Jumat, 22 Agustus 2014

LIKA-LIKU MUALLAF


Sore itu Alifah baru pulang dari kajian di masjid kampus. Seperti biasa ia selalu naik angkot. Maklum sejak jatuh dari motor beberapa tahun yang lalu ia jadi kurang pede untuk bermotor lagi. Di sampingnya ada wanita muda sedangkan di depannya duduk 2 orang ibu-ibu setengah baya. Sepertinya mereka bertiga berkawan, terlihat dari obrolan mereka. Tanpa bermaksud menguping, Tetap saja Alifah bisa mendengarkan obrolan mereka. Si wanita muda berkata pada ibu-ibu didepannya,
     “Tante, temanku si Dewi itu akan menikah lho, minggu depan.”
     “Benarkah? Dengan siapa ia menikah?” tanya ibu berbaju hijau.
     “Dengan teman kuliahnya. Tapi calon suaminya muslim, jadi Dewi sekarang ikut keyakinan calon suaminya itu.”
     “Dewi pindah agama? Apa sudah dipikir itu? biar gak nyesel nantinya? Ada lho kenalanku, ya begitu itu, pindah agama karena mau nikah. Eh… gak taunya beberapa tahun kemudian malah cerai. Ada juga yang setelah pindah agama hidupnya malah susah, banyak masalah… ya gitu deh!” sahut si ibu berbaju merah sengit.
     “Kurangtahu juga ya tante, soalnya aku gak mungkin ikut campur urusan keyakinan.” Jawab wanita muda itu pelan.

Setelah itu Alifah tidak tahu lagi pembicaraan mereka, karena ia turun terlebih dahulu, rumahnya tidak terlalu jauh dari kampus. Berjalan sebentar memasuki gang kecil, sampailah Alifah di rumahnya. Sambil merebahkan badannya yang lelah, Alifah memikirkan pembicaraan orang-orang di angkot tadi. Alifah mencoba menghadirkan kembali memorinya berkaitan dengan muallaf.

***
Secara bahasa muallafah adalah bentuk jamak dari kata muallaf, yang berasal dari kata al-ulfah (الأُلْفًة), yang artinya adalah menyatukan, melunakkan dan menjinakkan

Sedangkan secara istilah syariah, para ulama mendefiniskan makna al-muallafati quluubuhum dengan berbagai pengertian:

1. Menurut Al-Imam Az-Zuhri:

مَنْ أَسْلَمَ مِنْ يَهُودِيٍّّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ وَإِنْ كَانَ غَنِيّاً

(Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam walaupun mereka kaya).

2. Menurut Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Az-Zakah 2/57:

الَّذِينَ يُرَادُ تَأْلِيفُ قُلُوبِهِمْ بِالاِسْتِمَالَةِ إِلَى الإِْسْلاَمِ أَوْ تَقْرِيرًا لَهُمْ عَلَى الإِْسْلاَمِ أَوْ كَفُّ شَرِّهِمْ عَنِ المـسْلِمِينَ أَوْ نَصْرُهُمْ عَلَى عَدُوٍّ لَهُمْ

(Orang-orang yang diharapkan agar terbujuk hatinya untuk masuk Islam, atau untuk mengokohkan  mereka dalam Islam, atau untuk menghindarkan kejahatan mereka atas umat Islam, atau untuk membela mereka dari musuh-musuh mereka).

3. Secara umum muallaf biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang bersyahadat setelah baligh (dewasa, baik berasal dari agama yang lain ataupun dari tidak beragama.

Menjadi muallaf mendatangkan berkah tersendiri, Allah SWT memberi beberapa “hadiah” berupa:

1. Penghapusan dosa yang telah lalu

Syahadat adalah pintu masuk Islam. Jika seseorang memasukinya, maka banyak hal yang tidak dibawa serta. Segala perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam harus ditinggalkan. Dan indahnya adalah dosa yang ada pada seseorang tersebut juga ditinggalkan, tidak dibawa masuk.

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi (pada kekafiran), sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (ketetapan Allah) terhadap orang-orang dahulu.“ (QS. Al Anfal: 380.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwa Islam menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya, dan bahwa hijrah menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya, dan bahwa haji menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya” (H.R. Muslim, No. 121).

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az-Zumar: 53)

Imam Ibnu Katsir berkata tentang  QS. Az-Zumar ayat 53 ini “Ayat yang mulia ini merupakan seruan kepada orang-orang yang bermaksiat, baik orang-orang kafir atau lainnya, untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah). Ayat ini juga memberitakan bahwa Allah Tabaaraka Wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa semuanya bagi orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa tersebutan meninggalkannya, walaupun dosa apapun juga, walaupun dosanya sebanyak buih lautan. Dan tidak benar membawa arti pengampunan Allah (dalam ayat ini) dengan tanpa taubat, karena orang yang tidak bertaubat dari syirik tidak akan diampuni oleh Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, surah Az-Zumar: 53)

2. Dimasukkan surga.

Ini berdasarkan keumuman dalil bagi orang yang bersyahadat, termasuk orang yang muslim semenjak belum baligh.

“Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, ia masuk surga” (HR. Muslim 26)

Dari Abu Dzar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ kemudian meninggal, maka pasti masuk surga.” (HSR. Bukhari)

"Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa, 'Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan firman-Nya yang Allah berikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan, surga adalah haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga betapapun keadaan amalnya". Al Walid berkata, telah bercerita kapadaku Ibnu Jabir dari 'Umair dari Junadah dengan menambahkan: " maka akan dimasukkan ke dalam surga lewat salah satu dari ke delapan pintu surga yang mana saja yang dia mau".(Shahih Bukhari 3180)

3. Dihindarkan dari neraka.

Ini juga berdasarkan keumuman dalil bagi orang yang bersyahadat, termasuk orang yang muslim semenjak belum baligh.

“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al-Bukhari 6938 dari Mu’adz bin Jabal ra).

4. Berhak mendapatkan zakat.

Perpindahan menuju sesuatu yang baru tentu memerlukan adaptasi. Zakat disini dimaksudkan untuk membantu muallaf melewati masa transisinya. Karena kadang ada yang dikucilkan oleh keluarganya, ada yang diberhentikan dari pekerjaannya, ada yang dijauhi teman-temannya, ada pula yang dihancurkan bisnisnya. Dengan diberi zakat diharapkan bisa mengatasi kesulitannya dan menguatkannya dalam Islam. Jika muallaf tersebut tidak mengalami masalah secara materi, maka zakat tetap berhak didapatkannya sebagai hadiah dari kaum muslim untuk mereka, sebagai bentuk perhatian dan ikatan silaturrahmi. Zakat juga bisa sebagai daya tarik untuk agar orang lain juga tertarik untuk ber-Islam.

***
Jika Islam diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang indah, maka pertamakali orang bisa tertarik mungkin karena tapaknya yang bagus, mungkin karena catnya yang serasi, mungkin karena bentuknya yang menawan, mungkin pula karena penghuninya yang baik dan ramah.

Demikian pula seseorang bisa tertarik pada Islam bisa melalui beberapa sebab. Ada yang tertarik setelah berteman dan sering bertukar pendapat dengan muslim. Ada pula yang tertarik karena melihat ibadah/syariah yang dilakukan muslim. Ada yang karena membaca buku-buku Islam atau bahkan membaca/mendengarkan bacaan Al Quran. Ada pula yang karena tauhid (ajaran Keesaan Allah) yang menarik perhatiannya. Nah setelah mereka muallaf maka ketertarikan dari satu sisi tersebut harus ditarik ke sisi-sisi yang lain, agar pemahamannya tentang Islam menjadi kaffah (menyeluruh). Ini menjadi tanggung jawab pribadinya sebagai muallaf, keluarganya (jika ada yang muslim), kerabat, teman dan juga ‘alim ‘ulama.

Ketika seseorang telah bersyahadat maka ia adalah seorang muslim. Mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan muslim yang telah ber-Islam sebelum baligh.

Ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan oleh muallaf agar ke-Islaman dan keimanannya terus bertambah baik. Diantaranya adalah:

1. Mempelajari Dinul Islam dengan benar.

Kunci pokok perbedaan Islam dengan agama atau kepercayaan yang lain adalah tauhidnya, atau dalam bahasa umumnya disebut teologi. Tauhidul Islam adalah Allah Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Aqidah sebagai pondasi agama  adalah hal pertama dan utama yang harus dikuatkan. Jika keimanan dan keyakinannya telah kokoh, maka akan tangguhlah seseorang dalam menapaki kehidupannya. Ia juga akan mudah menerima dan melaksanakan aturan-aturan syariah dan fiqh Islam. Rasulullaah SAW di awal kerasulannya sangat menekankan pembinaan aqidah. Sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan di awal kerasulan yang lebih banyak membahas tentang aqidah. Setelah aqidah kuat, barulah diturunkankan perintah-perintah dan larangan-larangan berupa syariah, fiqh dan akhlaq.

2. Mempelajari cara membaca Al Qur’an, mengerti dan memahami isi dan maknanya.

Pedoman utama kaum muslim adalah Al Qur’an, setelah itu Al Hadist. Tentu saja untuk bisa memahami dan menjalankan Syariah Islam, kaum muslim harus mempelajari Al Qur’an. Walaupun banyak edisi terjemahnya, juga banyak ulama yang mampu menjelaskan tentang kandungan Al Qur’an, tetapi paling tidak setiap muslim wajib bisa membacanya. Selain karena membaca dan mentadabburinya adalah ibadah, juga karena semua ilmu bermula dari Al Qur’an.

3. Bersabar terhadap ujian Allah SWT.

Jika kita berjanji, pasti akan ditagih. Jika kita bersumpah, pasti akan diminta untuk membuktikan kebenaran sumpah itu. Tatkala bersyahadat, seseorang bersaksi dan bersumpah tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah SWT dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Tidak mustahil jika kemudian ia harus membuktikan bahwa ia ber-Islam bukan untuk mendapatkan pasangan hidup (suami atau istri), bukan agar punya sahabat sejati, bukan supaya naik jabatan, bukan guna mendapatkan keuntungan/harta berlimpah, bukan untuk menarik simpati masyarakat, bukan demi popularitas, dan bukan yang lain-lain. Tapi ia perlu membuktikan bahwa ia ber-Islam karena panggilan kebenaran, karena mendambakan ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, juga karena harapan hidup mulia dunia akhirat. Allah SWT telah berfirman,

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Tidak semua muallaf diuji dengan musibah dan kesengsaraan, ada pula yang diuji dengan kenikmatan dan keberuntungan, bahkan popularitas dan harta berlimpah. Ujian diberikan agar yang menjalaninya punya kesempatan untuk naik tingkat, dan agar ada jalan bagi Allah SWT untuk memberikan pahala dan hikmah yang lebih. Dan ujian itu juga sebagai tanda bahwa Allah SWT mencintai hamba-Nya. Di lain sisi Allah SWT juga menjanjikan bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahah (QS. Al Insyirah ayat 5-6).

Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya (HSR. Muslim No.2572)

Katakanlah (Muhammad), "Wahai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Robbmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik, di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas (QS. Az-Zumar: 10.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., "Sesungguhnya balasan yang besar ada dalam ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha dengan ujian itu, maka mereka akan mendapatkan keridhaan Allah. Barangsiapa yang murka atau tidak senang dengan ujian itu maka mereka akan mendapatkan murka-Nya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). 

4. Tetap istiqomah dalam cobaan.

Karena muallaf baru masuk Islam ketika sudah baligh, maka secara umum, berdasarkan hitungan masa/waktu, mereka  belum punya atau masih sedikit catatan amalnya. Bisa dikatakan mereka kalah start dibanding mereka yang sudah lebih dulu ber-Islam. Maka muallaf harus bergegas, harus berlari untuk mengejar ketertinggalan itu. Dalam QS. Al Waqiah ayat 10-11 Allah SWT berfirman,

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah)”

Tabiat manusia adalah baru berusaha kuat setelah terjepit. Maka cobaan adalah salah satu gambaran untuk membuat seseorang merasa terjepit, sehingga akan membuatnya berusaha kuat. Cobaan adalah cara Allah SWT untuk mendidik manusia agar menjadi kuat imannya. Ibarat besi yang berubah menjadi senjata tajam setelah ditempa. Cobaan memberi peluang pada seseorang untuk lebih giat beribadah, berdzikir, berdoa, berikhtiar, bersabar dan bertawakal. Mari kita simak hadist di bawah ini:

Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allah senantiasa mencobanya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukan itu. (HSR. Abu Ya'la No.6069).

5. Berdakwah.

Sebagai seseorang yang telah melalui proses pencarian untuk mendapatkan kebenaran, maka muallaf punya kesempatan untuk mendakwahkan apa yang diusahakannya dan apa yang didapatkannya dalam Islam kepada saudara, orangtua, kerabat, teman, tetangga, atau bahkan masyarakat luas, untuk mengajak atau mendorong mereka masuk Islam. Walaupun kadang ada hambatan baik secara internal yaitu dari diri sendiri yang belum terlalu paham tentang Islam, maupun eksternal berupa kecurigaan atau tentangan dari komunitas sebelumnya. Namun jika tekadnya kuat dan semangatnya besar, tentulah hambatan itu akan mampu dilampaui.

***
Sejatinya kelima hal diatas tidak hanya khusus untuk muallaf, tapi untuk seluruh kaum muslim. Hanya saja para muallaf seringkali jadi pusat perhatian baik oleh komunitas asalnya, maupun oleh kaum muslim. Karena mereka baru memulai ber-Islam setelah baligh, tidak sejak awal kehidupannya, seperti halnya kaum muslim yang lahir dari orangtua muslim.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar