Perjalanan panjang nan berliku kembali harus aku lalui. Bermula dari
rasa sakit yang tiba-tiba muncul di tulang panggul. Hilang di satu bagian,
muncul lagi di bagian lain. Sebelumnya rasa itu sudah sirna sekitar satu
setengah tahun sebelumnya. Kontrol ke dokter dengan pemeriksaan rutin tak
pernah terlewatkan. Sejauh itu parameter medis tak menunjukkan adanya masalah
yang perlu diwaspadai. Akhirnya dokter memintaku melakukan pemeriksaan lebih
detail.
Perjalanan dimulai dengan menuju ibukota. Resiko tinggal di daerah ya
memang seperti ini. Tatkala memerlukan fasilitas medis yang modern maka harus
bersedia pergi ke luar pulau. PET CT SCAN (Positron Emission Tomography
Computerized Scan) adalah benda langka yang hanya ada disana. Layanan alat
canggih ini yang harus kucari.
Alhamdulillah ada seorang adik yang tinggal di ibukota, yang tentunya sangat
membantu urusanku disana. Tiga hari bolak-balik nge-Mall ke MRCCC Siloam
Semanggi untuk mendapatkan beberapa lembar kertas dan negative film.
Apa yang tertera di kertas dan negative film itu seperti tak bermakna saat
aku yang membaca dan melihatnya. Namun ternyata... tatkala ahlinya yang
menganalisa, Masya’aAllah... sungguh mencengangkan. Belasan noktah di tulang
tertangkap kontras radioaktif FDG (Fluor-18 Fluorodeoxyglucose).
Astaghfirullaah... darimana saja mereka datang? Entahlah...
Syukur Alhamdulillaah... Allah Ta’ala masih menyelipkan daya di jiwaku hingga
tak ada sebulirpun airmata jatuh dari pelupuk mata dan Dia tetap menyematkan
kekuatan di ragaku hingga tak goyah kakiku menapak bumi.
Kondisi cukup berat membuatku harus menjalani 3 terapi
sekaligus. Kemo oral, kemo tulang dan radiasi. Semua pengobatan kujalani di
Surabaya, sebab semua riwayat kesehatan terdahulu ada di sana.
Syukur Alhamdulillah seorang kakak tinggal disana. Beliau beserta suaminya
sejak awal aku sakit di tahun 2011 selalu membuka tangan lebar-lebar untuk ‘takrusuhi’
(direpoti).
Dengan penuh harap akan keadaan yang lebih baik, dengan bertawakkal hanya
pada Allah Ta’ala, Bismillaah... aku mulai lagi berjibaku dengan serangkaian
terapi yang tentunya akan banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran.
Saat pengobatan sebelumnya aku selalu memakai fasilitas umum. Kali ini
dengan berbekal surat rujukan dari RS Propinsi NTB mencoba untuk ber-BPJS-ria.
Ini pengalaman pertama berobat memakai asuransi. Seperti apa prosedurnya,
samasekali belum ngeh. Namun suami sudah berpesan, jika terlalu berbelit
administrasinya hingga merepotkan, maka tidak usah dipakai BPJS-nya, pakai umum
saja. Sebuah perhatian istimewa darinya karena tidak ingin aku kerepotan atau
kelelahan, Alhamdulillaah...
Hari pertama ke RS rujukan untuk Indonesia Timur ini, aku sempat terpana.
Lha antrian kok sampai ribuan... terus mereka mulai antri dari jam berapa ya...
padahal hari masih pagi, baru jam tujuh... Latihan sabar mengantri dimulai dari
sini, heem...
Tak sepenuhnya salah jika diberitakan administrasi BPJS sedikit ribet.
Tapi bisa jadi karena akunya yang belum terbiasa, ditambah lagi ada
ketidaksinkronan antara rujukan daerah dengan penerimaan disini. Jadilah aku bak
bola ping pong. Allaahu Akbar... sudah menahan sakit, lelah, bingung, kesel...
membuatku hampir menyerah. Mau ngikuti saran suami saja... pakai umum. Namun
tatkala berkelebat di depan mataku seorang kakek renta yang berjalan
tertatih-tatih, tanpa ada yang mendampingi, kesana-kemari mengurus
pengobatannya sendirian. Wow... aku
tersentil. Masak aku lebih muda kok cepat sekali menyerah? Malu ah... Seketika
aku bangkit lagi, menahan sakitnya tubuh, menyusuri meja demi meja, lorong demi
lorong dengan segumpal doa di hati Robbisyrohlii shodrii wa yassirliiamrii...
Alhamdulillaah... setelah melalui beberapa kendala, akhirnya urusan di loket JKN kelar juga. Bergeser ke antrian
di poli. Di sinipun antrian sampai ratusan. Entah sampai kapan akan dipanggil
untuk diperiksa dokter. Ini sabar tahap selanjutnya...
Duduk bersama dengan ratusan penderita kanker dari berbagai kota di
Indonesia Timur menorehkan catatan penting di jiwaku. Bermacam kondisi dan beragam
keadaan menebar hikmah. Sewaktu berobat yang terdahulu, dengan jalur umum, bak
berkendaraan lewat bypass. Tanpa antrian panjang, tanpa hambatan. Sekarang, di
tempat ini, aku bisa merasakan mereka yang sakit dan hanya mampu mengandalkan
bantuan asuransi pemerintah dengan segala keribetannya. Namun hebatnya, harapan
besar dan semangat tinggi untuk sembuh terpancar kuat dari raut wajah mereka.
Pelajaran pertamaku.
Alhamdulillaah selama ini Allah memberikan rejeki yang cukup sehingga
bisa berobat dengan mudah dan cepat. Allah begitu sayang padaku. Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? (tidak boleh ada)
Di sudut lain, ada beberapa pasang suami istri renta, atau seorang kakek,
atau seorang nenek yang tertatih-tatih mengejar kesembuhan tanpa didampingi
anak atau anggota keluarganya. Padahal banyak diantara mereka yang datang dari
luar kota, dengan membawa sekarung bekal, entah apa isinya. Mungkin bahan makanan untuk persediaan
selama berobat di sini. Kutahan airmata di pelupuk, haru yang menjerat.
Kutengok diriku, yang diberi keringanan, diberi anugerah bisa membawa bekal hanya berupa sebuah kartu. Dan Subhanallaah
walhamdulillaah selalu ada suami, anak atau saudara yang tidak
pernah membiarkanku sendirian, yang selalu setia mendampingi dan merawatku.
Pelajaran keduaku.
Alhamdulillaah Allah telah karuniakan keluarga yang sangat istimewa, yang
mengasihiku sepenuh hati, yang membantuku tanpa henti, sehingga aku tidak
pernah merasa sendirian menghadapi ujian ini. Orangtua, saudara dan keluarga adalah
anugerah hebatku. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? (jangan pernah ada)
DARI SINI DARI TEMPAT PARA INSAN MENGUKIR ASA, RASA SYUKURKU
MELEBIHI RASA SAKITKU, SUBHANALLAAH WALHAMDULILLAAH WALLAAHU AKBAR
ASTAGHFIRULLAAHA WA ATUUBU ILAIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar