Al-Qohhaar
adalah salah satu dari 99 Asma’ul Husna (nama-nama indah milik Allah SWT), yang
berarti menjinakkan, menundukkan, mengalahkan, memaksakan atau dengan kata lain
adalah perkasa.
Dalam
Al-Qur’an, Al-Qohhaar disebut enam kali dan semuanya dirangkaikan setelah
penyebutan kata Al-Waahid, yang berarti Maha Esa. Penyebutan nama dan sifat Al-Waahid
di depan Al-Qohhaar memberi penegasan atau penguatan bahwa hanya Allah SWT satu-satunya yang memiliki sifat
Al-Qohhaar itu, tidak ada yang lain. Satu diantaranya adalah dalam Surah
Al-An’am ayat 18:
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.”
Ibnu
Jarir rahimahullah dalam tafsirnya (11/288) menyatakan:
“Maksud
dari kata (القاهر) adalah yang menundukkan dan merendahkan makhluq-Nya, jadi
Allah yang tinggi di atas mereka. Dikatakan 'di atas hamba-Nya', karena Dia
mensifati diri-Nya menundukkan mereka, dan sifat setiap yang menundukkan
sesuatu itu berarti dia berada di atasnya.
Menurut
Tafsir Ath-Thabary 17/52, Al-Qohhaar (القهار) merupakan sighat mubalaghah (kata bentukan yang artinya:
sangat) dari isim fa'il (kata kerja) Al-Qoohir (القاهر) yang berarti "Yang mengalahkan segala sesuatu dan mengaturnya
sebagaimana yang Dia kehendaki
Al-Baihaqi
rahimahullah berkata, "Al-Qohhaar adalah Al-Qoohir dalam makna
mubalaghah (sangat). Dia yang maha kuasa. Maka maknanya kembali kepada sifat
qudrah (kuasa) yang merupakan sifat berdiri sendiri. Ada yang mengatakan bahwa
Dialah yang menundukkan makhluq atas apa yang Dia kehendaki." (Al-Asma wa
As-Sifat, Al-Baihaqi, 1/164)
Ibnu
Manzhur rahimahullah berkata, "Al-Qohhaar termasuk sifat Allah Azza wa
Jalla." Al-Azhari berkata, Allah adalah Al-Qoohir Al-Qohhaar. Dia menundukkan
makhluq-Nya dengan kekuasaan-Nya dan ketetapan-Nya serta mengarahkan mereka
atas apa yang Dia kehendaki, baik mereka suka maupun enggan. Al-Qohhqar adalah
mubalaghah. Ibnu Atsir berkata, "Al-Qoohir adalah Yang mengalahkan seluruh
makhluq." (Lisanul Arab, 5/120)
Ibnu
Qoyyim rahimahullah berkata dalam Thariqul Hijratain: 233
"Al-Qohhaar
tidak akan ada pada sesuatu kecuali dia esa dan mustahil memiliki sekutu.
Al-Qohhaar (menundukkan) dan Al-Wihdah (esa) adalah dua hal yang saling
berkaitan. Al-Mulk (kerajaan), Al-Qudrah (kekuasaan), Al-Quwwah (kekuatan),
Al-Izzah (kemuliaan), semuanya milik Allah yang Esa dan Menundukkan. Selain
dari-Nya berarti dia makhluk dan ditundukkan, ada lawan, ada yang meniadakan
dan ada tandingan. Allah menciptakan angin dan menundukkannya satu sama lain,
menghantamkannya dan mencerai-beraikannya. Dia menciptakan air, lalu air
ditundukkan oleh angin yang mengalirinya dan mencerai-beraikannya. Dia
menciptakan api, lalu api ditundukkan oleh air yang dapat memadamkannya. Dia
menciptakan besi, lalu besi ditundukkan oleh api yang meleburnya dan
menghilangkan kekuatannya. Dia menciptakan batu, lalu batu ditundukkan oleh
besi yang dapat menghancurkannya berkeping-keping. Dia menciptakan Adam dan
keturunannya, lalu Iblis dan keturunannya menguasainya. Dia ciptakan Iblis dan
keturunannya, lalu Iblis ditundukkan malaikat yang mengusir dan mengejar-ngejar
mereka.”
As-Sa'dy
rahimahullah berkata dalam Tafsir As-Sa'dy, hal. 415:
"Setiap
makhluq diatasnya ada makhluq lagi yang mengalahkannya. Di setiap makhluq yang
mengalahkan, adalagi yang lebih tinggi yang mengalahkannya. Hingga akhirnya
yang menundukkan adalah yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Keperkasaan dan tauhid
adalah dua perkara yang berkaitan dan ditentukan sebagai milik Allah
semata."
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa, 8/79 menguraikan maknanya, "Bukan sekedar karena
kekuasaannya dan keperkasaannya, akan tetapi untuk menunjukkan kesempurnaan
ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, kasih sayang dan kebijaksaan-Nya. Dia adalah
sebaik-baik yang bersikap bijak dan kasih sayang. Dia lebih sayang kepada
hamba-Nya dari orang tua terhadap anaknya. Dia telah berbuat baik terhadap
segala sesuatu yang Dia ciptakan."
***
Sifat
qoohir itu berlaku pada seluruh makhluq-Nya, baik yang taat maupun yang maksiat,
baik yang bernyawa maupun yang tidak. Karena hal tersebut merupakan sifat Rububiyah-Nya,
yaitu Allah SWT yang menundukkan semua makhluq-Nya dalam sunnatullah
(pengaturan Allah).
Allah
SWT Maha Perkasa, seluruh makhluk tunduk dalam genggaman kekuasaan-Nya, Dia menjinakkan hati hamba-Nya
sehingga dengan sukarela mengabdi hanya pada-Nya. Dia menundukkan alam semesta
beserta isinya dalam aturan-Nya, bumi dan planet beredar pada tempatnya, siang digantikan
dengan malam dan sebaliknya, musim datang silih berganti tanpa ada yang mampu
menghentikannya.
Allah
mengalahkan Fir’aun dan orang-orang kafir lainnya dengan menunjukkan
tanda-tanda kebesaran-Nya, memaksakan hujan turun, petir membahana, gunung
meletus, dan laut berombak, tanpa ada yang mampu menghalanginya. Sepandai
apapun manusia, takkan bisa memperlambat
atau mempercepat perputaran bumi, secerdas apapun ilmuwan takkan mampu
memperpanjang malam walau hanya sedetik, bahkan takkan kuasa menahan tubuhnya
sendiri agar tidak menjadi tua.
Sungguh,
Allah telah mengalahkan semua makhluq-Nya, Dia yang menjadikan manusia lapar
ketika perut kosong, menjadikannya lemah tatkala kantuk menyerang,
menjadikannya tak berdaya saat sakit dan membuatnya pasrah tak kuasa menolak
jika Malaikat Izrail mencabut nyawanya.
Allah
SWT pula yang mampu memberikan kepada manusia sesuatu di luar keinginannya dan mampu
menghalanginya dari sesuatu yang didambakan. Allah SWT pula yang mampu
memberikan kepada manusia apa yang diinginkannya bahkan lebih dari itu, dan
mampu pula menahan apa yang ditolaknya, bahkan meniadakannya. Semua hal mampu
Allah SWT tetapkan.
Tak
seorangpun yang bisa menolak ketika diberi celaka atau sakit. Namun jika
manusia sabar dan memohon pertolongan-Nya maka celaka atau sakit itu akan
segera sirna. Sebaliknya, tak seorangpun yang bisa mendapatkan sesuatu yang
dihalangi Allah, namun jika dia ikhlash, maka Allah akan menggantikan apa yang terlepas
darinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Jika
terjadi musibah, ujian atau cobaan pada seseorang, hal itu bukan selalu sebagai
pertanda hukuman, azab, atau penghinaan terhadap orang tersebut, tetapi semua
itu sebagai pertanda bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang sempurna untuk
melakukan apapun baik dengan sebab ataupun tidak.
Boleh
jadi Allah SWT menurunkan penyakit kepada hambanya, untuk mengujinya, bukan
untuk mengazabnya. Sebagai jalan bagi Allah SWT untuk memberikan pahala-Nya dan untuk meninggikan
derajat seseorang itu. Allah SWT menguji seseorang dengan kefakiran, bukan agar
dia menderita, tapi agar dia menjadi orang yang kuat dan tangguh dalam berusaha
hingga bisa mendapatkan kekayaan yang berkah.
Demikian
pula manakala Allah SWT memberikan karunia berupa akal yang luar biasa
kemampuannya, dan mengilhamkan ilmu yang begitu menakjubkan, sehingga yang dahulu
dianggap tidak mungkin, sekarang jadi mungkin. Begitu juga dengan anugerah
anggota badan dengan segala fungsi dan kehebatannya, keindahan dan kekayaan
alam yang berlimpah, semua dianugerahkan kepada manusia agar dimanfaatkan untuk
kebaikan, agar manusia mau memahami dan mau tunduk pada Robb-nya.
Karena
Al-Qohhaar memang tidak berarti balas dendam terhadap musuh-musuh Allah, bukan
pula berarti penyiksa terhadap orang-orang yang maksiat dan dholim. Tetapi
segala ketentuan itu sebagai perwujudan sifat Allah Robbul-Izzati.
Dengan
keperkasaan-Nya, Allah SWT juga Maha Pengampun (Al-Ghofuur), tidak serta-merta
memberi hukuman, tidak tiba-tiba menurunkan azab, tapi memberi peringatan
terlebih dahulu, dan memberi penundaan sampai batas waktu tertentu. Allah SWT membukakan
pintu ampunan-Nya di malam hari untuk menerima taubat orang yang berdosa
di siang hari dan membukakan pintu ampunan-Nya di siang hari untuk menerima
taubat orang yang berdosa di malam hari. Dzat yang Maha Berkehendak dan Menentukan
itu memberikan maaf dan ampunan kepada yang dho’if (lemah) yakni manusia.
“Katakanlah: Jelaskan kepadaku,
jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat,
siapakah Tuhan selain Allah yang bisa mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka
apakah kamu tidak mendengar?
Katakanlah: Jelaskan kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang bisa mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Qashash: 71 dan 72)
Katakanlah: Jelaskan kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang bisa mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Qashash: 71 dan 72)
“Maha Suci Tuhan yang telah
menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya.” (QS. Az-Zukhruf: 12 dan 13)
Tatkala
kita berada pada situasi ataupun tempat yang sulit, yang secara perhitungan manusia
tidak akan mampu untuk mengatasinya, maka serulah Dzat yang mampu mengalahkan
apapun, yang kuasa merubah segalanya dan bisa membuat hal diluar prediksi akal.. Yaa Qohhaar, Yaa Qohhaar, Yaa Qohhaar tolonglah kami.
Bagi
diri pribadi makna qoohiruun ini bisa diteladani. Imam Al-Ghazali mensyaratkan
bagi yang ingin meneladani sifat Al-Qohhaar ini dengan terlebih dahulu
memahamkan dirinya bahwa manusia adalah makhluq (ciptaan) Allah SWT, yang tujuan
penciptaannya adalah untuk menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi. Makna
qoohiruun dipakai sebagai penakluk dan penjinak hawa nafsu kita sendiri, ataupun
orang lain dengan tujuan kebenaran.
Jika
Allah dalam menundukkan dan menjinakkan makhluq-Nya tidak dengan mencabut
kebebasannya, ataupun mematikannya (kecuali yang telah sampai ajalnya), maka
nafsu juga tidak dimatikan tetapi diarahkan dan dikendalikan, agar menjadi
nafsul-muthma’innah (dorongan/keinginan yang baik).
Kendalikan
nafsu jumawa (angkuh) dengan sholat, kendalikan nafsu makan minum dengan puasa,
kendalikan nafsu serakah dengan zakat, kendalikan nafsu foya-foya dengan
sedekah, kendalikan nafsu hura-hura dengan haji/umroh, kendalikan nafsu syahwat
dengan menikah, kendalikan nafsu lalai dengan dzikir (mengingat Allah SWT dan
menyebut asma-Nya), kendalikan nafsu sum’ah (ingin selalu didengar) dengan dakwah,
kendalikan nafsu omong kosong dan ghibah dengan tilawah (membaca dan memahami
Al-Qur’an), kendalikan nafsu ujub (sombong) dengan zuhud (sederhana).
Wallaahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar