Siang itu sangat terik. Apalagi
di sekitar terminal bus. Angin kering menerbangkan debu beserta sampah. Belum
lagi asap knalpot dari kendaraan yang keluar masuk terminal. Ditambah dengan
ramainya suara klakson dan teriakan kenek-kenek bus yang mencari penumpang.
Lengkaplah sudah kegerahan di siang itu.
Dari dalam taksi yang berjalan
perlahan, Nurul menyaksikan ‘pemandangan indah’ itu. Matanya menyapu ke segala
arah mengusir kejenuhan setelah beberapa hari terkungkung di gedung tertutup untuk
pelatihan. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sosok wanita yang tengah
berjalan sendirian. Gamis dan jilbab yang tak rapi dan jalannya yang gontai
dengan pandangan tertunduk. Sepertinya dia sedang galau. Nurul merasa seperti mengenal
sosok itu. Ketika wanita tersebut mengangkat wajahnya, spontan Nurul berteriak:
“Putriii…”
“Pak,
pak, berhenti dulu pak!” pintanya pada sopir taksi .
“Ada
apa neng?” Tanya si sopir heran.
“Itu
pak, itu teman saya. Saya turun disini saja!”
Segera Nurul keluar dari taksi
setelah membayar ongkosnya. Bergegas dia berlari menghampiri wanita itu. Nurul
tidak pangling dengan sahabatnya itu, walaupun sudah hampir 20 tahun tidak pernah
bertemu, walaupun penampilan Putri
sangat jauh berbeda. Bagaimana mungkin Nurul lupa pada Putri yang kala itu
masih non muslim. Setiap hari Putri menghabiskan waktu di kosnya. Mulai dari mengerjakan
tugas sekolah, jalan-jalan, bercanda bersama, sampai diskusi panjang tentang
agama. Saat itu Putri sangat antusias belajar tentang Islam.
“Putri?
Kau Putri kan? Teman sekolahku dulu kan?” Tanya Nurul setelah dekat dengan
wanita itu. Wanita itu menghentikan langkahnya dan menatap Nurul. Serta merta
wajahnya berubah ceria.
“Nurul…Benarkah
ini Nurul sahabatku?!” teriaknya kegirangan, dia segera memeluk tubuh mungil di
depannya. Tak lama kemudian airmatanya tumpah dalam pelukan Nurul.
“Bagaimana
kabarmu sobat?” tanya Nurul. Putri hanya terisak. Nurul tak tega bertanya lebih
jauh.
“Ayo
kita ngobrol di kafe itu ya?” kata Nurul sambil menggandeng tangan sahabatnya
itu.
Berdua mereka duduk di tempat
yang agak sepi, agar bisa bebas ngobrol. Setelah memesan makanan dan minuman
seperlunya, Nurul membuka percakapan.
“Bagaimana
kabarmu Putri, kita benar-benar tidak pernah ketemu setelah lulus sekolah.”
“Perjalanan
hidupku sangat berliku Rul.” Jawab Putri pelan. Melihat itu Nurulpun
mengalihkan pembicaraan, kawatir melukai perasaan.
“Rumahmu
di deket sini ya Put?”
“Ya
lumayanlah, agak jauh Rul. Pikiranku sedang kacau Rul, aku tadi jalan tanpa
tujuan tertentu. Tak terasa sampai di terminal ini.” Jawab Putri masih dengan
pelan.
“Begitukah?
Apa yang sedang kau alami Put? Sebenarnya aku sangat penasaran, ingin tahu
kisahmu setelah kita lulus sekolah. Itupun kalau kamu tidak keberatan. Kulihat
kau mengalami perubahan yang sangat besar, terutama jilbabmu itu. Sejak kapan
kau memeluk Islam Put?” Tanya Nurul beruntun. “Kalau aku biasa-biasa saja Put,
tidak ada yang istimewa. Kuliah, kerja, nikah, punya anak, dan sekarang ini aku
lagi ditugaskan kantor untuk pelatihan.”
Terlihat Putri menghela nafas
panjang dan pandangannya menerawang jauh. Sepertinya dia benar-benar sedang
kalut. Tak tega Nurul melihat sahabatnya seperti itu.
“Putri,
kita cicipi dulu makanan ini ya, sepertinya enak.” Sambungnya kemudian.
“Oh,
iya, terimakasih Rul.”
Sejenak kemudian keduanya mulai
menikmati hidangan di meja. Enak juga menu makanan di kafe itu. Tak lama
berselang Putri mulai bercerita,
“Selepas
SMA aku diterima di perguruan tinggi yang aku idam-idamkan. Seneng dan bangga,
begitu juga dengan keluargaku. Masih seperti ketika bersahabat denganmu, aku
sangat tertarik dengan Islam. Di kampus aku bertemu dengan beberapa aktivis
masjid, dan aku terus belajar Islam bersama mereka. Tahun kedua di bangku
kuliah, aku merasa sudah sangat yakin dengan pemahamanku, sudah mantap dengan
Islam.
Aku bersyahadat di depan
teman-teman dan pembimbing rohaniku. Alhamdulillaah aku sangat bahagia dan
menemukan kedamaian dalam Islam. Namun, kau tahu sendiri kan, kalau keluargaku
sangat kuat memegang keyakinannya. Sampai beberapa lama mereka tidak mengetahui
kalau aku berpindah agama, aku belum berani berterus-terang.
Suatu saat ada
seseorang yang mengabarkannya kepada mereka. Bisa kau bayangkan murkanya
mereka. Intimidasi, ancaman dan paksaan untuk kembali ke keyakinan semula
sangat gencar mereka lakukan. Semua itu masih bisa aku terima dengan lapang
dada. Aku tetap sayang dan hormat pada mereka. Aku tetap rutin mengunjungi
mereka, walaupun mereka mengacuhkanku. Aku tetep berusaha sabar.
Tak lama kemudian aku memutuskan
untuk berhijab. Bertambahlah kemurkaan mereka. Setelah itu keluargaku mulai
menghentikan biaya hidup dan sekolahku, dan melarangku pulang ke rumah, kecuali
jika aku murtad. Sampai disini aku masih berusaha untuk tegar, berusaha untuk
mandiri. Aku kerja paruh waktu sebagai penjaga toko sambil kuliah, menjadi
sales barang dagangan orang, memberi les privat anak-anak SMA, dan apa saja
usaha aku lakukan untuk bertahan hidup, asal halal. Butuh tekad dan semangat
yang sangat kuat untuk menjalani itu Rul. Kau tahu kan dari kecil aku selalu
hidup dalam kecukupan. Tak pernah susah,
tak pernah kerja apapun, walaupun hanya sekedar menyapu rumah atau mencuci baju
sendiri. Sebagai anak perempuan satu-satunya aku sangat dimanja.
Selama 3 tahun kujalani semua itu
hingga kuliahku selesai. Rupanya keluargaku belum juga menyerah. Ketika aku
datang ke rumah untuk mengundang mereka dalam acara wisudaku, tak kusangka
mereka malah menahanku, menyekapku di kamar pembantu. Aku kembali dipaksa untuk
murtad dan akan dinikahkan dengan pria nonmuslim pilihan mereka…”
Sampai disini suara Putri tak
terdengar lagi, isak tangisnya pecah. Segera Nurul merengkuh sahabatnya itu
dalam pelukannya. Membiarkannya meluapkan emosinya.
“Putri
kau muslimah yang kuat, aku kagum padamu.” Ucap Nurul lirih, berusaha
menenangkan sahabatnya.
Setelah mampu menguasai diri,
Putri melanjutkan ceritanya,
“Aku
berhasil melarikan diri ketika prosesi pernikahan akan dilaksanakan. Aku
mencari perlindungan hukum. Karena waktu itu usiaku sudah 23, secara hukum aku
dianggap dewasa, bisa membuat keputusan untuk diri sendiri. Jadi orang tuaku
tidak berhak memaksaku lagi."
Putri menghentikan ceritanya untuk meneguk es kelapa muda di depannya, dan melanjutkan ceritanya,
"Tak lama kemudian ada seorang laki-laki
sholih yang melamarku dan kemudian menikahiku. Aku juga mendapat pekerjaan yang
layak di sebuah kantor. Alhamdulillaah kami sangat bahagia. Kami dikaruniai 2
orang anak laki-laki. Namun rupanya Allah masih ingin mengujiku lagi. Anak pertamaku terlahir dengan bawaan autis
yang cukup berat. Sementara anak keduaku terlahir dengan bawaan hiperaktif. Dua
karakter yang sangat berlawanan. Si kakak memerlukan ekstra kesabaran dan
ketelatenan untuk merangsang respon otak dan dan gerak tubuhnya. Sementara si
adik membutuhkan pendampingan dan pengawasan yang ekstra ketat untuk
mengendalikan aktivitasnya. Memastikan dia tidak melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya. Aku dan suamiku tidak bisa meninggalkan mereka tanpa
pengawasan kami, tidak ada baby sitter yang sanggup mengawasi mereka. Akhirnya
aku harus mengambil keputusan besar untuk berhenti dari pekerjaanku, merawat
sendiri anak-anakku, huk…huk…”
Kembali Putri tenggelam dalam
isak tangisnya. Nurul memeluk erat sahabatnya itu, tanpa mampu berkata apa-apa
lagi, tak mampu menahan haru.
“Dan
baru-baru ini Rul…huk…huk…huk… suamiku…suamiku…dipanggil Allah…huk…huk…huk”
Tangis Putri kembali pecah. Nurulpun
tak kuasa lagi menahan airmatanya. Mereka berpelukan dalam tangis. Tak sadar
banyak mata pengunjung kafe yang melirik mereka. Cukup lama Nurul baru bisa
menguasai keharuannya,
“Putri,
sungguh aku sangat salut padamu. Perjuanganmu menemukan hidayah dinul Islam sangat
kuat. Bertahun-tahun kau mencari kebenaran. Ketika kau bersyahadat, hapuslah
segala dosa yang ada pada dirimu sebelumnya. Kau kembali suci bersih
sebagaimana bayi yang baru lahir. Jika kemudian kau mendapatkan banyak cobaan,
itu karena Allah ingin kau membuktikan syahadatmu. Apakah kau benar-benar
ber-Islam dengan tulus tanpa maksud dan tujuan lain. Dan manakala kau
mendapatkan banyak ujian, itu karena Allah sangat menyayangimu, Dia inginkan derajatmu di sisi-Nya naik dan naik lagi menuju kedudukan
yang lebih tinggi, ke tingkat iman dan taqwa yang lebih baik. Allah membukakan
jalan agar kau mengejar ketertinggalanmu Put, 20 tahun kau dalam kegelapan,
selama itu belum ada catatan amal ibadahmu. Sekarang terbuka jalan bagimu untuk
mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya."
Sambil memegang erat tangan Putri, Nurul melanjutkan,
"Ayo sobat kau bisa lebih baik daripada
orang yang sudah muslim dari lahir. Percayalah Put, Allah tidak akan menguji
hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Dari-Nya semua berasal dan hanya Dia yang
mampu untuk mengeluarkanmu dari berbagai kesulitan. Tetaplah istiqomah sobat,
aku yakin kau mampu, selama ini kau sudah menunjukkannya. Yakinlah bahwa
pertolongan Allah sangat dekat, teruslah ikhtiar dan berdoa. Sabar dan
tawakallah. Allah kuasa atas segalanya, Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya
mengangkat tangan untuk berdoa, dan membiarkannya turun tanpa sia-sia tanpa dikabulkan.”
“Putri,
tahukah kau, aku merasa kalah jauh denganmu. Untuk menemukan Islam, perjuangan
dan pengobananmu sangat besar. Tentunya itu bukan sesuatu yang tanpa nilai di
hadapan Allah, itu pahala yang sangat besar. Sementara aku, aku tidak perlu
berjuang untuk itu. Orangtuaku muslim, mereka telah menuntunku dalam Islam,
jadi mereka yang berjuang, mereka yang mendapatkan pahalanya. Di satu sisi aku
sangat bersyukur dengan keadaan itu, namun di sisi lain kadang membuatku kurang
kuat berusaha. Segala nikmat dan kemudahan yang Allah berikan padaku kadang
malah membuatku lalai, kurang bersyukur, kurang sabar, kurang beribadah dan
kurang beramal. Astaghfirullaahal ‘adhiim. Aku malu padamu Putri, aku kalah
denganmu, aku kagum padamu.”
“Saat
ini Allah menitipkan dua orang anak yatim kepadamu. Aku tahu itu tidak mudah,
juga tidak ringan. Itu ladang amal bagimu. Kau tidak perlu mencari, Allah telah
menghadiahkan ladang amal yang luas dan banyak. Tahukah kau Putri, Allah
menjanjikan surganya untuk yang mengasuh anak yatim, memberikan keberkahan di
rumah yang di dalamnya ada anak yatim, dan Rasulullah SAW memastikan akan
bersanding dengan orang yang mengasuh anak yatim. Kau tau kan dimana Rasulullah tinggal? pastilah di surga. Dan kau telah ditunggunya disana. Sobat, banyak modalmu untuk
masuk surga, bersyukurlah.” Kata Nurul panjang lebar. Nurul merasa bukan sedang
menasehati Putri tapi sedang mengingatkan dirinya sendiri, sedang mengukur
kadar keimanannya sendiri.
Putri tersenyum tipis, matanya
mulai berbinar. Wajah cantiknya kembali memancarkan harapan, pertanda semangat
besar kembali muncul. Alhamdulillaah... Innallaaha ma’anaa (Sesungguhnya Allah selalu bersama
kita). Innallaaha ma'ash-shoobiriin (Sesungguhmya Allah bersama orang yang sabar)
Allaahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar