Sore itu Alifah
baru pulang dari kajian di masjid kampus. Seperti biasa ia selalu naik angkot.
Maklum sejak jatuh dari motor beberapa tahun yang lalu ia jadi kurang pede
untuk bermotor lagi. Di sampingnya ada wanita muda sedangkan di depannya duduk 2
orang ibu-ibu setengah baya. Sepertinya mereka bertiga berkawan, terlihat dari
obrolan mereka. Tanpa bermaksud menguping, Tetap saja Alifah bisa mendengarkan
obrolan mereka. Si wanita muda berkata pada ibu-ibu didepannya,
“Tante, temanku si Dewi itu
akan menikah lho, minggu depan.”
“Benarkah? Dengan siapa ia
menikah?” tanya ibu berbaju hijau.
“Dengan teman kuliahnya. Tapi
calon suaminya muslim, jadi Dewi sekarang ikut keyakinan calon suaminya itu.”
“Dewi pindah agama? Apa sudah
dipikir itu? biar gak nyesel nantinya? Ada lho kenalanku, ya begitu itu, pindah
agama karena mau nikah. Eh… gak taunya beberapa tahun kemudian malah cerai. Ada
juga yang setelah pindah agama hidupnya malah susah, banyak masalah… ya gitu
deh!” sahut si ibu berbaju merah sengit.
“Kurangtahu juga ya tante,
soalnya aku gak mungkin ikut campur urusan keyakinan.” Jawab wanita muda itu
pelan.
Setelah itu
Alifah tidak tahu lagi pembicaraan mereka, karena ia turun terlebih dahulu,
rumahnya tidak terlalu jauh dari kampus. Berjalan sebentar memasuki gang kecil,
sampailah Alifah di rumahnya. Sambil merebahkan badannya yang lelah, Alifah
memikirkan pembicaraan orang-orang di angkot tadi. Alifah mencoba menghadirkan
kembali memorinya berkaitan dengan muallaf.
***
Secara bahasa muallafah adalah bentuk jamak dari kata muallaf, yang berasal dari kata al-ulfah (الأُلْفًة), yang artinya adalah
menyatukan, melunakkan dan menjinakkan
Sedangkan secara
istilah syariah, para ulama mendefiniskan makna al-muallafati quluubuhum dengan berbagai pengertian:
1. Menurut Al-Imam Az-Zuhri:
مَنْ أَسْلَمَ مِنْ يَهُودِيٍّّ
أَوْ نَصْرَانِيٍّ وَإِنْ كَانَ غَنِيّاً
(Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam walaupun
mereka kaya).
2. Menurut Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Az-Zakah 2/57:
الَّذِينَ يُرَادُ تَأْلِيفُ
قُلُوبِهِمْ بِالاِسْتِمَالَةِ إِلَى الإِْسْلاَمِ أَوْ تَقْرِيرًا لَهُمْ عَلَى
الإِْسْلاَمِ أَوْ كَفُّ شَرِّهِمْ عَنِ المـسْلِمِينَ أَوْ نَصْرُهُمْ عَلَى
عَدُوٍّ لَهُمْ
(Orang-orang yang diharapkan
agar terbujuk hatinya untuk masuk Islam, atau untuk mengokohkan mereka dalam Islam, atau untuk menghindarkan
kejahatan mereka atas umat Islam, atau untuk membela mereka dari musuh-musuh
mereka).
3. Secara umum muallaf biasa
digunakan untuk menyebut seseorang yang bersyahadat setelah baligh (dewasa,
baik berasal dari agama yang lain ataupun dari tidak beragama.
Menjadi muallaf mendatangkan berkah tersendiri,
Allah SWT memberi beberapa “hadiah” berupa:
1. Penghapusan
dosa yang telah lalu
Syahadat adalah pintu masuk Islam. Jika
seseorang memasukinya, maka banyak hal yang tidak dibawa serta. Segala perbuatan yang tidak sesuai
dengan Islam harus ditinggalkan. Dan indahnya adalah dosa yang ada pada
seseorang tersebut juga ditinggalkan, tidak dibawa masuk.
“Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka
kembali lagi (pada kekafiran), sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah
(ketetapan Allah) terhadap orang-orang dahulu.“ (QS. Al Anfal: 380.
Rasulullah
SAW bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwa Islam menggugurkan (dosa-dosa)
sebelumnya, dan bahwa hijrah menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya, dan bahwa
haji menggugurkan (dosa-dosa) sebelumnya” (H.R. Muslim, No. 121).
Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah.Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. Az-Zumar: 53)
Imam
Ibnu Katsir berkata tentang QS. Az-Zumar
ayat 53 ini “Ayat yang mulia ini merupakan seruan kepada orang-orang yang
bermaksiat, baik orang-orang kafir atau lainnya, untuk bertaubat dan kembali
(kepada Allah). Ayat ini juga memberitakan bahwa Allah Tabaaraka Wa Ta’ala akan
mengampuni dosa-dosa semuanya bagi orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa
tersebutan meninggalkannya, walaupun dosa apapun juga, walaupun dosanya
sebanyak buih lautan. Dan tidak benar membawa arti pengampunan Allah (dalam
ayat ini) dengan tanpa taubat, karena orang yang tidak bertaubat dari syirik
tidak akan diampuni oleh Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, surah Az-Zumar: 53)
2.
Dimasukkan surga.
Ini berdasarkan keumuman dalil bagi orang yang
bersyahadat, termasuk orang yang muslim semenjak belum baligh.
“Barangsiapa mati
dalam keadaan mengilmui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah, ia masuk surga” (HR. Muslim 26)
Dari Abu
Dzar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah,’ kemudian meninggal, maka pasti masuk
surga.” (HSR. Bukhari)
"Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
kecuali Allah satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan bahwa, Muhammad
adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa, 'Isa adalah hamba Allah,
utusan-Nya dan firman-Nya yang Allah berikan kepada Maryam dan ruh
dari-Nya, dan, surga adalah haq (benar adanya), dan neraka adalah haq, maka
Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga betapapun keadaan amalnya".
Al Walid berkata, telah bercerita kapadaku Ibnu Jabir dari 'Umair dari Junadah
dengan menambahkan: " maka akan dimasukkan ke dalam surga lewat salah satu
dari ke delapan pintu surga yang mana saja yang dia mau".(Shahih Bukhari
3180)
3.
Dihindarkan dari neraka.
Ini juga berdasarkan
keumuman dalil bagi orang yang bersyahadat, termasuk orang yang muslim semenjak
belum baligh.
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya
dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka
atasnya.” (HR. Al-Bukhari 6938 dari Mu’adz bin Jabal ra).
4. Berhak mendapatkan zakat.
Perpindahan menuju sesuatu yang
baru tentu memerlukan adaptasi. Zakat disini dimaksudkan untuk membantu muallaf
melewati masa transisinya. Karena kadang ada yang dikucilkan oleh keluarganya,
ada yang diberhentikan dari pekerjaannya, ada yang dijauhi teman-temannya, ada
pula yang dihancurkan bisnisnya. Dengan diberi zakat diharapkan bisa mengatasi
kesulitannya dan menguatkannya dalam Islam. Jika muallaf tersebut tidak
mengalami masalah secara materi, maka zakat tetap berhak didapatkannya sebagai
hadiah dari kaum muslim untuk mereka, sebagai bentuk perhatian dan ikatan
silaturrahmi. Zakat juga bisa sebagai daya tarik untuk agar orang lain juga
tertarik untuk ber-Islam.
***
Jika Islam diibaratkan sebagai
sebuah bangunan yang indah, maka pertamakali orang bisa tertarik mungkin karena
tapaknya yang bagus, mungkin karena catnya yang serasi, mungkin karena
bentuknya yang menawan, mungkin pula karena penghuninya yang baik dan ramah.
Demikian pula seseorang bisa
tertarik pada Islam bisa melalui beberapa sebab. Ada yang tertarik setelah
berteman dan sering bertukar pendapat dengan muslim. Ada pula yang tertarik
karena melihat ibadah/syariah yang dilakukan muslim. Ada yang karena membaca
buku-buku Islam atau bahkan membaca/mendengarkan bacaan Al Quran. Ada pula yang
karena tauhid (ajaran Keesaan Allah) yang menarik perhatiannya. Nah setelah
mereka muallaf maka ketertarikan dari satu sisi tersebut harus ditarik ke
sisi-sisi yang lain, agar pemahamannya tentang Islam menjadi kaffah
(menyeluruh). Ini menjadi tanggung jawab pribadinya sebagai muallaf,
keluarganya (jika ada yang muslim), kerabat, teman dan juga ‘alim ‘ulama.
Ketika seseorang telah
bersyahadat maka ia adalah seorang muslim. Mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dengan muslim yang telah ber-Islam sebelum baligh.
Ada beberapa hal pokok yang harus
diperhatikan oleh muallaf agar ke-Islaman dan keimanannya terus bertambah baik.
Diantaranya adalah:
1. Mempelajari Dinul Islam dengan benar.
Kunci pokok perbedaan Islam
dengan agama atau kepercayaan yang lain adalah tauhidnya, atau dalam bahasa
umumnya disebut teologi. Tauhidul Islam adalah Allah Maha Esa, tidak ada sekutu
baginya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan hanya Dia yang berhak untuk
diibadahi. Aqidah sebagai pondasi agama adalah hal pertama dan utama yang harus
dikuatkan. Jika keimanan dan keyakinannya telah kokoh, maka akan tangguhlah seseorang
dalam menapaki kehidupannya. Ia juga akan mudah menerima dan melaksanakan
aturan-aturan syariah dan fiqh Islam. Rasulullaah SAW di awal kerasulannya sangat
menekankan pembinaan aqidah. Sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan di awal kerasulan
yang lebih banyak membahas tentang aqidah. Setelah aqidah kuat, barulah diturunkankan
perintah-perintah dan larangan-larangan berupa syariah, fiqh dan akhlaq.
2. Mempelajari cara membaca Al Qur’an, mengerti dan memahami isi
dan maknanya.
Pedoman utama kaum muslim adalah
Al Qur’an, setelah itu Al Hadist. Tentu saja untuk bisa memahami dan
menjalankan Syariah Islam, kaum muslim harus mempelajari Al Qur’an. Walaupun
banyak edisi terjemahnya, juga banyak ulama yang mampu menjelaskan tentang
kandungan Al Qur’an, tetapi paling tidak setiap muslim wajib bisa membacanya.
Selain karena membaca dan mentadabburinya adalah ibadah, juga karena semua ilmu
bermula dari Al Qur’an.
3. Bersabar terhadap ujian Allah SWT.
Jika kita berjanji, pasti akan ditagih.
Jika kita bersumpah, pasti akan diminta untuk membuktikan kebenaran sumpah itu.
Tatkala bersyahadat, seseorang bersaksi dan bersumpah tidak ada ilah yang berhak
diibadahi kecuali Allah SWT dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Tidak
mustahil jika kemudian ia harus membuktikan bahwa ia ber-Islam bukan untuk
mendapatkan pasangan hidup (suami atau istri), bukan agar punya sahabat sejati,
bukan supaya naik jabatan, bukan guna mendapatkan keuntungan/harta berlimpah, bukan
untuk menarik simpati masyarakat, bukan demi popularitas, dan bukan yang
lain-lain. Tapi ia perlu membuktikan bahwa ia ber-Islam karena panggilan
kebenaran, karena mendambakan ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, juga
karena harapan hidup mulia dunia akhirat. Allah SWT telah berfirman,
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan
: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut: 2-3)
Tidak semua muallaf diuji dengan
musibah dan kesengsaraan, ada pula yang diuji dengan kenikmatan dan keberuntungan,
bahkan popularitas dan harta berlimpah. Ujian diberikan agar yang menjalaninya
punya kesempatan untuk naik tingkat, dan agar ada jalan bagi Allah SWT untuk memberikan
pahala dan hikmah yang lebih. Dan ujian itu juga sebagai tanda bahwa Allah SWT
mencintai hamba-Nya. Di lain sisi Allah SWT juga menjanjikan bahwa bersama kesulitan
pasti ada kemudahah (QS. Al Insyirah ayat 5-6).
Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu,
melainkan ditetapkan baginya dengan sebab itu satu derajat dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya (HSR.
Muslim No.2572)
Katakanlah (Muhammad), "Wahai hamba-hambaKu yang beriman,
bertaqwalah kepada Robbmu." Bagi orang-orang yang berbuat baik, di dunia
ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya
orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas (QS. Az-Zumar: 10.
Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw., "Sesungguhnya balasan yang besar ada dalam ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia
menguji mereka. Barangsiapa yang ridha dengan ujian itu, maka mereka akan
mendapatkan keridhaan Allah. Barangsiapa yang murka atau tidak senang dengan
ujian itu maka mereka akan mendapatkan murka-Nya." (HR. Tirmidzi dan
Ibnu Majah).
4. Tetap istiqomah dalam cobaan.
Karena muallaf baru masuk Islam
ketika sudah baligh, maka secara umum, berdasarkan hitungan masa/waktu,
mereka belum punya atau masih sedikit
catatan amalnya. Bisa dikatakan mereka kalah start dibanding mereka yang sudah
lebih dulu ber-Islam. Maka muallaf harus bergegas, harus berlari untuk mengejar
ketertinggalan itu. Dalam QS. Al Waqiah ayat 10-11 Allah SWT berfirman,
“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu
(masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah)”
Tabiat manusia adalah baru
berusaha kuat setelah terjepit. Maka cobaan adalah salah satu gambaran untuk
membuat seseorang merasa terjepit, sehingga akan membuatnya berusaha kuat. Cobaan
adalah cara Allah SWT untuk mendidik manusia agar menjadi kuat imannya. Ibarat
besi yang berubah menjadi senjata tajam setelah ditempa. Cobaan memberi peluang
pada seseorang untuk lebih giat beribadah, berdzikir, berdoa, berikhtiar,
bersabar dan bertawakal. Mari kita simak hadist di bawah ini:
Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah,
namun tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allah
senantiasa mencobanya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada
kedudukan itu. (HSR. Abu Ya'la No.6069).
5. Berdakwah.
Sebagai seseorang yang telah
melalui proses pencarian untuk mendapatkan kebenaran, maka muallaf punya
kesempatan untuk mendakwahkan apa yang diusahakannya dan apa yang didapatkannya
dalam Islam kepada saudara, orangtua, kerabat, teman, tetangga, atau bahkan
masyarakat luas, untuk mengajak atau mendorong mereka masuk Islam. Walaupun
kadang ada hambatan baik secara internal yaitu dari diri sendiri yang belum
terlalu paham tentang Islam, maupun eksternal berupa kecurigaan atau tentangan
dari komunitas sebelumnya. Namun jika tekadnya kuat dan semangatnya besar,
tentulah hambatan itu akan mampu dilampaui.
***
Sejatinya kelima hal diatas tidak hanya khusus
untuk muallaf, tapi untuk seluruh kaum muslim. Hanya saja para muallaf
seringkali jadi pusat perhatian baik oleh komunitas asalnya, maupun oleh kaum
muslim. Karena mereka baru memulai ber-Islam setelah baligh, tidak sejak awal
kehidupannya, seperti halnya kaum muslim yang lahir dari orangtua muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar