Bulan Syawal sudah ada di penghujung. Di beberapa
tempat sudah mulai nampak hiasan janur di gerbang rumah atau di ujung gang. Sebagai pertanda bahwa di rumah itu atau di dalam gang tersebut sedang ada
ziarahan. Yaa… didaerah tempatku tinggal ada sebuah tradisi yang diberi nama
Ziarahan. Tradisi itu dilakukan oleh orang-orang yang akan pergi berhaji. Calon
jamaah haji biasanya akan menerima banyak tamu dari kalangan saudara, teman dan
tetangga yang datang silih berganti untuk mendoakan kelancaran ibadah hajinya.
Di lain pihak para tamu juga sering menitip doa kepada para calon jamaah haji.
Doa agar segera ‘mendapat panggilan berhaji’ atau doa-doa yang lain. Kegiatan
itu bisa berlangsung selama sebulan atau lebih sebelum keberangkatan.
Melihat mulai semaraknya janur ziarahan, memoriku
melayang ke masa 7 tahun silam, tepatnya tahun 1430 H atau 2009 M. Waktu itu
kami, saya dan suami, juga mendapat ‘undangan’ untuk bertandang ke Baitullah.
Kami mendaftar 2 tahun sebelumnya, yakni tahun 2007, dan mendapat jatah
berangkat tahun 2009. Karena kami pendatang, maka tradisi ziarahan tidak kami
lakukan, cukup walimatus safar saja. Dan bukan itu yang membuatku ingin
menulis, tapi memaknai panggilan haji itu yang tak bisa kulupakan.
Awal tahun 2007 kami menjual rumah lama kami.
Alhamdulillaah, dua tahun sebelumnya Allah telah memberi rizqi untuk membeli rumah yang lebih
lapang. Rencana awalnya, hasil penjualan rumah akan dibelikan rumah di
Malang, dengan harapan jika anak-anak kuliah nanti bisa menempatinya, jadi tidak perlu indekost.
Ketika suami masih nimbang-nimbang dimana lokasi
yang paling bagus, entah kenapa aku samasekali tidak antusias. Aku merasa sudah
cukup punya rumah baru yang lapang serta nyaman untuk kami berenam. Bahkan jika
nambah momongan sekalipun tidak akan terasa sumpek, walaupun saat itu belum
100% selesai dibangun. Lalu pertanyaannya, untuk apa beli rumah lagi? Sementara waktu itu anak sulungku masih kelas 2 SMP, belum tentu juga akan kuliah di Malang.
Sanubariku berkata lain, aku merasakan ada dorongan hati yang
begitu kuat dan kerinduan yang mendalam untuk beribadah ke Tanah Suci, lebih dari sebelumnya. Keinginan besar yang menyeruak dari dasar hati. Apalagi saat itu situasi dan kondisinya
mendukung.
Masih mencari waktu yang tepat untuk mengutarakan keinginan. Hingga suatu
hari saat kami bercengkerama berdua, setelah ngobrol banyak hal.
“Mas,
tidakkah sebaiknya kita batalkan saja rencana beli rumah di Malang… Punya satu
rumah ini saja sudah lebih dari cukup untuk kita sekeluarga...”
“Terus?”
jawabnya masih dengan nada santai.
“Kita
beli kapling di surga saja yuk…” kata-kata itu meluncur begitu saja dari
bibirku, entah benar atau keliru ungkapan itu.
“Maksudnya
gimana?” terlihat mulai serius menanggapi.
“Kita
pakai uangnya untuk pergi haji…” jawabku mantap penuh harap. Aku tidak perlu
menjelaskan maksud beli kapling di surga, karena yakin ia pasti mengerti.
“Serius?
Siap?” tanyanya.
“Iyyaa,
seriuuus… siaaap… Insya’ Allah…”
“Beneran?
Tega ninggalin adik yang masih minum ASI? Sudah siap pisah sebentar sama
anak-anak? Selama ini aku nunggu kesiapannya Umma. Aku pengennya Umma
berangkat dengan hati mantap, semangat kuat dan tawakkal penuh, agar ringan kaki
melangkah. Jangan sampai Umma berhaji tapi pikirannya di rumah, berat sama
anak-anak…”
“Enggak
Mas, ini beneran… aku wis mantep. Lagian kabarnya kan gak langsung berangkat
tahun ini juga… Ngantri dulu… Jadi nanti pas kita berangkat adik sudah dua
tahun lebih…” aku semakin bersemangat berargumen. Dan… sudah kuduga, hanya
dengan hitungan detik suami langsung mengiyakan, karena sejatinya kerinduannya
melebihiku.
“Alhamdulillaah Yaa Allah…”
aku melonjak kegirangan, memeluknya penuh syukur dan bahagia.
Tidak mau menyia-nyiakan waktu, keesokan harinya
kami langsung ke bank untuk mendaftar. Antusiasme masyarakat Lombok untuk
berhaji sangat kuat, sehingga di tahun itupun sudah panjang waiting list-nya. Waktu
itu untuk biaya pendaftaran awal sebesar 15 juta per-orang, maka sisa uangnya
kami tabung untuk pelunasan dan kebutuhan lainnya.
Usai mengurus semua administrasinya kami beraktivitas seperti biasa sambil
menunggu panggilan dari Depag. Dalam rentang waktu itu kesabaran kami banyak
diuji. Orang Jawa bilang ‘godane wong arep munggah kaji’. Termasuk kesedihan mendalam atas sakit hingga meninggalnya Bapak, Ghafarallaahu wa Rahimahullaah… Matakuliah kekuatan iman dan
ketangguhan mental harus kami lalui.
Tahun 2009 pemberitahuan dari Depag keluar, dimana
kami termasuk dalam daftar calon jamaah haji tahun 1430 H. Alhamdulillaah…
akhirnya panggilan itu nyata adanya. Al-Haromain seakan terpampang di depan
mata. Rindu dan harap yang membuncah.
Namun lagi-lagi ujian datang menghampiri. Pelajaran ketawakkalan tengah berlangsung. Waktu itu kami tengah mengerjakan beberapa pekerjaan.
Ada yang di pulau Lombok dan ada yang di luar pulau. Untuk yang di Lombok,
suami bisa menghandle penuh. Sementara yang di luar pulau, kami menyerahkan
pelaksanaannya kepada seorang teman yang sudah lama kami kenal. Suami dan
kadang-kadang denganku hanya sekali-sekali memantau perkembangannya. Sampai
pekerjaan selesai nampaknya tidak ada masalah yang berarti. Namun beberapa
waktu kemudian baru nampak kejanggalannya. Ada supplier yang datang meminta
pembayaran. Lho kok??? Usut punya usut ternyata selama ini pembayaran ke pihak
ketiga tidak dijalankan dengan benar oleh teman kerja kami. Pekerjaan sudah
selesai, uang sudah habis (katanya) akan tetapi tagihan dari pihak ketiga masih
menumpuk. Dan ketika ditotal, Maasya’ Allah… jumlahnya sangat banyak, hingga
ber-angka sembilan digit. Wow… kami terhenyak, kok bisa begitu? Padahal menurut analisa
kami pekerjaan itu sangat feasible asal dikelola dengan benar. Tapi apa yang terjadi? entahlah…
bagaimana teman itu mengelolanya, kami tidak bisa memantau sepenuhnya. Celakanya
lagi kontrak pekerjaan itu memakai perusahaan kami. Jadi kamilah yang ditagih. Padahal
keuangan sudah diserahkan penuh kepada teman tersebut karena kami sangat
mempercayainya. Akan tetapi ketika ada masalah justru dia selalu menghindar.
Mau tidak mau kami terpaksa harus mengambil
tanggungjawab membayar semua tagihan. Alhasil, tabungan terkuras habis, bahkan penghasilan
dari pekerjaan yang ada di pulau Lombok-pun ikut hanyut. Inna lillaahi wa inna ilaihi
rooji’uun…
Tatkala dibuka periode untuk melunasi BPIH, kami belum punya cukup uang untuk itu. Maasya’ Allaah…
Dalam keadaan seperti itu, kami tidak patah arang.
Tetap bersemangat mencari jalan keluar, tetap penuh harap dalam ikhtiar dan doa. Saat menengadahkan tangan, kalimat ini tidak tertinggal:
“Yaa
Allah, Engkau Penguasa alam semesta, Engkau Mahatahu, jika Engkau ketahui bahwa
kami pantas menjadi Tamu-Mu dan layak menginjakkan kaki di Rumah-Mu, maka
Engkau pasti akan memberikan undangan, membukakan
jalan untuk mendatangi Rumah-Mu dan menghantarkan kami kehadapan-Mu. Namun jika Engkau ketahui bahwa kami belum
pantas menjadi Tamu-Mu, belum layak menginjakkan kaki di Rumah-Mu, maka Engkau
Mahatahu apa yang terbaik untuk kami…”
Dengan sepenuh ketawakkalan, aku tetap mengikuti
manasik haji yang diselenggarakan Depag, walaupun belum tahu pasti kami bisa berangkat nantinya. Toh menimba ilmu tak ada ruginya. Hari demi hari berlalu dan batas
akhir pembayaran semakin dekat. Kepasrahanpun semakin dalam, berbaur dalam
ikhtiar dan doa yang tak henti.
Hingga suatu hari Allah menjawab doa kami. Ada
sebuah lembaga yang akan membangun
gedung dengan nilai yang cukup besar. Pimpinannya mempercayai perusahaan kami
untuk mengerjakannya. Karena sumber pendanaan
dari internal lembaga, bukan APBD/APBN, sehingga tidak harus melalui proses tender.
Dan yang membuat kami terperangah hampir tidak percaya dengan yang terjadi
adalah… mereka MEMBAYAR LUNAS semua harga bangunan itu di saat terjadi
kesepakatan, sebelum sebongkah tanahpun digali atau secuil batapun terpasang. Hanya dengan perjanjian bahwa kami harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum
berangkat haji. Maasya’ Allah… ini sungguh luarbiasa, tidak
pernah terjadi sebelumnya. Biasanya sebuah kontrak hanya mendapat DP 30%,
itupun dengan administrasi yang lengkap dulu, tidak serta merta. Allaahu Akbar...
Alhamdulillaah… rasa syukur yang tak terhingga…Rejeki yang datang tepat pada saatnya... Allah Ta'ala tidak pernah salah menentukan taqdir-Nya. Subhanallaah...
Akhirnya kami bisa melunasi BPIH beserta keperluan
lainnya. Konsekuensinya harus kerja lembur terus-menerus selama 3 bulan. Normalnya
pekerjaan itu selesai dalam waktu 5 bulan. Demi memenuhi tanggungjawab,
sampai-sampai saat esok pagi jam 6 kami sudah harus berangkat ke asrama haji,
jam 12 malam itu suamiku masih on site, memastikan bahwa semua pekerjaan
beserta finishingnya bagus. Allahu Akbar…
وَمَن
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا....
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. Tholaq 2-3).
Sungguh, Allah Ta’ala tidak akan mengingkari Janji-Nya. Dia akan
memberikan rizqi dari arah manapun bahkan dari tempat yang tidak kita
sangka-sangka. Dia juga akan mencukupkan keperluan hamba-Nya. Walaupun kadang
ketakwaan dan ketawakkalan sebagai syaratnya masih belum dijalankan seutuhnya, sangat tidak setara dengan karunia yang diterima, dan teramat kecil dibanding nikmat yang didapat. Namun sifat Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahiim melampaui segalanya, dimana Dia melingkupi hamba-Nya dengan rahmat tanpa henti tanpa batas. Subhanallaah
walhamdulillaah…
Jangan pernah berputus asa dari Rahmat Allah, jangan pernah berhenti untuk berharap. Allah punya banyak jalan untuk mengabulkan doa hamba-Nya, karena Dia Mahatahu apa yang terbaik.
Jangan pernah berputus asa dari Rahmat Allah, jangan pernah berhenti untuk berharap. Allah punya banyak jalan untuk mengabulkan doa hamba-Nya, karena Dia Mahatahu apa yang terbaik.
Kusambut Panggilan-Mu Yaa Rabb...
#goresan tangan yang terukir karna rindu kembali memenuhi kalbu#
Terharu membaca kisah ibu ini. Inspiratif sekali. Mengingatkan kita untuk terus berusaha dan percaya kepada Allah. Tidak ada yang tidak mungkin bila Allah berkehendak
BalasHapusIya mba Yuni, kadang kita perlu memutar memori untuk muhasabah diri dan menggali inspirasi guna menguatkan hati. Membubungkan asa yang kadang pasang kadang surut. Kita saling menguatkan utk tegar, big hug...
Hapus