mendalam atas sakit hingga meninggalnya Bapak, Ghafarallaahu wa Rahimahullaah… Matakuliah kekuatan iman dan ketangguhan mental harus kami lalui.

Tahun 2009 pemberitahuan dari Depag keluar, dimana kami termasuk dalam daftar calon jamaah haji tahun 1430 H. Alhamdulillaah… akhirnya panggilan itu nyata adanya. Al-Haromain seakan terpampang di depan mata. Rindu dan harap yang membuncah.

Namun lagi-lagi ujian datang menghampiri. Pelajaran ketawakkalan tengah berlangsung. Waktu itu kami tengah mengerjakan beberapa pekerjaan. Ada yang di pulau Lombok dan ada yang di luar pulau. Untuk yang di Lombok, suami bisa menghandle penuh. Sementara yang di luar pulau, kami menyerahkan pelaksanaannya kepada seorang teman yang sudah lama kami kenal. Suami dan kadang-kadang denganku hanya sekali-sekali memantau perkembangannya. Sampai pekerjaan selesai nampaknya tidak ada masalah yang berarti. Namun beberapa waktu kemudian baru nampak kejanggalannya. Ada supplier yang datang meminta pembayaran. Lho kok??? Usut punya usut ternyata selama ini pembayaran ke pihak ketiga tidak dijalankan dengan benar oleh teman kerja kami. Pekerjaan sudah selesai, uang sudah habis (katanya) akan tetapi tagihan dari pihak ketiga masih menumpuk. Dan ketika ditotal, Maasya’ Allah… jumlahnya sangat banyak, hingga ber-angka sembilan digit. Wow… kami terhenyak, kok bisa begitu? Padahal menurut analisa kami pekerjaan itu sangat feasible asal dikelola dengan benar. Tapi apa yang terjadi? entahlah… bagaimana teman itu mengelolanya, kami tidak bisa memantau sepenuhnya. Celakanya lagi kontrak pekerjaan itu memakai perusahaan kami. Jadi kamilah yang ditagih. Padahal keuangan sudah diserahkan penuh kepada teman tersebut karena kami sangat mempercayainya. Akan tetapi ketika ada masalah justru dia selalu menghindar.

Mau tidak mau kami terpaksa harus mengambil tanggungjawab membayar semua tagihan. Alhasil, tabungan terkuras habis, bahkan penghasilan dari pekerjaan yang ada di pulau Lombok-pun ikut hanyut. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun…

Tatkala dibuka periode untuk melunasi BPIH, kami belum punya cukup uang untuk itu. Maasya’ Allaah…

Dalam keadaan seperti itu, kami tidak patah arang. Tetap bersemangat mencari jalan keluar, tetap penuh harap dalam ikhtiar dan doa. Saat menengadahkan tangan, kalimat ini tidak tertinggal:

“Yaa Allah, Engkau Penguasa alam semesta, Engkau Mahatahu, jika Engkau ketahui bahwa kami pantas menjadi Tamu-Mu dan layak menginjakkan kaki di Rumah-Mu, maka Engkau pasti akan memberikan undangan, membukakan jalan untuk mendatangi Rumah-Mu dan menghantarkan kami kehadapan-Mu. Namun jika Engkau ketahui bahwa kami belum pantas menjadi Tamu-Mu, belum layak menginjakkan kaki di Rumah-Mu, maka Engkau Mahatahu apa yang terbaik untuk kami…”

Dengan sepenuh ketawakkalan, aku tetap mengikuti manasik haji yang diselenggarakan Depag, walaupun belum tahu pasti kami bisa berangkat nantinya. Toh menimba ilmu tak ada ruginya. Hari demi hari berlalu dan batas akhir pembayaran semakin dekat. Kepasrahanpun semakin dalam, berbaur dalam ikhtiar dan doa yang tak henti.

Hingga suatu hari Allah menjawab doa kami. Ada sebuah lembaga yang akan membangun gedung dengan nilai yang cukup besar. Pimpinannya mempercayai perusahaan kami untuk mengerjakannya. Karena sumber pendanaan dari internal lembaga, bukan APBD/APBN, sehingga tidak harus melalui proses tender. Dan yang membuat kami terperangah hampir tidak percaya dengan yang terjadi adalah… mereka MEMBAYAR LUNAS semua harga bangunan itu di saat terjadi kesepakatan, sebelum sebongkah tanahpun digali atau secuil batapun terpasang. Hanya dengan perjanjian bahwa kami harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum berangkat haji. Maasya’ Allah… ini sungguh luarbiasa, tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya sebuah kontrak hanya mendapat DP 30%, itupun dengan administrasi yang lengkap dulu, tidak serta merta. Allaahu Akbar...

Alhamdulillaah… rasa syukur yang tak terhingga…Rejeki yang datang tepat pada saatnya... Allah Ta'ala tidak pernah salah menentukan taqdir-Nya. Subhanallaah...

Akhirnya kami bisa melunasi BPIH beserta keperluan lainnya. Konsekuensinya harus kerja lembur terus-menerus selama 3 bulan. Normalnya pekerjaan itu selesai dalam waktu 5 bulan. Demi memenuhi tanggungjawab, sampai-sampai saat esok pagi jam 6 kami sudah harus berangkat ke asrama haji, jam 12 malam itu suamiku masih on site, memastikan bahwa semua pekerjaan beserta finishingnya bagus. Allahu Akbar…  

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا....
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Tholaq 2-3).

Sungguh, Allah Ta’ala tidak akan mengingkari Janji-Nya. Dia akan memberikan rizqi dari arah manapun bahkan dari tempat yang tidak kita sangka-sangka. Dia juga akan mencukupkan keperluan hamba-Nya. Walaupun kadang ketakwaan dan ketawakkalan sebagai syaratnya masih belum dijalankan seutuhnya, sangat tidak setara dengan karunia yang diterima, dan teramat kecil dibanding nikmat yang didapat. Namun sifat Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahiim melampaui segalanya, dimana Dia melingkupi hamba-Nya dengan rahmat tanpa henti tanpa batas. Subhanallaah walhamdulillaah…

Jangan pernah berputus asa dari Rahmat Allah, jangan pernah berhenti untuk berharap. Allah punya banyak jalan untuk mengabulkan doa hamba-Nya, karena Dia Mahatahu apa yang terbaik.

Kusambut Panggilan-Mu Yaa Rabb...




#goresan tangan yang terukir karna rindu kembali memenuhi kalbu#










                                                                        


2 komentar:

  1. Terharu membaca kisah ibu ini. Inspiratif sekali. Mengingatkan kita untuk terus berusaha dan percaya kepada Allah. Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah berkehendak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Yuni, kadang kita perlu memutar memori untuk muhasabah diri dan menggali inspirasi guna menguatkan hati. Membubungkan asa yang kadang pasang kadang surut. Kita saling menguatkan utk tegar, big hug...

      Hapus