Matahari
pagi baru menyembul dari balik awan. Rintik hujan belum usai menebar rahmat di
muka bumi. Musim kemarau sudah beranjak pergi digantikan dengan rekannya yang
telah menunggu selama enam bulan yakni si musim penghujan. Subhanallaah, pagi itu
begitu sejuk. Panorama alam nan elok terpampang di depan mata. Hanna tengah
bersiap menuju tempat kerjanya. Suasana pagi yang indah membuatnya sangat
bersemangat mengawali hari itu. Bergegas ia melaju menuju kantornya.
Sampai
di kantor sudah banyak rekan kerjanya yang datang. Sama seperti dirinya, mereka
nampak sangat bersemangat pagi itu. Alam memberi injeksi spirit yang luar
biasa. Karena jam kerja baru akan dimulai setengah jam mendatang, Hanna ikutan
nimbrung ngobrol dengan rekan-rekannya. Para wanita kalau bertemu sesamanya tak
pernah kekurangan bahan pembicaraan. Mulai dari mode, perawatan kecantikan, resep
masakan, hobby, bahkan sampai masalah politikpun tak terlewatkan. Hem…
ghibahkah itu? Entahlah, kadang tabirnya terlalu tipis antara memperluas
wawasan, mengambil hikmah atau ghibah.
Setelah
ngobrol kesana-kemari, seorang teman Hanna, Dewi namanya, menyela obrolan
dengan mimik serius,
“Apakah kalian sudah tahu tentang
Fatmi?”
“Tentang apanya Dew?” beberapa teman
balik bertanya.
“Kasihan dia…”
“Lho, ada apa dengannya? Beberapa hari yang lalu saya lihat dia baik-baik saja kok.” Sahut Hanna.
“Itulah Fatmi, dia selalu berusaha
untuk tegar dan tabah, tak pernah memperlihatkan kegundahannya. Saya salut sama
dia. Sudah dua tahunan ini suaminya sakit, kalau tidak salah gagal ginjal penyakitnya.
Karena tak lagi bisa bekerja sesuai target, perusahaan merumahkan suami Fatmi
lebih setahun yang lalu. Dengan berbekal uang pesangon, suaminya joint patner
buka usaha dengan temannya. Tapi sayang, ternyata temannya itu tidak
bertanggungjawab. Usahanya tidak jelas kabarnya, modalpun amblas, dan temannya
menghilang entah kemana. Setelah itu praktis Fatmi yang menjadi tulang punggung
rumahtangganya. Mungkin karena kecapaian atau apa dua kali dia keguguran, padahal
mereka sangat mengharapkan dikaruniai momongan. Tak dinyana seminggu yang lalu
dokter menvonis ada tumor di indung telurnya... dan… harus dioperasi…”
Dewi
terdiam sejenak, terbawa perasaan, airmata telah mengambang di pelupuk matanya.
Maklum Dewi teman yang paling dekat dengan Fatmi. Selain karena rumahnya tak
jauh, mereka telah berteman sejak kecil, sekolah sampai kuliah mereka selalu
satu tempat.
“Saya prihatin banget dengan
keadaannya. Padahal dia anak yang baik, teman yang menyenangkan, taat sama
orangtuanya, dan rajin ibadahnya. Jujur saja saya kalah jauh darinya. Tapi entah
kenapa ujian hidupnya begitu berat. Di saat dia butuh dukungan moril seperti
itu, ibunya tempat ia bersandar dipanggil Allah beberapa hari yang lalu…” Kali
ini Dewi tak mampu lagi menahan buliran airmata yang membanjiri pipinya. Suaranya
tercekat. Teman-teman yang lain ikut trenyuh pula. Namun tiba-tiba Tiara
nyeletuk,
“Makanya jadi orang itu biasa-biasa
saja, jangan terlalu baik, jangan terlalu ‘alim. Semakin tekun jadi orang baik
semakin banyak ujiannya, semakin besar cobaannya iya kan? Contohnya ya Fatmi itu,
banyak juga sih yang lainnya. Tapi coba lihat orang yang biasa-biasa saja,
ibadah ya sebisanya saja, baik sama orang ya sekedarnya saja sebab kalau
terlalu baik malah ditipu atau diperalat. Orang yang begini ini hidupnya enak, tenaaang,
lempeeeng aja…”
Belum
sempat ada yang menimpali ocehan Tiara, lonceng telah berdentang delapan kali,
tanda harus mulai kerja. Merekapun bubar tanpa dikomando. Sebelum beranjak dari
tempat duduknya Hanna masih sempat berkata,
“Teman-teman, pulang kantor nanti
kita ke rumah Fatmi ya?”
“Oke…” jawab beberapa temannya
sambil mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Sampai
di meja kerjanya Hanna masih belum bisa melupakan perbincangan bersama
teman-temannya tadi. Terutama dengan perkataan Tiara. Benarkah semakin baik
orang semakin banyak ujiannya, yang biasa-biasa saja lebih enak, terus
bagaimana dengan orang yang tidak baik? Apakah semakin enak? Lalu bagaimana
pula dengan orang yang kafir atau musyrik? Untuk melawan rasa penasarannya
Hanna segera menyalakan gadgetnya, menulis email kepada kakak laki-lakinya yang
tengah menuntut ilmu di Kota Nabi. Siapa tahu kakaknya bisa memberinya
pencerahan untuk mengurai kebingungannya.
Setelah
itu Hanna tenggelam dalam kesibukan pekerjaan kantornya. Saat jam istirahat
makan siang, usai sholat dhuhur, barulah gadgetnya dibuka kembali. Rupanya sang
kakak sudah menjawab emailnya. Satu per satu kata-kata dari kakaknya ia
cermati:
Salam
untuk adikku yang cantik, semoga kita selalu dalam lindungan Allah Ta’ala.
Adikku
sayang, mengenai pertanyaanmu tadi, kakak akan jelaskan secara singkat. Untuk lebih
jelasnya, kakak akan kirimkan buku padamu, bacalah, nanti kau akan bisa
memahaminya lebih baik lagi.
Adikku,
apapun yang kita lakukan di dunia ini tentu ada konsekuensinya, baik itu
menyangkut hubungan kita dengan Allah (hablumminallaah) maupun hubungan kita
dengan sesama manusia (hablumminannaas). Segala pilihan menuntut tanggungjawab.
Ilustrasinya
misalkan kita harus menghadiri acara di kota A, pada waktu tertentu yang tidak
bisa dimajukan atau dimundurkan, dan tidak ada acara seperti itu lagi
selamanya. Jika terlewatkan tidak berguna lagi alasan kecuali hanya penyesalan.
Maka apa yang akan kita lakukan? Tentu kita harus benar-benar mempersiapkannya.
Mulai dari mengadakan kendaraannya, menyiapkan bekalnya, merancang apa yang
akan kita lakukan disana, hingga mengatur jadwal agar tidak terlambat, dan
sebagainya. Nah, bagaimana jika kita tidak mau mempersiapkannya? Mungkinkah kita bisa sampai di kota A tepat
waktu, dengan selamat, sehat dan bahagia?
Demikian
pula dalam kehidupan kita adikku. Tujuan akhir kehidupan ini adalah kampung
akhirat. Untuk sampai disana kita perlu berbagai persiapan. Perlu mengerahkan
segala daya dan upaya, melalui perjuangan dan pengorbanan.
Kembali
pada pertanyaanmu. Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi:
Yang pertama.
Dalam
QS Al Ankabut ayat 2 dan 3 Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta”.
Dari
ayat tersebut dapatlah kita pahami bahwa ujian adalah konsekuensi logis dari
keimanan kita. Dengan kata lain ujian pasti akan menghampiri orang-orang yang
mengatakan dirinya beriman. Untuk apa? Agar nampak bedanya antara orang-orang
yang jujur dan orang-orang yang dusta. Agar terlihat mana orang-orang yang
tulus dan mana orang-orang yang munafiq. Agar nyata mana yang pantas menghuni
surga dan mana yang harus tinggal di neraka, sehingga jelas mana yang akan dimuliakan dan mana yang akan
terhinakan.
Adikku
sayang, ingatkah apa yang kau lakukan ketika kau ingin masuk perguruan tinggi
ternama di jurusan favorit? Kau belajar keras, kau ikut bimbingan belajar
disana-sini, kau jalani pengayaan materi setiap hari, kau galakkan ibadah dengan
banyak doa, tilawah, sholat malam, puasa sunnah, juga tak ketinggalan banyak
sedekah. Tak cukup itu, kau juga mengerahkan bala-bantuan berupa dukungan doa dari
orangtua, saudara, anak-anak yatim dan karib kerabat. Iya kan? Kau rela bersusah-payah
melakukan semua itu, padahal kau ‘hanya’ ingin masuk perguruan tinggi. Lalu bagaimana
jika mau masuk surga? yang kenikmatannya luarbiasa tak ada tandingannya, yang
belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, bahkan belum pernah
terlintas dalam pikiran manusia apalagi kita akan kekal di dalamnya? Apa yang
akan kau lakukan adikku? Tentu perjuangannya akan lebih berat dan kau/kita
harus lebih keras lagi berusaha dan berdoa. Begitukan sayangku?!
Seseorang
akan berusaha giat manakala ia punya keinginan yang kuat. Dengan begitu dirinya
sendiri yang ‘memaksa’ untuk bersusah payah demi cita-cita yang tinggi. Namun
sifat kebanyakan manusia adalah bahwa ia baru akan giat berusaha tatkala berada
pada posisi tertekan, tersudut ataupun terpaksa. Allah Ta’ala Sang Pencipta sangat
paham sifat manusia tersebut. Hal itu kadang yang menyebabkan-Nya menggiring
manusia menuju keadaan ‘terpaksa’ agar seseorang itu semakin mendekat pada-Nya,
agar terus berharap pertolongan-Nya, dan agar berusaha lebih kuat lagi. Itulah cara
Allah Ta’ala mendidik hamba-Nya. Dengan begitu terbuka banyak jalan bagi Allah
Ta’ala untuk menurunkan rahmat-Nya, terbentang luas samudera ampunan dan pahala-Nya,
sehingga hamba-Nya itu pantas untuk diangkat derajatnya. Perhatikan Firman
Allah Ta’ala dan Hadits Rasulullaah ini:
“Dan
Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'un' (Sesungguhnya kami
milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh
sholawat dan rahmat dari Robb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah: 155-157).
“Sesungguhnya
seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tidak ada satu
amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allah senantiasa mencobanya dengan
sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukan itu.”
(HSR. Abu Ya'la No.6069)
Yang kedua.
Tahukah
kau adikku? semakin kuat iman seseorang, maka ujian yang diberikan oleh Allah Ta’ala-pun
akan semakin besar. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pernah ditanya
oleh Sa'ad bin Abî Waqqash Radliyallaahu anhu :
“Ya
Rasulullah, Siapakah yang paling berat ujiannya?" Beliau menjawab,
"Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang
semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika
agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka
akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya” [HR. At-Tirmidzi no. 2398, An-Nasai
no. 7482, Ibnu Majah no. 4523 (Ash-Shahihah no. 143)].
Dalam
hadits yang lain Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh
mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian
itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan
mendapatkan kemurkaan-Nya” [HR. At-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Majah no. 4031
(Ash-Shahîhah no. 146)]
Para
Nabi adalah Kekasih Allah, orang-orang pilihan yang keimanannya tidak diragukan
lagi. Tapi justru merekalah yang paling berat ujiannya. Maka jika ada orang
yang mengatakan bahwa lebih enak jadi orang biasa-biasa saja agar tidak
mendapat ujian yang berat, pernyataan itu tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja
berarti ia 'mengambil posisi di tingkat bawah dalam kadar keimanan' ia merendahkan dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah: Dengan
posisi rendah seperti itu apakah bisa menghindarkannya dari siksa kubur? Apakah
bisa menyelamatkannya di akhirat kelak? Apakah amalan dan pahalanya cukup untuk
menggapai rahmat Allah Ta’ala sehingga dia bisa masuk surga? Sementara di
akhirat hanya ada dua tempat yaitu surga dan neraka. Tidak ada pilihan yang
lain. Jika tidak bisa masuk surga pastilah akan terjatuh ke neraka,
Na’udzubillaahi min dzaalik, semoga kita dijauhkan dari neraka. Jika langit telah digulung, tak ada waktu lagi
untuk perbaiki diri, tak ada lagi usaha yang bisa dilakukan, tak ada lagi
keluarga dan teman yang bisa dimintai tolong. Semua sibuk dengan urusan
masing-masing. Lihatlah orang-orang yang Allah Ta’ala jamin masuk surga, amalan
ibadah mereka sangat kuat walaupun kadang ujian hidup mereka juga sangat berat.
“Surga
itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai dan neraka itu dikelilingi
dengan berbagai macam syahwat (hal-hal yang disukai nafsu).” (HSR. Bukhari no.
6487 dan Muslim no. 2822, 2823).
Kehidupan
di dunia ini hanyalah sekejab mata dibandingkan dengan kehidupan di akhirat
kelak. Seandainya Allah Ta’ala memberikan ujian, itu adalah tangga untuk naik
ke tingkat yang lebih tinggi. Maka sudah selayaknya kita hadapi dengan ikhlash
dan sabar. Yakinlah itu tidak akan lama. Paling lama hanya sepanjang jatah usia
kita. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Tidak ada kebahagiaan yang abadi tidak
pula ada kesedihan yang langgeng, segala sesuatu akan datang dan pergi silih
berganti.
Itulah
adikku kenapa kita harus memegang teguh syahadat kita, kita titi jalan kebenaran
dan kebajikan sepenuh hati, kita bubungkan asa setinggi mungkin, karena Allah
Ta’ala pasti akan menolong hamba-Nya. Allah Ta’ala tidak akan pernah aniaya
pada makhluq-Nya, kecuali mereka yang aniaya pada diri mereka sendiri.
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:
177).
Na’udzubillaahi
min dzaalik jangan sampai kita termasuk orang yang diberi istidraj (kalau dalam
bahasa kita dilulu) atau diulur-ulur, sebagaimana hadits ini:
Dari
‘Uqbah bin Amir, dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam: “Apabila engkau
melihat Allah mengaruniakan dunia kepada seorang hamba sesuai dengan yang ia
inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu hanya
istidraj dari-Nya”, kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam membaca
firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-An’am ayat 44: “Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Yang ketiga.
Mengenai
orang-orang yang kafir/ingkar, maka apapun amalan yang mereka lakukan tidak ada
artinya samasekali, tidak memberi manfa’at sedikitpun bagi diri mereka, karena Allah
Ta’ala tidak akan menerimanya. Amalan mereka bagaikan debu yang beterbangan. Namun
demikian karena Allah Ta’ala mempunyai sifat Ar-Rahman, Maha Pengasih pada
semua makhluq, maka Allah Ta’ala tetap memberi mereka rizqi, bahkan kadang
berlimpah. Hanya saja kesenangan mereka paling lama hanya sampai roh ada di dalam
jasad, setelah itu siksa yang amat pedih telah menanti.
Firman
Allah Ta’ala:
“Orang-orang
yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup
angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
mengambil manfa’at sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang
demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18).
“Pada
hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi
orang-orang yang berdosa dan mereka berkata: "Hijraan mahjuuraa”. Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqon: 22-23).
“Jika
orang kafir melakukan kebaikan, ia diberi makanan di dunia. Sedangkan bagi
orang beriman, Allah menyimpan kebaikannya di akhirat nanti dan tetap
memberinya rezeki di dunia karena ketaatannya” (HR. Muslim).
Baiklah
adikku, semoga kau paham dengan penjelasan singkat ini, semoga Allah Ta’ala
selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya pada kita, serta menguatkan kita dalam
memegang dinullah. Segala penderitaan dalam iman di dunia ini tidak ada artinya
samasekali dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah Ta’ala janjikan dalam
surga-Nya. Dan Allah Ta’ala tidak pernah ingkar janji. Percayalah bahwa Allah tidak akan aniaya kepada hamba-Nya, Dia akan senantiasa menolong hamba-Nya. Allaahul musta’an.
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya (QS. Fushshilat: 46).
Terimakasih, sangat bermanfaat.
BalasHapusDinantikan postingan-postingan selanjutnya :)