Senin, 24 April 2017

SIKAP PARA IMAM TERHADAP PERBEDAAN MADZAB

Tulisan Ustadz Ahmad Zarkasih yang sangat mencerahkan.

Sejak dulu sudah ada yang namanya pengkotak-kotakan kelompok Islam, kalau di Iraq ada Fiqih Al-Ra’yu (Hanafi) dan di Hijaz ada Fiqih Al-Sunnah (Maliki). Bukan hanya itu, di waktu yang sama ada kelompok lain yaitu Fiqh Al-Laits bin Said (pengikut Imam Laits bin sa’d) di Mesir dan masih tersisa di Syam para pembela madzhab Imam Al-Auza’i.

Dan mereka semua berjalan beriringan tanpa ada satupun kelompok yang saling mencaci atau menganggap mereka paling benar dan paling dekat dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Semua baik-baik saja, paham dan mengerti posisi masing-masing.

Murid Imam Abu Hanifah duduk di Majlis Imam Malik.

Yang menarik adalah perbedaan pendapat diantara mereka justru malah membuat mereka saling menghargai dan tidak saling bertengkar. Mereka paham bahwa perbedaan yang muncul ketika itu, menjadi sebuah rahmat bagi umat. Mereka bisa saling jaga diri dan sikap untuk saling berlapang dada dalam setiap perbedaan. Dan tidak pernah mencari-cari siapa yang benar!

Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyah, sempat menawarkan Imam Malik untuk menjadikan kitabnya, Al-Muwatho’, sebagai qanun (undang-undang) negara ketika itu, namun Imam Malik menolak. Beliau tidak ingin memberatkan umat hanya dengan satu madzhab saja.

Murid-muridnya Imam Abu Hanifah dari Iraq, ketika mereka berhaji atau umrah, pasti menyempatkan diri untuk duduk di Masjid Nabawi mendengarkan pelajaran fiqih dari Imam Malik. Dan mendiskusikan apa yang mereka bawa dari fiqih Iraq kepada beliau (Imam Malik), dan semua menerima.

Imam Malik dan Imam Al-Laits.

Pernah dalam suatu ketika, Imam Laits mengutus salah satu muridnya ke Hijaz untuk mengantarkan surat kepada Imam Malik yang isinya bantahan Imam Laits terhadap “Amal Ahli Madinah” yang dijadikan dalil oleh Imam Malik di Hijaz. Tapi, di awal dan di akhir surat yang panjang itu, Imam Laits menyertakan doa untuk Imam Malik.

Sementara Imam Malik kalau mendapati di majlisnya ada salah seorang musafir dari Mesir, pasti sang Imam menitipkan salam untuk Imam Al-Laits bin Sa’d, dan tidak jarang juga memberikan hadiah walaupun hanya dengan sekantung kurma. Mereka saling mendoakan padahal Imam Al-Laits salah satu Imam yang paling santer menyelisih pendapat-pendapat Imam Malik.

Sebaliknya pun demikian, Imam Laits bin Sa’ad, kalau berangkat haji atau umrah, pasti beliau menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Imam Malik dengan membawa buah tangan beserta segudang doa untuk kebaikan Imam Malik.

Bukan hanya itu, beliau juga yang menampung Imam Syafi’i di rumahnya. Seluruh kebutuhan Imam Syafi’i yang ingin menuntut ilmu fiqih Al-Ra’yu difasilitasi oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat tidur, makan dan juga kitab. Padahal mereka sering berselisih paham ketika berdiskusi, tapi masih bisa saling berbagi.

Menariknya lagi, di samping surat bantahan itu Imam Laits menyertakan satu kantong berisikan uang ribuan dinar untuk Imam Malik. Hebat bukan... berselisih tapi saling memberi hadiah. Yang akhirnya uang itu diberikan kepada Imam Al-Syafi’i (murid Imam Malik) sebagai mahar pernikahannya dan bekal beliau (Imam Syafi’i) berangkat ke Iraq.

Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Al-Syafi'i.

Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid dan pembela madzhab Hanafi, tahu dan paham bahwa Imam Al-Syafi’i banyak menyelisihi madzhabnya. Akan tetapi sesampainya Imam Syafi’i di Baghdad, beliaulah orang yang dengan tangan terbuka menyambut kedatangan Imam Syafi’i.

Dan kepergiannya ke Mesir untuk menuntut ilmu fiqih Al-Laitsi juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, kendaraan serta bekal perjalanan. Karena itu banyak ulama yang menyebut Imam Muhammad bin Hasan itu sebagai “bapak”-nya Imam Syafi’i di Baghdad.

Imam Syafi'i dan Imam Malik.

Yang dilakukan Imam Syafi’i ketika di Hijaz pun tidak berbeda. Beliau duduk di Masjid Nabawi mendengarkan Imam Malik, tapi beliau juga menyanggah dan menyelisih Imam Malik dalam beberapa masalah fiqih. Dan tidak ada kemarahan dari Imam Malik sedikitpun. Bahkan beliau mendoakannya agar menjadi ulama besar yang menerangi umat. Bahkan sampai jadi murid kesayangan Imam Malik.

Begitulah ulama mengajarkan kita bagaimana caranya bersikap. Walaupun saling berbeda, tidak ada dalam diri mereka keinginan untuk mengaku paling benar sendiri dan menyalahkan yang lain. Semua baik-baik saja, sebaik ilmu yang mereka miliki.

Bagaimana dinegeri kita sekarang?

-wallahu a'lam-





Tidak ada komentar:

Posting Komentar