1.
PENULARAN.
لاَ
عَدْوَ وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada
penularan, tidak ada thiyarah, tidak ada hammah dan tidak ada shafar”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5437) dan Muslim (no. 2220- 2221) dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim (no. 2222) dari Ismail bin Ja'far dari Al Ala' bin Abdirrahman dari Abu Hurairah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5437) dan Muslim (no. 2220- 2221) dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim (no. 2222) dari Ismail bin Ja'far dari Al Ala' bin Abdirrahman dari Abu Hurairah.
‘Adwa (penularan)
diartikan sebagai berpindahnya penyakit dari seseorang ke orang lain atau dari
seekor hewan ke hewan lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain. Adalah termasuk
keyakinan yang mungkar, sebagaimana yang ada pada jaman jahiliyah, apabila mempercayai adanya penyakit yang menular dengan
sendirinya tanpa adanya takdir dan idzin dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits
dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam di atas menjadi pemutus dari keyakinan tersebut
dan sebagai penegas bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini hanya
bisa terjadi jika Allah Ta’ala menghendaki dan mengidzinkannya.
لاَ يُعْدِي شَيْءٌ شَيْئًا
“Sesuatu tidak bisa menulari
sesuatu yang lain” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Namun yang perlu
diperhatikan adalah bahwa segala ketentuan dan taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala
berlaku di atas Sunnatullah yakni memiliki suatu sebab yang mengharuskan
terjadinya. Ketentuan ini merupakan kesempurnaan hikmah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam mencipta. Dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mentakdirkan
suatu kebaikan ataupun kejelekan kecuali Dia juga telah menciptakan sebab-sebab
yang bisa mengantarkan kepada keduanya.
Sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan surga, Dia juga menetapkan sebab-sebab yang
bisa mengantarkan seseorang kepadanya. Demikian pula neraka, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menetapkan sebab-sebab yang bisa menggelincirkan manusia masuk ke
dalamnya.
Dalam urusan
keseharian juga berlaku hal tersebut. Segala sesuatu berupa kebaikan dan keburukan
telah Allah tetapkan sebabnya masing-masing. Sebagai contoh, kenyang sebabnya
adalah makan, pandai sebabnya adalah belajar, bodoh sebabnya adalah malas,
celaka sebabnya adalah ceroboh, dan seterusnya.
Namun yang perlu dipahami adalah bahwa suatu kejadian
mempunyai dua komponen. Komponen pertama adalah adanya sebab, dan komponen
kedua adalah adanya pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang mengatur dan menetapkan hasil dari kedua komponen tersebut.
Oleh karena itu, jika
suatu sebab itu ada, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengidzinkan terjadinya pengaruh/efek/akibat
dari sebab tersebut, maka sebab tersebut akan menghasilkan sesuatu. Namun bisa
jadi sebab itu ada, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengidzinkan
terjadinya pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut, sehingga sebab tersebut
tidak menghasilkan apa-apa.
Sebagai contoh,
berkerja adalah suatu sebab dan mendapatkan uang adalah pengaruh/efek/akibat
dari sebab tersebut. Mungkin saja seseorang bekerja (yang artinya Allah mengidzinkan
terjadinya sebab) akan tetapi apakah pasti mendapatkan uang (yang merupakan
pengaruh dari sebab)? Belum tentu...Ketentuan itu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika
Allah menghendaki sebab itu berpengaruh maka ia akan mendapatkan uang, tetapi jika
Allah tidak menghendaki sebab itu berpengaruh maka ia tidak akan mendapatkan
uang. Itulah kenapa dalam kenyataan sehari-hari orang bisa saja sama pekerjaannya, akan tetapi tidak sama hasil yang didapatkannya. Hal itu disebabkan karena ketentuan
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas pengaruh dari sebab (usaha) itu yang berbeda
untuk setiap orang.
Demikian pula
dalam hal penularan penyakit. Berbaurnya orang yang sehat dengan orang yang sakit
adalah sebab, sedangkan tertularnya penyakit adalah pengaruh/efek/akibat dari
sebab tersebut. Apakah bila orang yang sehat berbaur dengan orang yang sakit pasti
akan tertular penyakit? Belum tentu. Tergantung dari ketetapan dan idzin Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Jika Allah mengidzinkan maka sebab akan berpengaruh sehingga ia
tertular penyakit dan jika Allah tidak mengidzinkan maka sebab tidak akan berpengaruh
sehingga ia tidak tertular penyakit.
Coba kita lihat
di rumah sakit, dimana banyak sekali pasien yang notabene orang yang sakit,
sementara disana juga banyak pula tenaga medis dan paramedis yang tentunya
orang yang sehat (karena kalau sakit mereka tidak bisa bekerja). Subhanallah...ternyata sangat jarang dari mereka yang tertular
penyakitnya pasien.
Kesimpulannya adalah bahwa bentuk penularan yang dinafikan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas adalah penularan suatu penyakit dengan sendirinya tanpa idzin dan ketentuan dari Allah ‘Azza wa Jalla, akan tetapi tidak menafikan adanya penularan suatu penyakit dengan idzin dan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Coba kita simak sabda beliau Shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ
الْأَسَ
“Larilah dari
orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu berlari dari singa” (HR.
Al-Bukhari).
Pada zaman itu penyakit kusta adalah penyakit yang sangat menakutkan, sehingga Nabi memerintahkan untuk menghindari orang yang berpenyakit kusta. Hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan sebab terhindarnya dari penyakit tsb.
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan tentang
seorang lelaki yang berkata kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengenai
onta yang berpenyakit kudis ketika berada di antara onta-onta yang sehat,
tiba-tiba semua onta yang sehat menjadi terkena kudis, maka beliau
bersabda:“Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang pertama?”. (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Maksud dari
hadits tersebut adalah penyakit yang menimpa onta yang pertama (yang sakit) itu
tanpa adanya penularan, akan tetapi sakit karena kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Dan dalam hadits
yang lain beliau melarang siapapun yang berada di dalam wilayah yang terkena
wabah penyakit untuk keluar dari wilayah tersebut dan melarang orang yang
berada di luar untuk masuk ke dalam wilayah itu.
Adapun bagi orang
yang tawakkalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat kuat, maka tidak ada
larangan baginya untuk mendekat dan berbaur dengan orang yang berpenyakit
menular. Apalagi jika ada maslahat yang mengharuskannya, misalnya untuk
perawatan dan pengobatan. Hal yang terjadi pada tenaga medis, paramedis dan
para petugas klinik ataupun rumah sakit. Ternyata mereka harus mempertaruhkan
kesehatannya untuk membuat orang sakit menjadi sehat. Salut.
Menurut ilmu kedokteran tidak semua penyakit bisa menular ada juga penyakit yang tidak menular. Penyakit menular jika disebabkan oleh kuman, bakteri, virus dsb. Penyakit tidak menular jika disebabkan disfungsi organ tubuh.
Menurut ilmu kedokteran tidak semua penyakit bisa menular ada juga penyakit yang tidak menular. Penyakit menular jika disebabkan oleh kuman, bakteri, virus dsb. Penyakit tidak menular jika disebabkan disfungsi organ tubuh.
2. PENCEGAHAN.
Seperti halnya
penularan maka pencegahan terjadinya penyakit juga mengikuti Sunnatullah yang
memiliki sebab terjadinya. Seseorang yang tidak berharap mendapatkan penyakit
maka sekuat tenaga akan melakukan upaya untuk mencegahnya. Misalnya dengan
makan dan minum secara sehat, olahraga, memakai masker ketika berada di tempat
umum dsb. Semua upaya tersebut adalah sebab. Apakah sebab tersebut akan
berpengaruh atau tidak? Maka disanalah Kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
menentukannya. Jika sebabnya berpengaruh, maka seseorang itu akan terhindar dari penyakit, dan jika
sebabnya tidak berpengaruh, maka seseorang itupun bisa terkena penyakit.
Suatu kali ada
seseorang yang sangat konsen menjaga kesehatannya. Semua makanan dan minuman
diseleksi dengan ketat, rajin berolahraga setiap hari dan mempunyai jadwal refreshing
yang rutin untuk membuat pikirannya rileks. Alhasil badannya tetap bugar di usia lanjut. Namun ada orang lain
yang juga melakukan hal yang sama, tetapi di usia yang belum lanjut penyakit
sudah datang menghampirinya. Kenapa bisa begitu? Karena upaya (sebab) yang ia jalani hanya berpengaruh sedikit atau tidak berpengaruh samasekali. Tidak ada yang bisa menolaknya karena itu hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala sepenuhnya untuk menentukan apapun, dan kebaikan pada dirinya ada pada hal lain yang telah ditentukan-Nya, Insya Allah.
3. KEKAMBUHAN.
Seseorang yang
pernah sakit kemudian sembuh, sering merasa was-was jangan-jangan penyakit lama
akan kembali lagi, muncul lagi atau kambuh lagi. Sama halnya dengan penularan dan
pencegahan penyakit, maka kekambuhan juga bukan sesuatu berlaku muthlaq. Tetapi
ada sebab dan ada pengaruh dari sebab.
Amatlah elok
manakala telah lepas dari suatu penyakit maka putuskan segala syak wasangka dan hilangkan semua kecemasan. Anggaplah penyakit tersebut sampai pada batas akhirnya. Mulailah dengan lembaran
baru, menyongsong harapan baru. Lakukan sebab pencegahan timbulnya penyakit dan
bertawakkallah agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ketentuan yang terbaik
untuk kita.