Selasa, 01 Juli 2014

MATA RANTAI YANG TAK PUTUS

Allaahu Akbar...Allaahu Akbar...Laa ilaaha illallaah..........
Gema adzan subuh sudah selesai, Bu Fatimah bangkit dari mushola rumahnya. Hanifah anak gadisnya belum kelihatan keluar dari kamarnya. Baru kemarin anaknya itu pulang ke rumah. Saat ini dia sedang menempuh pendidikannya di kota lain. Hanya waktu libur panjang saja dia pulang. Bu Fatimah segera beranjak menuju kamar tidur Hanifah. Di bukanya pintu kamar yang tidak terkunci. Hanifah masih tiduran di kamarnya. Perlahan disingkapkannya selimut yang menutupi tubuh anaknya sambil berkata.
          "Hanifah, bangun nak sudah subuh!"

Tanpa bergerak dan tanpa membuka matanya Hanifah menjawab,
          "Iya Bu, sudah tau."
          "Lho, kalau sudah tahu kenapa nggak cepet bangun?" sahut Bu Fatimah sambil mengusap-usap rambut anak gadisnya itu. Hanifah membuka mata sambil tersenyum,
          "Sengaja Bu, nunggu dibangunin sama Ibu."

Dengan sedikit heran Bu Fatimah bertanya pada anaknya,
          "Lho, kok nunggu dibangunin? Terus kalau di kos gimana? Kan nggak ada Ibu disana?"

Hanifah bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang, di sisi ibunya, sambil berkata,
          "Ya lain to Bu, kalau di kos itu Hanifah ngurus diri sendiri. Biar nggak telat bangun ya nyalain alarm, biar gak kelaparan ya masak, gitu. Apa-apa ya dipikir sendiri, diurus sendiri, kayak orang dewasa gitu Bu. Tapi kalau di rumah kan Hanifah anak Ibu, Ibu yang urusin Hanifah. Pengen sih tetep dibangunin pagi-pagi, atau kadang-kadang sedikit diomelin, gitu...lain lho rasanya dibangunin sama bangun sendiri itu Bu."

Bu Fatimah hanya tersenyum dan berkata,
          "Ya sudah, sana cepet ke kamar mandi, terus sholat subuh, Ibu tunggu ya!"

Hanifahpun segera pergi ke kamar mandi, mengambil air wudlu kemudian sholat subuh berjama'ah. Selesai sholat dia melanjutkan ucapannya.
          "Bu, kenapa ya, kalo di rumah itu rasanya bedaaa banget sama di kos"
          "Ya jelas beda, wong tempatnya gak sama, situasinya juga beda." sahut ibunya.
          "Bukan itu maksud Hanifah Bu, tapi perasannnya Hanifah itu lo yang beda. Kalo di rumah itu rasanya nggak ada beban, ringan, nyaman, tenang. Kenapa ya? Apa mungkin karena kalo di rumah itu merasa jadi anak ya? yang nggak ngemban tanggungjawab?"

Bu Fatimah terdiam sejenak sebelum menjawab,
          "Ya....mungkin begitu."

Keesokan harinya Hanif, kakaknya Hanifah yang sudah menikah dan tinggal di kota lain, juga datang. Kebetulan dia ada tugas di kota dekat ibunya tinggal, sekalian mampir untuk menjenguk ibunya. Kebetulan sekali, anak-anaknya Bu Fatimah bisa kumpul semua di rumah.

Malam itu selesai sholat isya' Bu Fatimah sudah tiduran di kamarnya. Hanifah menghampirinya sambil membawa bantal dan guling,
          "Bu boleh Hanifah tidur disini? Di kamar sana itu nggak enak, panas, banyak nyamuk." katanya.
          "Bukankah sudah biasa tidur disana?" tanya ibunya.
          "Iya... tapi pengen tidur sama Ibu sih sebenarnya..."

Bu Fatimah hanya tersenyum melihat mimik anaknya yang merajuk, lucu.
          "Iya, boleh." jawabnya
          "Yeee......." teriak Hanifah sambil meloncat ke kasur. Wajahnyapun berubah ceria.
          "Sudah mahasiswa kok masih seperti anak kecil." batin ibunya.
         
Tak lama kemudian Hanif datang juga ke kamar ibunya.
          "Lho, Dik Hanifah kenapa tidur disini?" tanyanya. Tanpa menunggu jawaban adiknya dia sudah melanjutkan perkataannya,
          "Kalo gitu Hanif boleh juga dong tidur disini, kan kasurnya besar, cukup untuk kita semua."
Sambil noleh ke ibunya Hanif berkata,
          "Ibu capekkan? Hanif pijitin ya kakinya?"


Bu Fatimah hanya senyum-senyum saja melihat tingkah anak-anaknya.Jadilah malam itu mereka bercerita panjang lebar tentang banyak hal di kamar Bu Fatimah. Sekeluarga tidur satu kamar.
Orangtua dan anak seperti mata rantai yang terus terkait, tidak putus-putus. Di satu saat kita hanya menjadi anak, tapi di saat yang lain kita bisa menjadi anak sekaligus menjadi orangtua. Ketika hanya menjadi anak saja, kita sepertinya tidak mengemban tanggung jawab, karena orangtualah yang mengemban tanggungjawab. Kita hanya menjalankan tugas dari mereka, menunaikan kewajiban sebagai anak. Seperti membantu pekerjaan ibu atau bapak, belajar, sekolah dsb. Gampang, enteng. Tidak banyak yang kita pikirkan, lebih banyak main-mainnya.

Saat berumahtangga, dan kemudian menjadi orangtua, maka keadaan menjadi berubah. Yang sebelumnya hanya menjalankan tugas dari orangtua, sekarang beralih sebagai pengemban tanggung jawab. Kita baru bener-bener merasakan, seperti itu rasanya menjadi orangtua. Yang dulunya hanya sebagai penumpang sekarang menjadi pengemudi.

Maka pada saat-saat tertentu kita akan sangat merindukan masa-masa 'menjadi anak'. Merasakan nyamannya dalam naungan orangtua, bermanja-manja, bercanda bersama orangtua dan saudara-saudara. Mengingat-ingat masa itu menjadi sangat menyenangkan, membahagiakan, membangkitkan kerinduan yang dalam, tak jarang membuat kita tersenyum sendiri.

Ingatan kita akan melayang ke masa kecil. Tentang apa saja yang pernah kita jalani, tentang panggilan khusus atau panggilan kesayangan untuk kita. Tentang betapa senangnya kita mengambil makanan dari piringnya ibu, walaupun di meja makan masih banyak yang seperti itu. Atau tentang enaknya tidur siang dikeloni bapak. Apalagi seneng dan hebohnya saat rebutan oleh-oleh kenduri, hingga berebut kamar mandi dengan saudara-saudara. Belum lagi kejadian-kejadian lucu saat bulan puasa, berendam di sungai atau di kamar mandi, wudlu sekalian nyeruput sedikit air, dan tiduran (karena nggak bisa tidur) sambil ngeloni jam beker nunggu adzan maghrib. Heem...
Begitu pula tentang segala macam peraturan dan nasehat atau wejangan dari bapak dan ibu. Atau bahkan kejengkelan atau kemarahan mereka. Semuanya adalah kenangan manis tak terlupakan. 

Ini bukan berarti kita merasa tidak nyaman dengan posisi kita saat ini, tapi melepas sejenak rutinitas sebagai pengemban tanggungjawab, ibarat mencharge baterai. Ini akan membuat kita semakin bersemangat. Bersemangat untuk menciptakan kenangan-kenangan indah bagi anak-anak kita. Sehingga nantinya setelah mereka menjadi orangtua, mereka akan mengenang kita dengan peristiwa-peristiwa indah yang akan selalu mereka rindukan. Kita pilah dan pilih apa-apa yang pernah terjadi. Yang baik kita wariskan pada anak-anak kita dan yang kurang tepat kita ubah menjadi tepat untuk masa sekarang. Mampukah kita mendidik mereka lebih baik daripada orangtua kita mendidik kita? Kita usahakan, kita doakan, semoga Allah SWT memberikan pertolongan.

So....bagi yang orangtuanya ada di dekatnya, mari bersegera untuk menghampiri mereka, untuk merasakan nyamannya bersama mereka, bermanja dan bercanda.

Bagi yang orangtuanya berada jauh di tempat lain, mari bersegera untuk merencanakan kunjungan kepada mereka, jika belum memungkinkan, mari bersegera untuk mengangkat telepon menghubungi mereka. Untuk merasakan tenangnya mendengar ucapan mereka, atau bahkan cerewetnya mereka yang justru membuat kita kangen, dan merasakan bahagianya sebagai anak. Sambil tidak lupa berdoa,
                                 





Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, "Yaa Robb-ku sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka mereka menyanyangiku di waktu kecil." (QS. Al-Isro' : 24)

Di waktu kecil....kenapa di waktu kecil? Ya....karena di waktu kecil itulah anak masih sangat tergantung kepada orangtua, susah payah mereka merawat dan mendidik dari nol. Perhatian dan kasih sayang mereka begitu besar, utuh, terpapar sepanjang waktu. Sedangkan ketika mulai beranjak dewasa, maka mulai berkuranglah. Bukan kasih sayangnya yang berkurang, tapi ketergantungan dan waktu kebersamaannnya yang berkurang. Anak-anak sudah mulai 'punya dunia sendiri'.

Dan bagi yang orangtuanya telah berpulang ke Rahmatullah, mari bersegera untuk mengangkat tangan mendoakan mereka, menjalin silaturrahmi dengan saudara atau kenalan meraka, bersedekah atau amalan lain untuk mereka.
                                     
Yaa Robb-ku ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang yang beriman pada hari terjadinya penghisapan (perhitungan). (QS. Ibrahim : 41) 
                     
Yaa Robb-ku ampunilah aku dan kedua orangtuaku dan orang-orang yang masuk ke rumahku dalam keadan beriman baik laki-laki maupun perempuan dan janganlah Kau tambah bagi orang-orang yang dholim kecuali kebinasaan. (QS. Nuh : 28) 

Dimanapun sekarang orangtua berada tentu mereka juga sangat mengharapkan kita. Untuk tetap merasakan menjadi orangtua, untuk tetap merasakan mempunyai anak.





Semoga kita bisa menjadi anak sholih, dan mempunyai anak-anak yang sholih, Amin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar