Adzan isya’ belum lama berkumandang. Maryam bersegera
mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat. Dua orang anak balitanya diajak
pula. Walaupun belum sempurna cara mereka sholat, Maryam tak mempermasalahkannya.
Hitung-hitung mereka masih belajar. Si bungsu yang baru berusia 5 bulan
dibaringkan di ranjang bayi.
Usai sholat Maryam meminta anak-anaknya pergi tidur.
Sambil duduk di pinggir tempat tidur, Maryam mulai membacakan cerita pengantar
tidur. Anak-anak sangat menyukai kegiatan itu. Sepertinya si kecil juga ikut
mendengarkan walaupun mungkin belum paham. Terlihat dari reaksi mimiknya yang
serius. Belum tamat satu judul, mereka semua sudah terlelap.
“Alhamdulillaah…” gumam Maryam sembari bernafas lega.
Satu tugas harian, untuk sementara, sudah terselesaikan. Iapun beranjak dari
sisi tempat tidur.
Namun bukan berarti Maryam bisa beristirahat. Ia harus
segera pergi ke dapur. Menyiapkan makan malam untuk suaminya yang akan pulang
sebentar lagi. Sebenarnya hari ini tepat 5 tahun usia pernikahan mereka.
Mulanya Maryam bermaksud memasak spesial untuk suaminya. Tapi apadaya seharian ini
ketiga buah hatinya menyibukkannya. Sekarang tak cukup waktu lagi baginya untuk
memasak spesial. Tak mengapalah, toh itu bukan peringatan yang harus dirayakan.
Kalau sudah kepepet begini, Maryam mengeluarkan jurus masak cepat. Telur goreng
dan tumis sayur. Tak sampai setengah jam hidangan telah siap termasuk teh
panasnya. Tepat ketika bel rumah berbunyi, tanda suaminya datang.
“Assalaamu’alaikum…”
ucap Ridwan, suami Maryam, begitu pintu rumah dibuka.
“Wa’alaikumussalam…”
awab Maryam sambil mencium tangan Ridwan.
“Sudah
sepi, anak-anak mana?” Tanya Ridwan
“Sudah
tidur Mas. Seharian tadi mereka kebanyakan main.”
Ridwan segera pergi mandi dan sholat sebelum menyantap
makan malam diiringi obrolan ringan diantara mereka berdua.
Usai makan Ridwan pamit mau tidur karena sangat lelah.
Maryam mengiyakan dengan senyum lembutnya. Sebenarnya ia juga ingin istirahat,
tapi dilihatnya dapur masih penuh dengan piring dan panci kotor, lantai masih
berhias dengan bercak makanan anak-anak yang tumpah, belum lagi baju-baju kotor
menggunung di mesin cuci. “Ini harus dituntaskan agar besok pagi ketika semua
bangun rumah tampak rapi”.pikir Maryam.
Jam telah berlalu dari angka 11 tatkala Maryam
menyelesaikan pekerjaannya. Lelah, penat dan pegal sekujur tubuhnya. Maryam
terduduk di kursi panjang menikmati kelelahannya. Mengambil nafas panjang untuk
mengurai kepenatannya. Pikirannyapun melayang, andai dalam keadaan seperti ini
suaminya menghampirinya, agar bisa berbagi rasa letih dengan sekedar ucapan
terimakasih, agar bisa terhalau rasa jenuh dengan ungkapan cinta.
Heem… Maryam tersenyum kecut. “Kenapa aku jadi melo
ya? Bukankah Ridwan suami yang baik? Laki-laki shalih yang bertanggungjawab,
rajin ibadah, giat bekerja dan aktif berdakwah? Lalu apa lagi yang aku tuntut
darinya?”
Pikiran lainnya berkata,
” Tapi kenapa ia tak pernah mengungkapkan
cintanya padaku? Tak pernah memujiku walau hanya untuk menyenangkanku? Tak juga
ada ucapan terimakasih untuk semua yang telah aku lakukan? Capek deh…” Maryam
mendesah perlahan.
“Bukankah ia tidak pernah menyakitimu? Baik
dengan ucapan atau dengan perbuatan? Bukankah ia telah berusaha keras untuk
memenuhi semua kebutuhanmu dan anak-anakmu?” Kata hatinya lagi.
“Iya benar, tapi aku ini tetaplah seorang
wanita yang ingin dimanja, bukan hanya dengan limpahan harta tapi dengan
perhatian agar aku tahu bahwa diriku berharga. Aku senang dirayu dan dipuji
agar aku sadar bahwa aku dicintai. Aku perlu ucapan terimakasih agar aku tahu
bahwa kehadiranku dibutuhkan. Aku membutuhkan semua itu agar aku kuat dan
bersemangat menjalani hari-hariku”.
“Kalau begitu coba kau tanyakan pada
suamimu tentang kegalauan hatimu itu!”
“Iya baiklah.”
Segera Maryam menghadap suaminya dan bertanya dengan
suara yang tegas, tumben ia berlaku begitu, biasanya ia selalu lembut kala
berbicara dengan suaminya.
“Mas,
apakah kau mencintaiku?”
Suaminya bengong dan terheran-heran dengan tingkah
Maryam yang tak biasanya. Tak segera dijawab Maryam mengulangi lagi
pertanyaannya,
“Mas,
apakah kau mencintaiku?”
Walau masih agak bingung suaminya menjawab,
“Tentu
saja, saya sangat mencintaimu…”
“Apa
buktinya?” sergah Maryam lagi. Suaminya tambah heran, hari ini Maryam tampak aneh.
Namun dengan ketenangannya sang suami menjawab,
“Dinda,
cinta itu perbuatan hati. Seperti apa cinta itu yang paling tahu adalah diri
sendiri. Aku tak bisa menggambarkan betapa besarnya sayangku padamu, aku tak
bisa melukiskan betapa dalamnya cintaku padamu. Aku tak punya kata-kata indah
untuk mengungkapkannya. Tapi aku wujudkan dengan tanggungjawabku untuk
membimbing dan mengarahkanmu menjadi hamba Allah yang shalih. Aku tunjukkan
dengan ajakan dan bahkan perintah agar kau ta’at pada Sang Khaliq, Aku perlihatkan
dengan usahaku untuk memenuhi kebutuhanmu agar kau bahagia. Dan aku tekadkan
agar aku, kau dan anak keturunan kita selamat tidak hanya di dunia ini tapi
juga di akhirat kelak. Aku berusaha sekuat tenaga agar kita nanti dikumpulkan
di jannah. Konsekuensi cinta tidaklah ringan, tapi aku akan terus berusaha
untuk semua hal itu, karena aku mencintaimu.”
Maryam terharu mendengar uraian suaminya. Namun ia
belum puas. Kali ini dengan suara pelan dan kepala tertunduk ia melanjutkan
pertanyaannya,
”Lalu
apakah aku ini berarti bagimu? Karena tak pernah kudengar kau memujiku, tak
pernah pula ada ucapan terimakasih untukku…”
Suaminya tersenyum mulai mengerti gejolak hati
istrinya.
“Sebenarnya
aku hanya ingin menanamkan keikhlasan dalam dirimu. Aku berharap bahwa dengan atau
tanpa pujian kau tetap bersemangat untuk beramal shalih, dengan atau tanpa
ucapan terimakasih kau tetap istiqomah dalam kebaikan. Maafkan aku Dinda, ada
satu hal yang mungkin terlupakan olehku bahwa kau wanita yang lembut hati dan
suka dimanja. Aku berjanji akan memperbaiki sikapku. Namun yang pasti bahwa kau
adalah harta terindah yang kupunya, kau adalah istri dan ibu yang hebat, dan aku
sangat mencintaimu, terimakasih telah mendampingiku selama ini…”
Maryam tak dapat menahan rasa harunya, matanya kabur
terhalang airmata, tubuhnya tergoncang menahan tangisnya. Tatkala ia usap matanya
barulah ia sadar ternyata dirinya ada dalam gendongan Ridwan, suaminya. Sedikit
bingung, ia bertanya-tanya dalam hati, apakah dialog dengan suaminya tadi nyata
atau mimpi. Entahlah itu tak penting lagi baginya. Suaminya menggendongnya
menuju ruang tengah. Di atas meja ada bungkusan kado yang besar.
“Itu
hadiah untukmu, sayang…” kata suaminya lembut.
‘Iya
terimakasih…” jawab Maryam ceria, tanpa ingin bersegera untuk membukanya. Baginya
dalam dekapan dan gendongan suaminya jauh lebih membahagiakannya daripada
bungkusan kado itu, karena kini ia yakin bahwa suaminya sangat mencintainya.
Naskah sudah pernah saya kirimkan ke situs Dakwatuna dan telah dimuat pada tanggal 9 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar