Senin, 02 Januari 2017

MEMAHAMI MAKNA SURAT AL-KAAFIRUUN


قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ   (1)
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,

 لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ  (2)
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ  (3)
Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).

وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ  (4)
Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ  (5)
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ  (6)
Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku".

Surah Al-Kaafirun termasuk Surah Makiyyah (diturunkan di Mekkah).  Asbabun nuzul (sebab turunnya) surah ini adalah adanya pemuka-pemuka musyrikin Quraisy yang menemui Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina, ialah Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf, pemuka Quraisy itu mengusulkan “upaya damai” yaitu dengan mengatakan “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya.”  

Mereka mengajak Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk beribadah kepada berhala mereka selama satu tahun, lalu mereka akan bergantian beribadah kepada sesembahan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yakni Allah Ta’ala) selama setahun pula.

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat Al-Kaafirun untuk menjawab tantangan kaum musyrikin, yaitu dengan memerintahkan Rasul-Nya beserta kaum muslim untuk berlepas diri dari agama kaum kafir secara total.

1.  Katakanlah: Wahai orang-orang kafir.
Disini Allah Ta’ala menggunakan kalimah (kata) kaafiruun yang berarti orang-orang (jamak) yang mengingkari. Dalam Islam istilah itu ditujukan kepada siapa saja yang mengingkari Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Kata itu mempunyai makna yang berlaku umum untuk semua non muslim, baik yang atheis, animisme, dinamisme, musyrik (mengadakan sesembahan lain selain Allah Ta’ala), maupun yang memeluk agama/kepercayaan lain.

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Segala yang disembah oleh orang non muslim, maka tidak akan boleh kita sembah, kita taati dan agungkan, apapun bentuk dan namanya.

3. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).
Dan mereka, non muslim tidak perlu pula menyembah apa yang kita sembah. Tidak perlu pula kita meminta untuk melakukan itu, karena tidak ada manfaatnya samasekali bagi kita.

4. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).

5.  Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (Allah Ta’ala).
Ayat ke-empat dan ke-lima adalah pengulangan dari ayat ke-dua dan ke-tiga dengan bentuk jumlah (kalimat) yang sedikit berbeda.

Menurut pendapat Ibnu Jarir, dari sebagian pakar bahasa, ayat pengulangan tersebut dimaksudkan sebagai penguatan makna (ta’kid). Sebagaimana ayat dalam QS. Al-Insyirah ayat 5-6 dan QS. At-Takaatsur ayat 6-7.

Sementara menurut Imam Bukhari dan para pakar tafsir lainnya, bahwa yang dimaksud oleh ayat-2 dan ayat-3 adalah untuk masa yang dahulu, sedang makna ayat-4 dan ayat-5 adalah untuk masa sekarang dan waktu mendatang. Hal itu berarti bahwa kita tidak diperkenankan menyembah sesembahan orang kafir itu sepanjang masa dari dulu hingga akhir hayat. Demikian pula orang kafir tidak akan menyembah apa yang kita sembah selamanya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ke-2:   لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
Yang dinafikan (yang ditiadakan) adalah perbuatan (menyembah selain Allah) karena kalimat ini adalah jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali kata kerja).

Sedangkan ayat ke-4:   وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
Yang dinafikan (yang ditiadakan) adalah pengakuan adanya sesembahan selain Allah Ta’ala dan penerimaan adanya ajaran menyembah kepada selain Allah Ta’ala. Hal ini dikarenakan kalimat tersebut menggunakan jumlah ismiyah (kalimat yang diawali kata benda) dan ini untuk menunjukkan ta’kid (penguatan makna). Sehingga yang dinafikan dari ayat-2 dan ayat-4 adalah perbuatan (menyembah selain Allah) dan juga tidak menerima secara total, semua ajaran menyembah kepada selain Allah Ta’ala. Itu artinya kita wajib berlepas diri (baro’) dari sesembahan orang kafir secara lahir dan batin.

6. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.
Maksud ayat di atas sejalan ayat berikut:

وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)

فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ ۖ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ ۖ وَقُلْ آمَنتُ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِن كِتَابٍ ۖ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

"Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: 'Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita)". (QS. Asy-Syura: 15)

Ayat di atas mengandung makna bahwa untuk urusan agama (diin) dan ibadah tidak boleh dicampur adukkan. Untuk orang kafir, biarkan mereka menjalankan penyembahannya, kepada siapa mereka menghamba. Sedangkan untuk kaum muslim, maka kita punya aturan dan tatacara tersendiri dalam beribadah, yaitu sesuai dengan syariat Islam yang merupakan perintah Allah Ta'ala, dengan cara yang diridhoi oleh-Nya serta yang dituntunkan oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Ini sebuah ‘toleransi’ yang fundamental. Membiarkan setiap pemeluk agama/kepercayaan untuk menjalankan sendiri-sendiri urusan peribadatannya. Tidak ada pemaksaan, tidak perlu saling intervensi, tidak usah usil mengomentari kitab suci agama lain, apalagi tanpa pengetahuan dan keimanan. Sementara untuk urusan mu’amalah, perihal kemanusiaan, maka tidak ada larangan untuk berinteraksi dengan non muslim selama bisa saling menghargai keyakinan masing-masing.


Allaahu A’lam

Dari berbagai sumber dan kajian para ustadz.

Note:
* kalimah (Bahasa Arab) = kata (Bahasa Indonesia)
* jumlah (Bahasa Arab)  = kalimat (Bahasa Indonesia)

* gambar kaligrafi mengambil dari internet.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar