Kamis, 14 Agustus 2014

BANYAK MODALMU MASUK SURGA, SOBAT!


Siang itu sangat terik. Apalagi di sekitar terminal bus. Angin kering menerbangkan debu beserta sampah. Belum lagi asap knalpot dari kendaraan yang keluar masuk terminal. Ditambah dengan ramainya suara klakson dan teriakan kenek-kenek bus yang mencari penumpang. Lengkaplah sudah kegerahan di siang itu.

Dari dalam taksi yang berjalan perlahan, Nurul menyaksikan ‘pemandangan indah’ itu. Matanya menyapu ke segala arah mengusir kejenuhan setelah beberapa hari terkungkung di gedung tertutup untuk pelatihan. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sosok wanita yang tengah berjalan sendirian. Gamis dan jilbab yang tak rapi dan jalannya yang gontai dengan pandangan tertunduk. Sepertinya dia sedang galau. Nurul merasa seperti mengenal sosok itu. Ketika wanita tersebut mengangkat wajahnya, spontan Nurul berteriak:
          “Putriii…”
          “Pak, pak, berhenti dulu pak!” pintanya pada sopir taksi .
          “Ada apa neng?” Tanya si sopir heran.
          “Itu pak, itu teman saya. Saya turun disini saja!”
Segera Nurul keluar dari taksi setelah membayar ongkosnya. Bergegas dia berlari menghampiri wanita itu. Nurul tidak pangling dengan sahabatnya itu, walaupun sudah hampir 20 tahun tidak pernah bertemu, walaupun  penampilan Putri sangat jauh berbeda. Bagaimana mungkin Nurul lupa pada Putri yang kala itu masih non muslim. Setiap hari Putri menghabiskan waktu di kosnya. Mulai dari mengerjakan tugas sekolah, jalan-jalan, bercanda bersama, sampai diskusi panjang tentang agama. Saat itu Putri sangat antusias belajar tentang Islam.
         “Putri? Kau Putri kan? Teman sekolahku dulu kan?” Tanya Nurul setelah dekat dengan wanita itu. Wanita itu menghentikan langkahnya dan menatap Nurul. Serta merta wajahnya berubah ceria.
          “Nurul…Benarkah ini Nurul sahabatku?!” teriaknya kegirangan, dia segera memeluk tubuh mungil di depannya. Tak lama kemudian airmatanya tumpah dalam pelukan Nurul.
          “Bagaimana kabarmu sobat?” tanya Nurul. Putri hanya terisak. Nurul tak tega bertanya lebih jauh.
          “Ayo kita ngobrol di kafe itu ya?” kata Nurul sambil menggandeng tangan sahabatnya itu.

Berdua mereka duduk di tempat yang agak sepi, agar bisa bebas ngobrol. Setelah memesan makanan dan minuman seperlunya, Nurul membuka percakapan.

          “Bagaimana kabarmu Putri, kita benar-benar tidak pernah ketemu setelah lulus sekolah.”
     “Perjalanan hidupku sangat berliku Rul.” Jawab Putri pelan. Melihat itu Nurulpun mengalihkan pembicaraan, kawatir melukai perasaan.
            “Rumahmu di deket sini ya Put?”
            “Ya lumayanlah, agak jauh Rul. Pikiranku sedang kacau Rul, aku tadi jalan tanpa tujuan tertentu. Tak terasa sampai di terminal ini.” Jawab Putri masih dengan pelan.
           “Begitukah? Apa yang sedang kau alami Put? Sebenarnya aku sangat penasaran, ingin tahu kisahmu setelah kita lulus sekolah. Itupun kalau kamu tidak keberatan. Kulihat kau mengalami perubahan yang sangat besar, terutama jilbabmu itu. Sejak kapan kau memeluk Islam Put?” Tanya Nurul beruntun. “Kalau aku biasa-biasa saja Put, tidak ada yang istimewa. Kuliah, kerja, nikah, punya anak, dan sekarang ini aku lagi ditugaskan kantor untuk pelatihan.”

Terlihat Putri menghela nafas panjang dan pandangannya menerawang jauh. Sepertinya dia benar-benar sedang kalut. Tak tega Nurul melihat sahabatnya seperti itu.
          “Putri, kita cicipi dulu makanan ini ya, sepertinya enak.” Sambungnya kemudian.
          “Oh, iya, terimakasih Rul.”

Sejenak kemudian keduanya mulai menikmati hidangan di meja. Enak juga menu makanan di kafe itu. Tak lama berselang Putri mulai bercerita,

         “Selepas SMA aku diterima di perguruan tinggi yang aku idam-idamkan. Seneng dan bangga, begitu juga dengan keluargaku. Masih seperti ketika bersahabat denganmu, aku sangat tertarik dengan Islam. Di kampus aku bertemu dengan beberapa aktivis masjid, dan aku terus belajar Islam bersama mereka. Tahun kedua di bangku kuliah, aku merasa sudah sangat yakin dengan pemahamanku, sudah mantap dengan Islam.

Aku bersyahadat di depan teman-teman dan pembimbing rohaniku. Alhamdulillaah aku sangat bahagia dan menemukan kedamaian dalam Islam. Namun, kau tahu sendiri kan, kalau keluargaku sangat kuat memegang keyakinannya. Sampai beberapa lama mereka tidak mengetahui kalau aku berpindah agama, aku belum berani berterus-terang. 

Suatu saat ada seseorang yang mengabarkannya kepada mereka. Bisa kau bayangkan murkanya mereka. Intimidasi, ancaman dan paksaan untuk kembali ke keyakinan semula sangat gencar mereka lakukan. Semua itu masih bisa aku terima dengan lapang dada. Aku tetap sayang dan hormat pada mereka. Aku tetap rutin mengunjungi mereka, walaupun mereka mengacuhkanku. Aku tetep berusaha sabar.

Tak lama kemudian aku memutuskan untuk berhijab. Bertambahlah kemurkaan mereka. Setelah itu keluargaku mulai menghentikan biaya hidup dan sekolahku, dan melarangku pulang ke rumah, kecuali jika aku murtad. Sampai disini aku masih berusaha untuk tegar, berusaha untuk mandiri. Aku kerja paruh waktu sebagai penjaga toko sambil kuliah, menjadi sales barang dagangan orang, memberi les privat anak-anak SMA, dan apa saja usaha aku lakukan untuk bertahan hidup, asal halal. Butuh tekad dan semangat yang sangat kuat untuk menjalani itu Rul. Kau tahu kan dari kecil aku selalu hidup dalam kecukupan. Tak pernah susah, tak pernah kerja apapun, walaupun hanya sekedar menyapu rumah atau mencuci baju sendiri. Sebagai anak perempuan satu-satunya aku sangat dimanja.

Selama 3 tahun kujalani semua itu hingga kuliahku selesai. Rupanya keluargaku belum juga menyerah. Ketika aku datang ke rumah untuk mengundang mereka dalam acara wisudaku, tak kusangka mereka malah menahanku, menyekapku di kamar pembantu. Aku kembali dipaksa untuk murtad dan akan dinikahkan dengan pria nonmuslim pilihan mereka…”

Sampai disini suara Putri tak terdengar lagi, isak tangisnya pecah. Segera Nurul merengkuh sahabatnya itu dalam pelukannya. Membiarkannya meluapkan emosinya.

       “Putri kau muslimah yang kuat, aku kagum padamu.” Ucap Nurul lirih, berusaha menenangkan sahabatnya.

Setelah mampu menguasai diri, Putri melanjutkan ceritanya,
           “Aku berhasil melarikan diri ketika prosesi pernikahan akan dilaksanakan. Aku mencari perlindungan hukum. Karena waktu itu usiaku sudah 23, secara hukum aku dianggap dewasa, bisa membuat keputusan untuk diri sendiri. Jadi orang tuaku tidak berhak memaksaku lagi."
Putri menghentikan ceritanya untuk meneguk es kelapa muda di depannya, dan melanjutkan ceritanya,

          "Tak lama kemudian ada seorang laki-laki sholih yang melamarku dan kemudian menikahiku. Aku juga mendapat pekerjaan yang layak di sebuah kantor. Alhamdulillaah kami sangat bahagia. Kami dikaruniai 2 orang anak laki-laki. Namun rupanya Allah masih ingin mengujiku lagi.  Anak pertamaku terlahir dengan bawaan autis yang cukup berat. Sementara anak keduaku terlahir dengan bawaan hiperaktif. Dua karakter yang sangat berlawanan. Si kakak memerlukan ekstra kesabaran dan ketelatenan untuk merangsang respon otak dan dan gerak tubuhnya. Sementara si adik membutuhkan pendampingan dan pengawasan yang ekstra ketat untuk mengendalikan aktivitasnya. Memastikan dia tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Aku dan suamiku tidak bisa meninggalkan mereka tanpa pengawasan kami, tidak ada baby sitter yang sanggup mengawasi mereka. Akhirnya aku harus mengambil keputusan besar untuk berhenti dari pekerjaanku, merawat sendiri anak-anakku, huk…huk…”

Kembali Putri tenggelam dalam isak tangisnya. Nurul memeluk erat sahabatnya itu, tanpa mampu berkata apa-apa lagi, tak mampu menahan haru.
           “Dan baru-baru ini Rul…huk…huk…huk… suamiku…suamiku…dipanggil Allah…huk…huk…huk”

Tangis Putri kembali pecah. Nurulpun tak kuasa lagi menahan airmatanya. Mereka berpelukan dalam tangis. Tak sadar banyak mata pengunjung kafe yang melirik mereka. Cukup lama Nurul baru bisa menguasai keharuannya,

          “Putri, sungguh aku sangat salut padamu. Perjuanganmu menemukan hidayah dinul Islam sangat kuat. Bertahun-tahun kau mencari kebenaran. Ketika kau bersyahadat, hapuslah segala dosa yang ada pada dirimu sebelumnya. Kau kembali suci bersih sebagaimana bayi yang baru lahir. Jika kemudian kau mendapatkan banyak cobaan, itu karena Allah ingin kau membuktikan syahadatmu. Apakah kau benar-benar ber-Islam dengan tulus tanpa maksud dan tujuan lain. Dan manakala kau mendapatkan banyak ujian, itu karena Allah sangat menyayangimu, Dia inginkan derajatmu di sisi-Nya naik dan naik lagi  menuju kedudukan yang lebih tinggi, ke tingkat iman dan taqwa yang lebih baik. Allah membukakan jalan agar kau mengejar ketertinggalanmu Put, 20 tahun kau dalam kegelapan, selama itu belum ada catatan amal ibadahmu. Sekarang terbuka jalan bagimu untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya."

Sambil memegang erat tangan Putri, Nurul melanjutkan,

          "Ayo sobat kau bisa lebih baik daripada orang yang sudah muslim dari lahir. Percayalah Put, Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Dari-Nya semua berasal dan hanya Dia yang mampu untuk mengeluarkanmu dari berbagai kesulitan. Tetaplah istiqomah sobat, aku yakin kau mampu, selama ini kau sudah menunjukkannya. Yakinlah bahwa pertolongan Allah sangat dekat, teruslah ikhtiar dan berdoa. Sabar dan tawakallah. Allah kuasa atas segalanya, Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya mengangkat tangan untuk berdoa, dan membiarkannya turun tanpa sia-sia tanpa dikabulkan.”

         “Putri, tahukah kau, aku merasa kalah jauh denganmu. Untuk menemukan Islam, perjuangan dan pengobananmu sangat besar. Tentunya itu bukan sesuatu yang tanpa nilai di hadapan Allah, itu pahala yang sangat besar. Sementara aku, aku tidak perlu berjuang untuk itu. Orangtuaku muslim, mereka telah menuntunku dalam Islam, jadi mereka yang berjuang, mereka yang mendapatkan pahalanya. Di satu sisi aku sangat bersyukur dengan keadaan itu, namun di sisi lain kadang membuatku kurang kuat berusaha. Segala nikmat dan kemudahan yang Allah berikan padaku kadang malah membuatku lalai, kurang bersyukur, kurang sabar, kurang beribadah dan kurang beramal. Astaghfirullaahal ‘adhiim. Aku malu padamu Putri, aku kalah denganmu, aku kagum padamu.”

          “Saat ini Allah menitipkan dua orang anak yatim kepadamu. Aku tahu itu tidak mudah, juga tidak ringan. Itu ladang amal bagimu. Kau tidak perlu mencari, Allah telah menghadiahkan ladang amal yang luas dan banyak. Tahukah kau Putri, Allah menjanjikan surganya untuk yang mengasuh anak yatim, memberikan keberkahan di rumah yang di dalamnya ada anak yatim, dan Rasulullah  SAW memastikan akan bersanding dengan orang yang mengasuh anak yatim. Kau tau kan dimana Rasulullah tinggal? pastilah di surga. Dan kau telah ditunggunya disana. Sobat, banyak modalmu untuk masuk surga, bersyukurlah.” Kata Nurul panjang lebar. Nurul merasa bukan sedang menasehati Putri tapi sedang mengingatkan dirinya sendiri, sedang mengukur kadar keimanannya sendiri.

Putri tersenyum tipis, matanya mulai berbinar. Wajah cantiknya kembali memancarkan harapan, pertanda semangat besar kembali muncul. Alhamdulillaah... Innallaaha ma’anaa (Sesungguhnya Allah selalu bersama kita). Innallaaha ma'ash-shoobiriin (Sesungguhmya Allah bersama orang yang sabar)

Allaahu ‘alam.


               






Tidak ada komentar:

Posting Komentar